EPISODE 4
.
.
.
Sosok yang menjadi idola di kelasnya, laki-laki yang membuat semua gadis di kelasnya berteriak bak orang gila setiap hari. Laki-laki yang membuat ketiga sahabatnya berbalik menyukai majalah remaja dibandingkan n****+ romantis.
Rasa sempat meremehkannya, menganggap bahwa ketampanan laki-laki itu hanya sekedar editan aplikasi atau foto semata. Tapi sekarang, tidak perlu menunggu beberapa jam. Rasa sudah memberikan approved pada ketampanan sang model.
Tubuh gadis itu membeku, manik yang membulat polos lengkap dengan bibir menganga tak percaya. Selama satu menit berdiam diri,
“Rasa, ya?” Satu panggilan singkat menyentakkan pikiran Rasa. Kedua maniknya melirik ke samping, melihat dua orang paruh baya tersenyum padanya.
Wanita dan laki-laki paruh baya yang seumuran dengan kedua orangtuanya, mereka seolah mengenal Rasa. Terkekeh geli melihat tingkah aneh gadis itu. Sosok wanita paruh baya dengan penampilan elegannya berjalan mendekat.
“Sudah besar ternyata Rasa ya,” Menggenggam kedua tangan Rasa cepat, “Masih ingat, Tante?”
Oke, Rasa blank setengah. Tidak ingat apapun, dan memilih bungkam. Rasa menggeleng kecil, “Ma-maaf, Tante. Rasa, tidak ingat.” Berujar tipis.
Kali ini laki-laki paruh baya tadi ikut berjalan mendekatinya, “Tentu saja dia tidak ingat, sayang. Saat itu umur Rasa masih satu tahun, Kita juga jarang ke sini,”
Wajah wanita itu nampak kecewa, “Hm, begitu ya? Sayang sekali.”
Tidak mengerti dengan situasi, daripada mereka berdiri diambang pintu seperti ini. “E-ee, masuk dulu Tante, Om, dan O-om juga?” Dua kali menyebut nama Om dengan kikuk.
Dua sosok paruh baya di hadapannya tergelak, “Dia masih semanis dulu!” Mencubit pipi Rasa gemas.
“Sudahlah Ibu, berhenti menggodanya. Tidak baik berdiri di depan pintu seperti ini,” Sosok tampan itu menginterupsi, suara baritonenya terdengar lembut mengalun di telinga rasa. Dibarengi dengan senyuman super sempurna.
.
.
Rasa meneguk ludah tanpa sadar, dengan gerakan kikuk membalikkan tubuh, menggiring ketiga orang itu menuju ruang tamu. Dia sama sekali tidak ingat kalau ketiga orang ini sempat datang ke rumahnya, Ayah dan Ibu juga tidak pernah menyinggung masalah mereka.
‘Ibu dan Kakak mana sih?!’ batinnya panik, pandangan Rasa tertuju ke arah tangga. Tidak melihat tanda-tanda kedatangan kedua orang itu, bahkan Ayahnya sekalipun!
“Si-silahkan duduk dulu, Rasa panggilkan Ayah dan Ibu.” Berusaha tetap sopan, Rasa berniat pergi dari sana begitu melihat kedua laki-laki dan wanita paruh baya itu duduk di sofa, membalikkan tubuh cepat. Tanpa menyadari sosok tegap yang ternyata masih berdiri di belakangnya.
“Ugh!” Wajah dengan kacamata itu menabrak d**a bidang cukup keras, efek tergesa-gesa. Rasa benar-benar linglung jika berada di hadapan orang yang tidak Ia kenali.
“Ma-maaf!” Memundurkan tubuhnya panik, masih dalam keadaan kedua manik tertutup, tubuhnya berjalan mundur tanpa sadar,
“Rasa awas meja di belakangmu!” Suara wanita paruh baya itu kembali terdengar, memperingatinya. Tepat saat kakinya tak sengaja menyinggung meja, membuat tubuhnya oleng kembali, kehilangan keseimbangan.
Astaga, Rasa super duper kacau. Tidak bisa menyembunyikan kegugupan dan kekikukkannya di hadapan orang baru. Nyari berteriak saat tubuh itu hampir jatuh, sebuah tangan menarik lengannya cepat, mengembalikkan posisinya dengan cepat,
Berdiri kembali memandang d**a bidang itu, setengah menengadah kaget, bibirnya menganga lengkap dengan hidung yang memerah akibat benturan tadi.
“Kau tidak apa-apa?” Ucapan yang halus menanyakan keadaanya. Suara yang lembut bak pangeran kesukaannya-
Seperti di adegan n****+-n****+ romantis miliknya!
.
.
.
“Rasa? Kok dari tadi diam saja?”
Manik gadis itu mengerjap polos, “Hee?” Berujar tanpa sadar, air liurnya hampir menetes karena baru saja memikirkan kemungkinan yang terjadi-
Tunggu dulu?! Memikirkan kemungkinan? Seolah sadar kembali, adegan romantis yang baru saja Ia alami ternyata hanya sekedar khayalan belaka? Karena kenyataannya, ketiga orang itu sudah duduk di sofa, menatapnya bingung.
Sementara laki-laki tampan itu tersenyum geli melihat tingkah Rasa.
Tingkah super absurd, merasakan darah mulai naik menuju kepala. Wajah Rasa memerah sempurna, gadis itu nyaris berteriak menahan malu. Apa yang dia pikirkan tadi?! Astaga! Siapa yang mengira bahwa khayalan miliknya ternyata separah itu?!
“A-ah, bukan apa-apa, Tante. Saya panggilkan Ibu dan Ayah dulu!!” Menaikkan suara tanpa sadar, tubuh itu berbalik cepat, entah kenapa kakinya benar-benar lemas. Efek malu luar biasa, mengkhayal super tinggi dan berharap bahwa dia bisa mengalami adegan seperti di n****+ romantis yang sering Rasa baca.
Lupa dengan keadaan dimana dirinya yang tengah menggunakan sandal dalam bertekstur licin, tepat saat tubuhnya berbalik dan hendak berlari dari ruang tamu.
“Eh-lho-” Lantai yang licin sudah cukup membuat tubuh Rasa oleng sekejap, apa yang tidak Ia harapnya justru terjadi. Tidak perlu beberapa menit, dengan keadaan lantai tanpa batu seorang Rasa Dana Paramesti terjatuh.
Tidak manis dan anggun, “Ahh!” Suara kecilnya memekik kaget, merasakan sakit di sekujur tubuh dan hidung yang Ia kira akan menghantam d**a bidang yang harum, sekarang justru mencium lantai berwarna krem.
Suara teriakan itu memanggilnya khawatir, Rasa sadar dengan cepat, merasakan sesuatu tersingkap karena tingkahnya tadi. Wajah itu terangkat kembali, menengadah reflek menoleh kondisinya sendiri.
“Panda?” Satu kalimat baritone itu terucap dari bibir laki-laki tampan di seberang sana. Panda? Sepertinya Rasa kenal dengan motif itu. Bukannya dia menggunakan motif celana dalam Panda ke sekolah tadi. Tanpa sempat menggantinya,
“Rasa kau tidak apa-apa?”
Celana dalamnya terekspos dengan sempurna, rok yang tersingkap karena terjatuh. Merasakan panas luar biasa, darah di kepalanya hampir meledak, malu tingkat dewa. Rasa langsung berdiri tanpa bantuan, berlari keluar dari ruang tamu dengan teriakan paniknya.
“Maaf!!!”
Meninggalkan ketiga orang di dalam sana berusaha keras menahan tawa mereka. Rasa benar-benar tidak menyangka pertemuan pertama mereka akan sekacau ini!!
.
.
.
“Ibu!! Ayah!! Kak Sena!!” naik ke lantai atas, masih dengan wajah memerah. Berteriak memanggil keluarganya, bahkan tidak tanggung-tanggung membuka pintu kamar kedua orangtuanya.
“Astaga!” memergoki kedua orang itu berciuman, “Rasa!! Kenapa masuk kamar tidak ketuk pintu dulu!!” Sang Ibu sudah selesai berdandan begitu juga Ayahnya. Mereka hanya tengah berciuman karena menganggap tidak akan ada serangga mungil yang masuk sembarangan ke dalam kamar.
Rasa tidak peduli, gadis itu merengut kesal, “Aish!! Tamunya sudah datang!! Kenapa Ayah dan Ibu masih sempat-sempatnya ciuman!! Sudah, Rasa mau mandi!” dengan suara super ngambek, Rasa menutup pintu kamar itu kembali.
Meninggalkan Ayah dan Ibunya bingung, anak mereka tiba-tiba berubah cerewet.
“Kenapa dia?” Farah Samandya menatap suaminya dengan alis terangkat, sementara Frans Prasetya hanya menggeleng kecil.
“Dia kan masih dalam masa puber. Lagipula bukannya Samuel sudah berjanji kalau akan datang pukul tujuh, sekarang masih pukul enam lebih.” Membiarkan istrinya merapikan kerah leher yang Ia gunakan.
“Mungkin mereka ingin cepat-cepat ketemu dengan Sena. Kita sudah lama tidak bertemu kan? Hampir bertahun-tahun,” mencium pipi suaminya sekilas.
“Kalau begitu aku panggil Sena dulu, setelah itu kita turun bersama.”
“Hh, baiklah.”
.
.
.
Seumur hidupnya, Rasa sama sekali tidak pernah mengalami kejadian memalukan seperti tadi!! Bahkan lebih memalukan ketimbang diejek perawan ting-ting oleh teman laki-laki di kelasnya!!
Memperlihatkan celana dalam Panda kesayangannya, di depan orang yang baru Ia kenal!
Salah satu tangan Rasa menempel pada dinding, menopang tubuh, membiarkan air dingin membasahinya. “Apa aku tidak turun saja?” bertanya pada dirinya sendiri.
Lagipula ini kan acara untuk Kak Sena, jadi kedatangan Rasa di sana mungkin hanya menjadi tambahan. Dia kan sudah memasak tadi, jadi pasti cukup. Berhadapan dengan ketiga orang itu lagi, Rasa ingin mengubur wajahnya di lubang saja.
“Oke, aku tidak ikut saja,”
Seolah melupakan satu hal yang penting, Rasa tidak peduli!!
“Non Rasa!! Sudah selesai mandinya?!” suara ketukan pintu kamar mandi terdengar keras. Mengejutkan gadis itu. Ah, dia bahkan sampai lupa mengunci kamar.
“Belum Bibi!!” menjawab singkat.
“Ayo cepat, Non! Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah!”
“Rasa tidak ikut, Bibi! Rasa tidur saja!”
Membalas teriakan rasa lebih kencang, “Eh! Jangan begitu, Non! Nanti Nyonya dan Tuan marah besar lho! Non, mau n****+ kesayangan di ruang buku disita semua sama Tuan dan Nyonya?”
Oke, mendengar kalimat n****+ tadi. Nyawa anak-anaknya setengah terancam. Tanpa basa-basi menyelesaikan acara mandinya, menyambet handuk berwarna biru, melilitkan tubuhnya. Setengah malas keluar dari kamar mandi.
Melihat sosok Bibi Mirah sudah berdiri menunggunya, tersenyum kecil memegang sebuah baju. “Ayo Non siap-siap,” menghampiri Rasa, sementara gadis itu bukannya semangat justru makin lemas.
“Aish, Non Rasa kok lemas seperti itu. Pakai baju yang dipilih sama Nyonya ya,” memperlihatkan baju terusan berwarna putih dengan motif berwarna biru laut, sangat manis. Tapi maaf, setelah kejadian tadi Rasa entah kenapa trauma.
“Harus ya pakai baju itu?” menatap tak rela. Bibi Mirah mengangguk yakin. “Non Rasa pasti cantik pakai ini!”
Mengerang dalam hati, Rasa benar-benar tidak ingin turun. Setelah kejadian tadi, apa Rasa bisa menjalankan rencana yang sempat Ia pikiran sebelumnya?
.
.
.
“Nah ini dia adiknya Sena.” Muncul dari balik pintu, Rasa berusaha keras mempertahankan raut wajahnya. Menggunakan kacamata bulat dan ikatan rambut ponytail, tidak ada yang berubah dari penampilannya, hanya baju saja yang lebih girly karena pilihan dari sang Ibu.
“Sini Rasa,” wanita paruh baya itu memanggilnya, “Iya,” menjawab malas, berjalan enggan mendekati sang Ibu. Duduk tepat di sampingnya, mengangguk sekilas.
Berpikir bahwa mungkin mereka bertiga sudah melupakan kejadian memalukan tadi, Rasa sedikit percaya diri. Memecah keheningan, “Rasa baik-baik saja? Tadi sempat terjatuh,” pertanyaan polos keluar dari bibir wanita paruh baya di depannya.
Laki-laki di samping wanita itu berusaha keras menahan tawa. Mempertahankan wajahnya sebaik mungkin, sementara Rasa-
“Celana dalamnya sampai kelihatan lho,”
Kulit putih itu perlahan kembali memerah, tanpa bisa bicara. Semua pandangan kini tertuju ke arahnya. Di dunia ini, apa ada yang namanya polos luar biasa? Tidak bisa membaca situasi dengan baik,
Pertemuan pertama mereka ternyata sekacau ini-
“Ternyata Rasa masih tetap manis seperti dulu, apalagi masih suka Panda!”
Tuhan, tolong kubur Rasa sekarang juga.