Bab 11

2436 Words
Bab 11 Sore hari, Keika mengayun langkah ke halaman depan, dengan tampilan segar sehabis mandi. Dia meregangkan tubuh dan menatapi tanaman menghijau yang kali ini teramat menenangkan ditangkap iris matanya. Di genggaman tangan kirinya ada sebungkus pakan ikan, dan seperti niatannya, Keika menghentikan langkah di dekat kolam ikan dengan air mancur di tengahnya. Keika menjumut pakan ikan dari kantong plastik dan menyebarnya di atas kolam. Sontak ikan-ikan koi bermacam-macam warna dan motif segera mengerumuni. Dan saling berebut menghabiskan pakan yang dia taburkan. Ikan-ikan koi peliharaan Alvian sudah sebesar telapak tangan, dia sempat mengusulkan pada Gina untuk menggoreng ikannya satu lalu disuguhkan pada Alvian. Namun, Gina dengan tegas menolak. Mengatakan jika setelah ikan itu digoreng, maka berikutnya adalah Gina yang akan menjadi santapan manis Tuan Alvian Brahma. Lelaki yang Keika pikir, tak memiliki hati ternyata sehobi itu memelihara ikan. Ini ikan loh. Ikan Koi. Bukan ikan piranha yang mungkin serupa sifatnya dengan Alvian. Atau levelnya sedikit lebih tinggi, memelihara harimau. Biar kalau harimaunya kelaparan akan menerkam Alvian. Keika tertawa pelan memikirkan itu. "Pasti kamu sedang merencanakan cara paling mudah untuk menangkap ikan-ikan itu dan menyajikannya di meja makan," Tak ingin mengukir senyuman karena kalimat yang tertangkap gendang telinganya itu, Keika kembali menabur pakan ikan, mengundang ikan-ikan itu untuk kembali berkumpul. "Oh, awalnya dikasih makan kebanyakan, lalu kekenyangan dan mati dengan sendirinya, biar nggak ketahuan sebagai tersangka." Keika mendecap, menoleh ke sisi kanannya dengan mata membulat untuk menemukan sosok lelaki menyebalkan yang sedari tadi berbicara dan berdiri sejajar dengannya. Dialah Alvian, si pemilik ikan, dan suaminya. Baru pulang kerja dengan tampilan sedikit berantakan. Entah dibuang ke mana jas yang melekat apik di tubuh lelaki itu pagi tadi, tertinggal hanya selembar kemeja putih polos yang lengannya digulung dan dasi yang tak lagi mengikat apik di leher. "Mau menyangkal?" Alvian menaikkan sebelah alisnya, menantang. "Kamu terlalu berpikiran macam-macm. Mana berani aku goreng ikannya dan disajikan di meja makan," Keika menjawab, membela diri. Meski dia memang sempat mengutarakan hal itu. Namun sekarang tidak sampai hati memotong ikan-ikan berwarna cantik itu hanya untuk berakhir di meja makan. "Oh, jadi enggak?" Keika menggeleng pelan, namun kemudian senyumnya terbit perlahan dan dia menggumam lirih. "Bukan di meja makan, tapi langsung aku sembunyikan ke kamar buat dihabisin sendiri." Alvian mendecap. "Berani begitu?" meski dia tahu, Keika hanyalah membual. Wanita itu tidak bersungguh-sungguh ingin menjadikan ikan koi peliharaannya menjadi santapan lezat. Alvian yakin, Keika tidak akan setega itu memotong koi-koi cantik miliknya. Lalu dia teringat satu hal kemudian mengulurkan tangan kanannya. "Cium tangan dulu." Mengerjap, Keika menatap tak mengerti uluran tangan Alvian yang menggantung dan disodorkan ke arahnya. "Nggak mau. Buat apa." Hela napas penuh kesabaran terembus dari sela bibir Alvian. Dia sudah memperkirakan penolakan Keika. Karena memang, kalau tidak menolak bukan Keika namanya. "Cium tangan suami pulang kerja, kayak istri-istri diluar sana. Masa, sesepele itu kamu mesti diajari dulu." Keika ingin membalas ucapan Alvian dengan decap menyebalkan. "Emang aku istri kamu, aku nggak ngerasa tuh, jadi istri siapa pun." Namun, semua kata itu hanya berbisik di dalam hatinya, karena detik berikutnya, dia menyambar tangan Alvian dan dia cium, seperti permintaan lelaki itu. Tidak seperti yang Keika kira setelah mencium tangan Alvian, maka lelaki itu akan melepasnya, Alvian kini justru menarik tubuh Keika mendekat, untuk lelaki itu dekap. Dan membubuhkan satu kecupan di dahi Keika. Yang jangan ditanya, akan menjadi apa, wajah Keika, karena seketika memerah. "Kita bisa memulai ini pelan-pelan. Layaknya pasangan suami istri diluar sana." Alvian berbisik, mendekap tubuh Keika semakin erat, tidak mempedulikan jika wanita itu menggeliat minta lepas. "Entah bagaimana awal hubungan ini terikat, yang jelas sekarang, kita menjadi pasangan suami istri yang sah secara hukum dan agama. Saling tidak peduli dan membelakangi justru akan semakin membuat kita berjarak. Dan kamu adalah tanggung jawabku, saat ini, nanti dan seterusnya." Termangu, Keika hanya mengerjap beberapa kali di depan d**a Alvian. Dia menelan ludah susah payah ketika merasakan bukan hanya wajahnya yang menghangat namun juga dadanya. Dan berada dalam pelukan Alvian membuat satu ketenangan menyusup di sana. Satu rasa yang selama ini bahkan tidak pernah Keika rasakan. Keika selalu mandiri, menjaga dirinya, dan tidak pernah membuat siapa pun untuk bertanggung jawab atas dirinya, entah itu rasa aman atau pun nyaman. Namun kini, pada lelaki asing yang telah berstatus menjadi suaminya, Keika mendapatkan itu. Alvian memang tidak semengerikan seperti yang dia kira sebulan ini. Suaminya, ketika akhirnya bertatap muka, meski menyebalkan, tetap menaruh perhatian. Selama dia jatuh sakit adalah buktinya, bahkan Alvian sampai tidak berangkat bekerja. "Kenapa?" tanya itu terlontar lirih dari bibir Keika, sebelah wajahnya menempel di d**a Alvian, namun, dia tak juga menyambut pelukan lelaki itu. Mempertahankan dua lengannya untuk bertahan di samping tubuhnya. Alvian mengukir senyum tipis, dia memejamkan mata, menghirup wangi rambut Keika yang segar sekali. Wangi jeruk. "Kenapa apanya?" dia berbalik tanya. Sudut matanya kini terarah pada ikan koi yang berlarian seolah senang sekali habis diberi makan Nyonya muda. Tadi, ketika Alvian baru turun dari mobil, hendak masuk ke dalam rumah, dia tidak menyangka jika yang berdiri di pinggir kolam dan tampak mengukir senyum manis adalah Keika. Padahal senyuman itu bukan ditujukan padanya, namun Alvian tetap merasa senang mendapati wanitanya tersenyum sedemikian rupa. Wanita itu tampak cantik sekali, dengan rambut hitam tergerai. Dan Alvian tergiur untuk mendekati, lalu memberi satu dekapan hangat dibubuhi sebuah ciuman. Ingin mencicipi bibir ranum merekah itu sejujurnya, namun, Alvian lebih baik menahan diri. Diluar rumah, tidak baik mengumbar kemesraan berlebih, kalau dia keblabasan, mungkin Keika akan dengan senang hati menceburkan tubuhnya ke kolam agar sekalian mandi sore bersama ikan koi-nya. Keika mencebikkan bibirnya, tolong dikoreksi jika dia sempat memuji Alvian karena perhatian. Lelaki itu murni menyebalkan, dari ujung kaki sampai kepala. Dia yakin, Alvian mengerti maksud tanyanya tadi, namun seenaknya balik bertanya. Sedikit memundurkan tubuhnya, meski tidak melepas dekapan Alvian, Keika kemudian menengadah, lalu melontar tanya sekali lagi dengan lebih jelas. "Kenapa kamu minta begitu? Bukannya kita hanya dua orang asing yang terikat entah bertujuan untuk apa?" Kali ini, disela embus napasnya, Alvian melepas dekapannya. Berusaha untuk tak merasa kehilangan ketika tubuh mungil Keika dia lepaskan untuk membuat jarak. "Makanya, kita perbaiki hubungan kita. Biar nggak jadi orang asing." Alvian mengambil jemari tangan kanan Keika, dan menatap cincin putih, dengan permata putih kecil yang melingkar di jari manis wanita itu. Ada selusup rasa senang yang menyambangi dadanya, ketika Keika mempertahankan cincin itu menghuni jari manisnya. Keika tak puas dengan jawaban itu. Dia butuh alasan pasti. Sebab apa yang membuat dia akhirnya menikah dengan Alvian. "Karena Jonny menjualmu, dan Alvian sebagai pembelinya. Alasan itu tidak cukupkah? Itu lebih dari cukup membuat kamu terikat dengan Alvian." "Keika, begini, kita sudah menikah." Alvian mengusap cincin permata milik Keika namun iris hitamnya menghujam telaga jernih milik Keika, ingin menunjukkan kesungguhannya. "Kita bisa mencoba menjalani hidup berdua. Menjadi bukan orang asing lagi. Apa inginku ini terlalu berlebihan? Aku hanya ingin kamu di sini, dan tidak akan membiarkan kamu kembali ke hidupmu sebelum ini." Sejak Keika menolongnya di malam ketika Alvian terkapar di jalanan karena dikeroyok preman dan hampir dihabisi, dia sudah berjanji pada diri sendiri. Akan menjaga Keika bagaimana pun caranya, karena telah menolongnya yang berada diambang kematian saat itu. Memang sedikit kesal, karena Keika tak mengingat dirinya, sedangkan Alvian sendiri seperti seorang penguntit yang memerintah orangnya untuk mengawasi Keika sepanjang hari setelah malam itu dan menyelidiki latar belakang Keika. Namun, Alvian tak ingin mengingatkan tentang itu pada Keika. "Aku tahu, aku salah karena mengurungmu selama aku nggak ada. Tapi, setelah ini aku janji, akan memperlakukanmu lebih baik. Kamu mau, kan Kei?" Alvian ingat perkataaan kakeknya, terlalu erat mengikat Keika maka wanita itu akan semakin gencar untuk meloloskan diri. Jadi, apakah dia menyukai Keika? Keika menelan ludah pelan, menilai teramat jeli tatapan mata Alvian yang tersuguh di depannya. Dan dia tidak bisa mengelak karena memang hanya ada kesungguhan di bola mata yang berpendar teduh padanya itu. Membuka lembaran baru Kei? Bukankah Alvian suamimu Kei? Dan sudah berjanji untuk memperlakukanmu lebih baik. Tak lagi membuatmu terkurung di sangkar emasnya. Maka sebagai jawaban, Keika menganggukan kepala. Tak ada salahnya untuk mencoba menjalani hidup barunya. Mau disangkal bagaimana pun, Keika telah berstatus sebagai istri Alviano Brahma. Nanti dosanya bisa bertambah karena tidak mengakui lelaki itu sebagai suami. Alvian merangkai senyuman di bibir, dia mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Keika, lega rasanya karena Keika menerima pengajuan perdamaian secara lisan. Ah, Alvian bisa membayangkan jika hari esok, dia akan menemukan Keika menyambutnya pulang dengan senyuman dan binar bahagia. Bisa kah? Tentu saja bisa, Alvian tinggal mengusahakan agar angan-angan itu tercapai. "Jadi, mulai sekarang aku bisa manja-manja sama kamu?" Alvian mengerling senang. Yang dibalas decapan sebal dari Keika. "Manja-manja gimana?" "Manja sama istri lah, kayak pasangan diluar sana itu loh, Kei." Keika mengaduh, lalu mencibir dengan dibubuhi senyuman geli. "Kamu suka nguntit pasangan-pasangan diluar sana?" setelah mengatakan itu, Keika beranjak dari berdirinya, melangkah cepat meninggalkan Alvian. Namun, baru beberapa langkah, jemarinya segera disambut genggaman tangan Alvian. "Mulai dari hal kecil, genggaman tangan." Alvian mengedipkan sebelah mata, tahu benar sedikit keterkejutan yang Keika tampilkan karena sikapnya. Kemudian dia segera fokus pada kayuhan langkahnya menuju rumah. Mengeratkan genggaman tangannya. Lelaki itu tersenyum senang, karena Keika tidak berusaha melepas. Seperti kata Alvian, Keika pun ingin memulainya dari hal-hal kecil. Entah bernama apa, rasa hangat yang menyusup dadanya karena kedekatannya dengan Alvian. Yang jelas dia merasa nyaman. Agar tidak menjadi orang asing, maka Keika tahu, dia dan Alvian harus sama-sama membuka diri dan memahami satu sama lain. Dan benar kata Alvian sebelumnya. Entah berawal dari apa ikatan mereka, namun yang sekarang mereka tapaki adalah satu kapal yang sama. Alvian bertanggung jawab atas dirinya. Dan Keika pun akan berusaha memperlakukan lelaki itu sebaik mungkin. *** Malam beranjak naik, Keika yang sehabis makan malam segera sembunyi di kamar, tampak meremas selimutnya. Bola matanya berputar memikirkan banyak hal. Termasuk .... Apakah malam ini, Alvian akan tidur dengannya lagi. Tapi, Keika sudah sembuh, dan tak perlu ditemani. Atau lelaki itu akan menjalankan misi perdamaian dengan embel-embel pasangan suami istri. Keika menelan ludah. Rasanya, dia ingin mengunci pintu kamarnya, agar Alvian tak perlu masuk. Dia belum siap. Tapi, kalau sudah dikunci pasti bukan hal sulit bagi Alvian untuk membobolnya, bisa saja handel pintunya dihancurkan. Keika menjerit di dalam hati, pikirannya sudah sejauh itu. Dia sudah akan masuk ke dalam selimutnya, menyembunyikan diri, namun suara pintu terbuka membuat dia kembali dalam mode awas. Iris cokelat terangnya berpendar penuh kewaspadaan, seolah yang masuk ke dalam kamarnya adalah seorang maling. Kata Bobby -guru beladirinya, pertahanan pertama bagi seorang perempuan ketika merasa terpojok adalah memberi satu pukulan dengan penuh kekuatan ke arah vitalnya. Eh, tapi. Keika mengerjap, masa dia setega itu menghajar Alvian. Dia menggeleng pelan, masih bersembunyi di dalam selimut, sebelum akhirnya suara seseorang membuat dia mendesah lega. "Non Kei, saya bawain air putih, simpan di atas nakas, ya." Merasa yakin, jika hanya Gina yang masuk kamarnya, Keika membuka selimut penutup kepalanya dan memperlihatkan wajahnya yang dihiasi merah, karena rasa panas dibawah selimut. "Aku pengin cemilan sebenarnya," Keika berucap jujur, bangkit perlahan dari rebahannya untuk kemudian duduk bersandar di kepala ranjang. Gina yang berdiri di sisi ranjang Keika selepas meletakkan gelas di nakas, melempar tanya, "Non Keika mau makan apa, biar saya ambilkan?" Keika menelan ludah, bukannya menjawab tanya Gina, dia justru mengalihkan pembicaraan. Ingin tahu keberadaan Alvian, dan sedang apa lelaki itu. Karena ketika dia naik ke kamar, Alvian mengatakan ada sedikit pekerjaan. "Alvian masih sibuk?" Mengangguk, Gina mengukir senyuman tipis. Merasa lega ketika interaksi dua majikannya tampak ada kemajuan. "Sedang menemui Mas Bobby, Non." Mendengar nama Bobby disebut, bola mata Keika berbinar. Dia sudah lama tidak bertemu lelaki itu. Ingin bertanya, kapan Bobby bisa mengarinya lagi. "Aku mau ketemu Bobby." Keika menurunkan kakinya, sudah akan beranjak pergi sebelum suara Gina mencegahnya. "Mungkin lain kali Non, tadi saya lihat mereka tampak mengobrol serius." Keika menurut, dia menganggukan kepala dan kembali pada posisi awalnya. "Jadi, apa yang ingin saya ambilkan untuk Non?" "Puding pelangi, ya," Setelah mengatakan pada Keika untuk menunggu, Gina segera keluar dari kamar Keika. Dan si pemilik kamar ikutan bangun, membuka pintu kaca yang menghubungkan ke arah balkon. Dan seperti beberapa malam sebelum Alvian ada di rumah, Keika akan menghabiskan waktu di awal malam dengan menatap langit. Dalam heningnya malam, Keika menengadah, sesekali menghitung bintang, kalau tak juga menemukan jumlahnya, Keika akan mengalihkan fokus pada pesawat yang melintas di atasnya. Kelap-kelip lampu pesawat itu membuat Keika merasa senang. Dan bukan hanya satu kali, dia berharap pesawat yang melintas di langit-langit sana, akan membawanya pergi. Kekanakkan ya, memang. Keika menghela napas, itu masa-masa yang lalu. "Kamu sedang apa?" Berjengit kaget, Keika menoleh ke samping dengan mata membulat, apalagi ketika sadar ada lengan yang melingkari pinggangnya. Dan karena gerakan tiba-tiba itu, wajahnya bertubrukan dengan wajah Alvian yang menempel erat dengan bahunya. Bukannya menjauhkan wajah, Alvian justru memburu wajah Keika, dan menanamkan kecupan di pipi wanita itu. Kecupan yang teramat dia inginkan. "Kenapa? Kaget ya aku naik ke kamar tiba-tiba gini," bisiknya di depan pipi Keika. "Bukannya sore tadi, udah janji mau jadi pasangan layaknya suami istri lain." imbuhnya ketika sadar Keika sedikit memundurkan tubuh. Keika menelan ludah, dia memalingkan wajah untuk melihat hamparan taman di depannya. Ini yang Keika maksud. Dia belum siap untuk memberikan apa yang seharusnya seorang istri berikan pada suaminya. Yang dalam hal ini adalah kewajiban Keika, dan hak Alvian atas dirinya. "Kita sama-sama belajar," Alvian menyentuh sebelah pipi Keika, untuk dia arahkan kembali menatap pada dirinya. Dan dia menelan ludah ketika belah bibir Keika terbuka sedikit. Jangan lupakan tatapan wanita itu yang tampak pasrah dibawah dekapnya. Bohong jika Alvian tidak menaruh keinginan menyentuh sejak pertama melihat Keika di rumahnya. Dia justru bersikap menyebalkan untuk menyamarkan keinginan itu. Setidaknya memberi waktu pada Keika untuk sedikit mengenal dirinya yang sesungguhnya. Dan kini, Alvian merasa jika sudah waktunya. Dalam kata lain, dia tidak bisa menahan lebih lama lagi. Kemarin-kemarin dia terus mengingatkan diri, karena Keika yang masih terkapar. "Tapi, bukan sekarang." Keika mencicit, berusaha memundurkan wajahnya. Dia tidak tahu harus bagaimana untuk menolak. Ini yang dia takutkan. Padalah tadi, Keika berharap Alvian akan menyelesaikan pekerjaannya hingga larut malam. Lalu sudah mengantuk dan kemudian jatuh tertidur. Alvian mengulum senyuman tipis. "Wajah melas kamu nggak mempan, Kei." dia mendekatkan wajah, dan meraup bibir Keika. Menyesap bibir wanita itu atas bawah secara bergantian. Seolah dia teramat lapar. Ketika akhirnya dia melepas tautan bibir mereka, Alvian sekali lagi mengukir senyuman tipis melihat Keika yang tampak kehilangan separuh oksigen. Wanita itu megap-megap dengan wajah memerah dan kelopak mata berkedip. "Beneran, Kei. Kamu butuh banyak dilatih, biar mampu mengimbangi aku." Setelah mengatakan itu, Alvian kembali melancarkan serangan, dia mendekap semakin erat tubuh Keika agar menempel pada tubuhnya dan membuat tubuh wanita itu menempel dipembatas balkon. Dan malam itu, untuk yang pertama kalinya, mereka saling berbagi rasa panas, bertukar satu rasa baru. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD