Bab 10

1766 Words
Bab 10 Keika mengerjap pelan ketika udara dingin membelai lengannya yang tidak terbunngkus selimut. Praktis, dia mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri. Hingga, dia menyadari jika ada sebuah lengan melingkar di perutnya, di bawah selimut. Tidak perlu bertanya dan berpikir macam-macam karena sudah bisa dipastikan lengan siapa yang kini membelit perutnya. Milik seorang lelaki yang menyandang status sebagai suaminya. Dan katanya memiliki hak penuh dan bertanggung jawab atas dirinya. Keika memejamkan mata kembali dan menggeram lirih. Mengumpulkan kekuatan di lengan kanannya sebelum akhirnya melancarkan serangan maut, mendorong tubuh di belakang punggungnya hingga mencipta jarak dan belitan lengan di perutnya terlepas. Baru kemudian dia menegakkan tubuh perlahan dan menatap garang ke arah Alvian yang tampak mendesis tidak suka akan perlakuannya tadi. "Kenapa masih tidur di sini?" Keika menggertakan giginya sebal. Dua hari berturut-turut paginya terasa menyuramkan. Bagaimana tidak? Karena Keika harus dihadapkan pada laki-laki berparas tampan berhati iblis di setiap dia membuka mata. Dan jangan lupakan belitan lengan di perutnya dan bersembunyi di dalam selimut yang sama. Siapa lagi kalau bukan Tuan Alviano Brahma yang terhormat. Selama Keika terbaring lemah, Alvian selalu menemani tidurnya dan pastinya juga mengganggu hari-harinya. Yang tidak habis pikir oleh Keika adalah, kenapa laki-laki itu bersikap begitu perhatian. Meski lagi-lagi ditambahi tanda kutip. Menyebalkan, menjengkelkan, menyulut emosi "Ck, bukan begini harusnya sambutan yang diterima suami, ketika bangun tidur pagi hari." Alvian mendecap, tampak tidak peduli dengan geraman kesal dan tatapan membunuh yang Keika lancarkan. Dia justru senang, paginya disambut dengan ekspresi menggemaskan seperti itu. Meski tulang rusuknya sedikit berdenyut akibat hantaman siku Keika. Namun, hal itu juga membuat dia mendesah lega, karena itu berarti Keika sudah sehat, kembali seperti sedia kala karena bisa memukulnya mundur. Keika membuang tatapan. "Sambutan nenek lampir." gumamnya sebal. Merasa aneh saja. Bukannya marah padanya, Alvian justru tampak mengukir senyum tipis. Tipis sekali. Padahal Keika yakin, hantaman yang dia arahkan ke rusuk Alvian cukup keras. Alvian menyeringai. "Emang kamu nenek lampir?" godanya yang sukses membuat Keika kembali menatap dirinya dengan bola mata membulat dan bibir terkatup. Dan sekali lagi, Alvian mendesah lega. Setidaknya pagi ini, Keika memiliki tenaga untuk adu urat dengannya tidak seperti hari kemarin yang masih tampak lemas. Untuk ke kamar mandi saja membersihkan diri, Keika membutuhkan bantuan Gina untuk menuntunnya agar tidak terjatuh di lantai. "Pergi deh, Al." Keika mengusir. "Bikin kesel, tahu nggak?" Sejujurnya, membiarkan Alvian berada didekatnya lebih lama, membuat dia sendiri merasa risih. Kelakuan Alvian selama dia sakit itu tidak diprediksi sama sekali. Alvian menemaninya sepanjang hari, tidur bersamanya ketika malam hari. Membuat Keika yang masih demam bertambah panas saja karena Alvian yang tanpa ba bi bu main peluk-peluk dirinya. Ketika Keika mulai melakukan serangan seperti tadi, entah itu menyikut rusuk atau perut Alvian, memang lelaki itu akan mundur, namun sesaat. Detik berikutnya tidak merasakan sakit apa pun dan kembali mendekat padanya. "Bukannya berterima kasih karena sudah ditemani tidur." Alvian berdecak, bangkit dari tidurnya dan mendudukkan tubuh. Bersandar pada kepala ranjang. Dia memijit pelan pelipisnya sembari geleng-geleng kepala. "Tidak ada yang memintamu menemaniku." tegas Keika. Rasanya sebal sekali melihat Alvian yang tampak santai seperti itu. Beruntung hari ini dia sudah merasa lebih baik. Jadi jika Alvian masih tetap bertahan di ranjangnya. Dia tidak segan-segan untuk menendang laki-laki itu keluar. Kurang ajar. Tak berperasaan. Biarin. Alvian lebih dari itu semua. Dia menyebalkan. Kejam. Tak punya hati. Dan lebih banyak lagi ungkapan-ungkapan untuk tingkah lelaki itu yang memang buruk. Mengikat Keika seenak jidat menjadi istri lalu dikurung berminggu-minggu seperti pesakitan yang harus diasingkan dari dunia luar. Dan ketika lelaki itu kembali setelah menghilang seolah ditelan bumi, Alvian bersikap seolah-olah tidak memiliki dosa sama sekali padanya. Inginnya Keika sekali lagi menghajar Alvian, kali ini ingin mempraktekkan ilmu bela dirinya yang selama ini dipelajari. Meluapkan segala kekesalan hatinya. "Dasar, kamu sakit. Jadi sebagai suami yang baik aku harus menemanimu." Alvian menyeringai melihat Keika yang mencoba menahan amarahnya. Satu yang membuat Alvian betah adalah sikap angkuh, keras kepala dan juteknya Keika. Dia seolah menemukan lawan yang sepadan. Selama ini, semua orang yang berada disekelilingnya akan menunduk patuh, ketika berhadapan dengannya. Karena sambutan yang Alvian berikan memang, menunjukkan sisi menyeramkannya. Namun Keika, gadis manis itu bahkan menantang dirinya. Keika menjerit dalam hati. Ingin rasanya dia menendang laki-laki itu sampai ke mars. Hingga tak bisa lagi bertemu. Menemani Keika. Cih. Dalang dari semua luka dan kesakitan yang dialami Keika adalah Alvian sendiri. Dan dia bilang apa tadi. Suami yang baik. Oh Tuhan, tak bisakah Alvian digantikan dengan laki-laki yang benar-benar baik. Bukan hanya sekadar bualan semata. "Oke ... oke fine. Terima kasih sudah menemaniku belakangan ini." ucap Keika penuh penekanan, setelahnya ia memejamkan mata sembari menarik napas banyak-banyak dan mengembuskannya pelan. Alvian terperanjat. Sedikit terkejut dengan ucapan wanita di depannya. Dia masih berharap bahwa Keika tak akan menyerah semudah itu. "Jadi, bisakah kamu pergi dari kamarku sekarang." Keika menggeram, melihat Alvian masih berada di tempatnya. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda laki-laki itu akan beranjak. Alvian menaikkan sebelah alisnya. Ekspresi acuh tak acuh dan menyebalkan yang dia tampilkan semakin membuat Keika naik darah. "Nggak mau. Beri aku ciuman selamat pagi lebih dulu," Alvian mengerlingkan matanya nakal. Ucapannya kali ini pasti telak membuat wanita di hadapannya bungkam. Cukup lama Keika terdiam. Kaget. Laki-laki menyebalkan itu akan terus menggoda dia yang masih polos. Sudah cukup. Tidak bisa ditahan lagi. Dukk ... "Awww ...." Keika menyeringai penuh kemenangan melihat Alvian terjatuh dari ranjang. Benar, dia baru saja melayangkan tendangannya lagi pada sang suami. Istri yang tidak berbakti sama sekali. Alvian bangkit dari jatuhnya, mengusap pelan pantatnya yang baru saja mencium lantai. "s**l, tunggu saja pembalasanku." umpatnya lirih. Tidak sakit memang tapi lumayan nyeri. "Hahaa ... maafkan saya tuan Alvian Brahma yang terhormat." Keika terkekeh. Sebelah tangannya menutupi mulutnya yang masih saja menyungging tawa. Melihat itu, Alvian menaikkan sebelah alisnya. Wanita yang menyandang status sebagai istrinya sedang tertawa untuk pertama kalinya didepannya. Tanpa terasa dia pun mengulum senyum tipis di bibirnya. Emosi yang tadi sempat meluap, mulai menyurut karena sebuah tawa. Dia tidak membenci Keika, namun tidak juga menaruh rasa pada wanita itu. Begitu kah? Itu hanya sebuah alibi, karena Alvian tak ingin terlihat lemah. Mungkin saja. Terlalu terpaku pada tawa Keika membuat Alvian cukup lama terdiam pada posisinya. Hingga dia pun tak menyadari bahwa wanita didepannya sudah tak lagi tertawa. Kini justru Keika lah yang tertegun melihat wajah Alvian yang mengukir senyuman di bibirnya. Layaknya gadis-gadis normal lainnya. Semburat merah muda mulai menjalar di dua pipinya. Gadis mana yang tidak akan terpana pada sosok tampan dengan senyuman memikat seperti milik Alvian. Alvian tampan, tubuhnya tinggi, hidungnya mancung, kulit putih dan d**a yang bidang juga bahu lebar yang pasti digilai banyak wanita untuk menyandarkan kepala di sana. Merasakan dekapan hangatnya. Hangat genggaman tangannya. Lelaki itu begitu pandai merawat tubuh. Hingga Keika teringat jika beberapa malam ini, dia merasakan dekapan Alvian sepanjang tidur. Dia mengaduh, mengapa bisa terlupa. Dan bukannya semburat merah di pipinya memudar, kini justru semakin pekat saja. Keika bisa merasakan hawa panas menjalar di wajahnya. Keheningan menggantung diantara keduanya. Membuat waktu di sekitarnya seolah berjalan begitu lambat. Memberi ruang tersendiri untuk saling meresapi pasangannya. Hal yang tak pernah keduanya lakukan selama ini. "Emm ... kamu mandilah, aku akan memanggil Gina." Alvian tersadar lebih dulu. Buru-buru dia melangkahkan kakinya keluar kamar. Meninggalkan Keika yang kini sudah salah tingkah. Wajahnya merah padam, menahan malu. Apa yang baru saja Keika lakukan? Apa dia terpesona pada suami tak diharapkannya itu? Menggeleng pelan, Keika segera beranjak dari duduknya. Lebih baik dia cepat-cepat mandi dan bersiap-siap. Sudah cukup baginya tiga hari ini beristirahat dan bermalas-malasan. Bukankah dia harus menyusun rencana paling matang agar bisa kabur dari sangkar pengasingan milik Alvian. Keika tersenyum miring. Benar, dia harus sembuh. Harus pulih. Menemuni neneknya dan menghajar Ayahnya. Kalau bisa. *** Keika mulai mengambil langkah mendekati meja makan dengan bibir bawah digigit. Dia sudah mandi, memakai pakaian apik -sebuah terusan warna biru burgundi lengan pendek dan gaun memanjang sebatas lutut, rambut hitamnya tergerai habis dikeramas. Tidak sendiri, Keika ditemani Gina di belakangnya, wanita itu yang sejak tadi selalu berada didekatnya. Membereskan kekacauan di kamarnya pagi ini. Dan membantunya mengeringkan rambut. Jika Keika bisa memilih, mungkin lebih baik dia tidak usah sarapan sekalian. Bagaimana tidak, sejak kejadian memalukan pagi tadi, wajahnya selalu dihiasi semburat merah muda dengan jantung yang berdebar pelan. Dan sekarang dia harus berhadapan dengan dalangnya. Alvian. Laki-laki itu sudah rapi dengan jas kantornya. Sedang sibuk menyeduh kopi paginya. Menelan ludah gugup, Keika menarik kursi biasa tempatnya duduk. Takut-takut Alvian akan mempersoalkan sikap kurang ajarnya tadi. Alvian mendongakkan wajahnya, menatap wajah Keika yang ditundukkan dalam-dalam. Sesaat Alvian mengernyit. Menilai penampilan Keika pagi ini yang berkali lipat lebih baik dari hari-hari lalu. Dan di mata Alvian, Keika yang memakai terusan seperti itu tampak lebih manis. "Duduk lah," pintanya. Berusaha untuk menahan nada suara yang keluar dari bibirnya. Karena dia merasa serak tiba-tiba. Seperti tersedak. Keika mengangguk pelan. Tanpa mengatakan apa pun dia menempatkan tubuhnya di kursi tepat di depan Alvian sebelah kiri. Alvian kembali menyesap kopinya. Dia sendiri sudah bersikap biasa, hal tadi pagi hanyalah angin lalu baginya. Sesekali sesekali dia bahkan melirik gadis di hadapannya. Keika tetap saja menunduk dalam dan menekuri makanannya di piring. "Maaf, " lirih Keika, dengan secuil keberanian untuk menengadah dan menatap Alvian. Sayangnya, yang dia temukan di iris hitam Alvian yang berpendar jernih justru membuat napasnya tercekat. Dia berbisik di dalam hati. Tuhan, mengapa makhluk dihadapanku ini tampak begitu rupawan. Jika sehabis bangun tidur saja, Alvian sudah tampak tampan, maka saat ini penampilan lelaki itu berkali lipat menambah nilai plus. Alvian dengan stelan kerja, wajah segar dan rambut hitam mengkilat karena diolesi gel rambut, adalah definisi tampan rupawan, menawan yang sesungguhnya. "Huh?" Alvian menaikkan sebelah alisnya. Menatap lekat pada wanita yang tadi berujar lirih. Dia mendengarnya, hanya saja tidak mengerti dengan maksud ucapan itu. "Emm. Aku minta maaf untuk tadi pagi dan sebelum-sebelumnya," kata Keika. Sedikit salah tingkah melihat wajah Alvian yang kini mengukir senyum tipis. Alvian mengangguk. Dia tidak mempermasalahkan tindakan k*******n yang dilakukan Keika. Karena dia sendiri merasa pantas mendapatkannya. Setelah semua perlakuannya selama ini. "Kamu memaafkanku?" "Hmm, lupakan saja. Tidak perlu seperti itu," sahut Alvian datar. Matanya tak lepas menelisik wajah Keika yang tak lagi tegang. Beberapa saat terlewat dan Alvian tak juga menemukan Keika menyentuh makanannya, akhirnya dia gatal untuk menegur, "Kenapa? Nggak suka makanannya?" "Ehh, ti-tidak, aku suka," Keika menjawab cepat. Tanpa mengatakan apa pun dia mulai menyantap sarapannya. Susah payah dia menelan makanannya. Pasalnya, sikap Alvian sebelumnya dingin. Lebih terkesan tak peduli, ya meski sesekali laki-laki itu mengajaknya bicara. Atau justru selama ini Keika lah yang tak mempedulikan suaminya itu. Dia sudah menutup mata untuk mengenal lebih dekat Alvian, baginya laki-laki itu adalah laki-laki tak berhati yang tak pantas untuk didekati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD