#6 Help me, please?

1483 Words
EPISODE 6 . . Oke, Rasa tahu dirinya gila. Meminta tolong pada orang yang baru saja Ia temui, ditambah lagi orang itu adalah calon suami kakaknya sendiri. Gila untuk seukuran pikiran dan otak gadis polos dan tidak begitu paham dengan yang namanya selingkuh atau pelakor. Selagi masih ada kesempatan dan kakaknya belum menikah dengan om-om di sampingnya ini. Rasa harus memanfaatkan dengan baik. Kedua manik itu menatap penuh binar, seolah melupakan insiden panda yang tadi terjadi. “Pacaran?” beo Vero di samping Rasa, laki-laki itu hanya menaikkan alis bingung mendengar permintaan absurd gadis di sampingnya. “Iya!” Sebelum melanjutkan kata-katanya, ibu Rasa langsung memanggil gadis itu, memintanya untuk segera duduk. Bisa Vero lihat bagaimana wajah sumringah tadi berubah drastis cemberut. Mengerucutkan bibir kesal. “Rasa, cepat duduk! Mau sampai kapan kamu berdiri di sana? Kasian Vero harus berdiri juga gara-gara kamu,” ujar Farah gemas melihat tingkah laku putrinya. “Aish, iya-iya, Ibu!” sahut gadis itu singkat, menatap balik ke arah Vero sebentar. Mengirim kode berupa kedip-kedip di balik kacamatanya. Niatnya sih mau bilang kalau mereka lanjutkan lagi topic pembicaraan tadi. “Rasa! Kamu ngapain kedip-kedip ke, Vero?! Kecil-kecil sudah mau genit ya?!” Tapi ditanggapi berbeda oleh ibunya, alhasil wajah Rasa kembali memerah. Mengerutkan kening kesal, dengan kedua kaki terhentak mendekat wanita itu. “Ah, Ibu!! Aku ‘kan hanya bercanda!” Teriakannya sudah cukup membuat semua orang di ruang makan tertawa karena tingkahnya. Begitu juga Vero, laki-laki itu sudah berusaha memasang wajah gentleman, tapi harus terganggu gara-gara sikap Rasa. . . . Rasa cemberut, sepanjang makan malam. Gadis itu hanya menatap makanannya saja, tidak peduli dengan canda tawa semua orang di dalam ruang makan. Ibu dan tante Sandra yang saling bercerita, ayah dan paman juga sama. Suara ibunya yang blak-blakan tadi sudah cukup membuat Rasa kesal, padahal dia sama sekali tidak berniat genit atau gatal pada calon tunangan kakaknya kok. Sebagai calon tunangan yang baik, kan Vero harus medekati adik calonnya dulu biar diterima baik masuk ke dalam keluarganya. Benarkan?! Jadi apa salahnya kalau Rasa minta tolong?! “Kapan kira-kira hari pertunangan yang bagus untuk mereka?” “Bagaimana kalau hari Rabu, atau Sabtu?” Sibuk membicarakan hari pertunangan kakaknya, biarpun mereka duduk bersebelahan dengan om Vero. Kenapa dia memanggil dengan sebutan om? Yak karena perbedaan umur mereka yang jauh, wajar dong. Pandangan Rasa yang sejak tadi terfokus pada makanan, menikmati sendiri masakan yang Ia buat tadi. Enak, tentu saja. Gadis itu sama sekali tidak sadar bahwa Vero yang sejak tadi duduk di sampingnya ternyata tidak sedang berbincang dengan Sena, melainkan ikut focus menatap tingkah laku Rasa. Sementara Sena ikut berbicara dengan para ibu-ibu di depannya. Mereka semua seolah mempunyai dunia sendiri. “Rasa?” Satu suara baritone itu memanggil Rasa. Mengagetkan sang empunya, Rasa berjengit menengadahkan wajah menatap Vero di sampingnya. Masih dengan bibir yang menunjukkan kalau dia kesal, sangat lucu. “Kenapa, Om?” sahutnya singkat. “Rasa kesal sama saya?” Jujur saja Vero rada-rada geli memanggil dirinya sendiri om, sekiranya umur mereka memang agak berbeda jauh. Tapi tetap saja dia tidak biasa. Lebih baik dia memanggil dirinya sendiri ‘saya’ Rasa menggeleng cepat, “Bukan kok, aku hanya kesal karena ucapan ibu tadi. Padahal aku kan tidak genit,” ujarnya setengah mendumel, menyantap satu sendok nasi goreng lagi. Kembungan pipi itu benar-benar terlihat seperti tupai yang sedang mengunyah kenari. “Terus Rasa mau minta tolong apa tadi?” tanya Vero kembali, menyesap kopi hangat di hadapannya. Kunyahan Rasa terhenti, kali ini fokusnya pada Vero. Seolah berniat meyakinkan kembali, “Benar Om mau bantu, Rasa?” ucapnya dengan nada tipis. Kedua manik Rasa melihat jelas bagaimana wajah tampan itu mengangguk dan tersenyum lembut. Ah, Om Vero memang mirip sekali dengan pemeran utama laki-laki di n****+ kesayangannya. Gentleman, baik hati, dan perfect! “Tentu saja, kalau saya bisa bantu. Memangnya mau minta bantuan apa?” Malu tentu saja, kalau Rasa mengatakan tujuan aslinya pada Om Vero, bisa-bisa laki-laki itu ketawa. Tapi mau bagaimana lagi, dia hanya ingin tahu seperti apa kisi-kisi yang harus Ia lakukan untuk mendapatkan pacar dan sesudah pacaran. “Jadi gini, Om. Umurku kan sudah tujuh belas tahun, dan sudah wajar dong kalau aku punya pacar?” jelasnya singkat. Vero hanya bisa mengangguk paham. “Terus?” Rasa sedikit mendehem, pipinya memerah sekilas, pandangan gadis itu teralih menyembunyikan malu, “Ehem, di kelasku kan semua teman-teman sudah punya pacar, kebanyakan dari mereka bahkan sudah pernah ciuman, pelukan, bahkan sampai-” Menghentikan ucapannya, Rasa mendadak panas sendiri. Bergerak mengipaskan wajah dengan tangan, pandangan gadis itu menyipit, menatap semua keluarganya yang masih asik berbincang, merasa aman. Mendekatkan wajahnya pada Vero, “Itu-itu, Om tahu kan artinya?” bisik Rasa ambigu. Vero hampir tertawa melihat tingkah Rasa, seakan berniat mengatakan satu hal penting, “Maksudmu s*x?” balas laki-laki itu dengan gamblang. Wajah Rasa memerah, bibirnya menganga tak percaya, “Om, kok bicaranya gampang?!” Hampir saja berteriak. “Memangnya melakukan itu wajar ya di usia tujuh belas tahun seperti ini?” tanya gadis itu makin bingung. Vero mengendikkan bahunya sekilas, “Kalau dikatakan wajar sih antara iya dan tidak. Iya, karena memang remaja-remaja jaman sekarang sudah menganggap bahwa itu hal yang lumrah di mata mereka, dan tidak karena memang belum usia mereka untuk melakukan itu, usia di sini saya katakan usia untuk menikah.” jawabnya lugas. Rasa manggut-manggut paham sebelum akhirnya menunduk singkat, setengah ragu untuk mengatakan ini, “Menurut Om, saya ini aneh dong? Soalnya sampai sekarang belum tertarik untuk pacaran apalagi melakukan hal aneh,” Saat kedua manik polos itu menatap ke arahnya, Vero hampir saja kehilangan akal. Sosok manis, polos dan sangat cantik jika diperhatikan lebih jelas. Pandangannya teralih sekilas, menatap kembali Rasa dan tersenyum kecil, “Rasa tidak aneh kok, untuk apa ikut-ikutan hal seperti itu jika memang bukan hal yang baik untukmu?” Mengangguk sekali lagi, kali ini wajah cantik itu merengut, “Tapi tetap saja, Om. Teman-teman Rasa di kelas, apalagi para laki-laki, mereka masa mengancam kalau aku tidak dapat pacar dalam waktu beberapa bulan ke depan, semua bakal ngasi ejekan ‘perawan ting-ting’ padaku,” Vero tidak bisa menahan tawanya lagi, kali ini tanpa sadar suaranya sanggup menginterupsi percakapan semua orang di dalam ruangan. Semua kompak menatapnya bingung, sementara dia hanya bisa menurunkan suaranya lagi. “Kenapa, Vero?” Ibunya menatap aneh, Vero menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa, saya hanya sedikit tersedak,” Terbatuk sesaat dan menegak segelas air putih di dekatnya. Perhatian mereka kembali fokus, meninggalkan Vero yang menatap wajah Rasa, gadis itu cemberut. “Om, menertawakanku ya?” ujar Rasa kesal. “Bukan, bukan, tadi hanya sedikit kaget saja. Kenapa semua teman-temanmu sepertinya jahil sekali?” Tanya Vero kembali, sementara Rasa masih kesal dia menggeleng tak tahu. Seolah meluapkan semua amarahnya, saat mengingat umpatan semua laki-laki di kelasnya. Sekelompok teman-teman yang selalu menjahilinya! “Ya, mereka memang jahat! Makanya aku mau balas dendam! Pokoknya aku mau buat mereka menyesal karena sudah mengejekku!” Berhasil menahan tawa, Vero mendehem sekilas, mencoba kembali ke topic utama pembicaraan mereka, “Lalu, memangnya Rasa mau minta tolong apa sama saya?” Yakin dengan permintaannya kali ini, Rasa menatap yakin ke arah Vero, kedua manik polos yang berbinar, wajah putih dan mulus tertutupi oleh kacamata bulat, “Bantu Rasa, Om. Ajarin Rasa caranya pacaran, seperti apa dan hal-hal apa yang harus Rasa lakuin sebelum Om nanti tunangan sama kak Sena,” Vero terdiam, sesaat pandangannya teralih menatap Sena yang duduk di sampingnya. Wanita itu masih fokus berbincang dengan kedua ibu-ibu di hadapannya, “Rasa tahu Om itu orangnya baik, gentleman, dan super tampan!” Meyakinkannya lagi. Vero mendesah panjang, berpikir kembali. Sebelum kedua matanya menangkap wajah polos itu sekali lagi, “Tapi bagaimana bisa saya memberitahu, Sena?” Sedikit tersentak, Rasa menimang sebentar perkataan Om Vero, dia hanya kan sekedar minta bantuan saja. Tidak akan ada masalah kan? Apa kakaknya akan marah? Mengingat bagaimana amarah kak Sena itu sangat-sangat menakutkan! Rasa setengah merinding, menggelengkan kepalanya kecil, gadis itu reflek mendekatkan tubuhnya, “Ah, jangan bilang sama kak Sena dulu! Aku hanya pinjam Om sebentar sebelum kalian benar-benar tunangan. Yah, sekedar menjadi mantan terindah, Om. Rasa janji tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.” ujarnya mantap. Tidak melakukan hal yang aneh-aneh, harusnya Vero yang mengucapkan kata itu. Menahan tawa, gadis di depannya ini benar-benar polos. Saat pertama kali bertemu setelah sekian lama tidak jumpa, Rasa sangat menarik perhatiannya, berbanding terbalik dengan sang kakak yang lebih cenderung anggun dan sangat dewasa. Mungkin dia memang sedikit licik, hanya karena tertarik dengan semua hal pada diri Rasa, satu kalimat singkat itu terucap dari bibirnya, “Baiklah, tapi apa keuntungannya untuk saya?” ujarnya santai penuh makna. Tentu saja dia mengharapkan keuntungan, walaupun di luar dia memang terlihat gentleman dan baik hati. Jika sesuatu mampu menarik perhatian Vero, dia tidak akan membantu tanpa cuma-cuma. Melewatkan kesempatan yang sangat tipis ini. Sementara dalam bayangan Rasa, gadis itu sudah bisa membayangkan bagaimana dia bisa begitu ahli dalam berpacaran dibanding semua teman-temannya. Mereka tidak akan meledek atau mengejek lagi, Membayangkan diri berpegangan tangan, dan kencan layak sepasang kekasih bersama om tampan ini, tidak buruk juga. Tanpa memikirkan lagi, “Apapun yang Om mau, aku akan berusaha mengabulkannya. Masak makanan yang enak, cuci baju Om selama satu tahun? Bersih-bersih kamar Om atau aku berikan semua koleksi n****+ kesayanganku!” ucapnya polos. “Apapun, hm?” Siapa yang tahu kalau perkataan itu justru menjadi jebakan bagi Rasa sendiri. Jebakan yang menjatuhkannya sangat dalam bersama sosok tampan di sampingnya. Gadis super polos yang sama sekali tidak mengetahui seperti apa pemikiran seorang laki-laki berumur tiga puluh tahun yang kebelet ingin kawin—eh menikah. Arti ‘apapun’ mereka tentu saja berbeda. Kalian pasti paham kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD