Bab 9

1646 Words
Bab 9 Hari menjelang siang, ketika Alvian memutuskan untuk menutup laptopnya dan sedikit meregangkan tubuh sebelum akhirnya beranjak dari kursi kerjanya untuk keluar ruangan yang sejak dua - tiga jam ini dia tempati. Berkutat dengan kesibukannya di depan laptop dan beberapa dokumen perusahaan. Alvian memutuskan libur kerja hari ini. Entah untuk menjaga Keika atau dia memang sedang malas masuk kantor. "Gina, bawakan aku jus jeruk ke kamar." Alvian meminta, tepat ketika Gina baru keluar dari kamar Keika. Yang segera dibalas dengan anggukan mantap dari wanita yang sudah mengabdikan diri di rumah Alvian sejak beberapa tahun lalu. Pelayan patuh yang melakukan pekerjaannya sesuai dengan apa yang Alvian inginkan. Alvian mempercayakan rumah pada Gina, sewaktu dia sedang berdinas ke luar kota. Gina bisa dipercaya, dan memang hanya orang-orang pilihan yang Alvian pekerjakan di rumahnya. Tanpa mengetuk pintu kamar Keika, Alvian mengungkit handel pintu dan segera masuk. Mendapati wanita manis yang menyandang nama belakangnya masih terlelap di atas ranjang. Dia berjalan mendekat dan berhenti satu langkah dari ranjang Keika, hanya untuk memperhatikan wajah wanita itu. Sudah sedikit lebih berwarna, tidak seperti pagi tadi yang tampak pucat pasi. Alvian mengulurkan tangan, untuk mengusap sejenak pipi Keika yang hangat. Seperti yang Alvian pikirkan, pipi Keika halus sekali, meski ada beberapa titik hitam bekas jerawat. Tak ingin mengganggu. Alvian melepas usapan tangannya. Untuk kemudian meraih beberapa bungkus obat yang tersimpan di atas nampan kecil beserta segelas air putih di atas nakas. Dia membaca sekilas label-label obat itu dan menemukan setiap jenis obat sudah terbuka satu biji. Alvian kembali menatap Keika. Wanita itu sudah terbangun tadi, dan meminum obatnya. Untuk beberapa saat, Alvian terpaku menatap Keika yang menutup erat kelopak matanya. Bukankah wajah itu belum berubah sejak pertama kali melihat? Bagi Alvian justru wajah Keika yang tersuguh di hadapannya ini tampak berkali lipat lebih cerah, dibanding malam itu. Ketika Keika menemukan dirinya terkapar di pinggir jalan. Wanitanya. Yang ternyata melupakan wajah tampan rupawannya. Alvian berdecih pelan. Bukan hal penting jika Keika melupakan wajahnya, karena yang jelas hari ini dan seterusnya, wanita itu akan selalu berada dalam jangkauannya. Alvian tidak akan membiarkan Keika kembali ke kehidupan lama wanita itu. Menjadi pegawai mini market, pulang malam. Dan bahkan hendak dijual ayah sendiri hanya untuk membayar hutang yang menumpuk karena judi. Kalau Alvian dan kakeknya datang terlambat untuk menjemput saat itu. Entah apa yang akan terjadi pada Keika. Wanita itu bisa saja sudah jatuh ke tangan mucikari, atau pengusaha berperut buncit, laki-laki hidung belang, atau bahkan terjebak di perdagangan manusia yang dikirin ke luar negeri. Alvian mengambil satu keputusan pasti, saat itu, dengan menikahi Keika dan membuat perjanjian dengan ayah wanita itu untuk tidak menganggu Keika di kemudian hari. Dengan menjadikan Keika istrinya, maka wanita itu menjadi miliknya seutuhnya, sah di mata hukum dan agama. Puas dengan kelakuannya yang menatapi wajah Keika, Alvian memundurkan langkah, mengarah pada meja rias wanita itu dan menemukan sebuah buku tergeletak di atasnya. Alvian mengambilnya, dan membawanya ke balkon untuk kemudian mengambil duduk di salah satu kursi. Dia menatap sampul depan yang hanya tertulis satu kata di sana. Sebuah nama. Keika. Kemudian membuka lembar demi lembar buku Keika yang Alvian kira buku diary, nyatanya hanya notasi-notasi nada. Alvian belum pernah mendengar secara langsung permainan piano Keika, namun, kata Widi -guru piano Keika. Wanita itu cepat tanggap untuk setiap hal yang diajarkan. Dan permainan Keika cukup bagus, tidak terlalu berantakan. Baru sebulan private piano dan wanita itu sudah cukup pandai menguasai. Alvian tidak bisa untuk tidak berdecap kagum. Dia kira, Keika yang hidup di pinggiran kota dengan lingkungan rumah mendekati kumuh tidak akan tergiur pada hal-hal berbau musik. Dan ini piano. Mungkin lain kali, Alvian bisa request pada Keika untuk mempersembahkan sebuah pertunjukan padanya. Alvian sudah akan membuka lembaran-lembaran di buku Keika ketika ponselnya di dalam saku bergetar pelan, bersamaan dengan itu, Gina datang dan meletakkan segelas jus sesuai pesanan Alvian. Sembari mengangkat panggilan di ponselnya, Alvian menyesap pelan jus jeruknya, merasakan kesegaran segera menyapa kerongkongannya. "Halo, Kakek," sapa Alvian, sembari meletakkan jusnya ke meja dan memutar duduk. Bukan lagi menatap halaman belakang, namun ke arah kamar. Di mana Keika kali ini mengubah posisi tidur dengan membelakangi dirinya. Gadis itu pasti merasa silau karena jendela yang Alvian buka. "Kamu tidak ke kantor?" Pertanyaan itu membuat Alvian menghela napas berat. Belum ada satu minggu dia absen, dan sudah ditanyakan sedemikian rupa. Lagi pula, meski dia tidak berangkat ke kantor, Alvian tetap bekerja di rumah. Memeriksa laporan bulanan dan pengajuan kerja sama bisnis dari beberapa perusahaan. Juga banyak hal lainnnya. "Keika sakit, jadi Al menungguinya di rumah." "Kenapa bisa sakit?" Nada suara Brahma sedikit meninggi mendengar kabar jika cucu mantunya jatuh sakit. "Kei kan manusia, Kek. Ya, bisa sakit lah. Kalau selalu dalam performa bagus, justru diragukan. Dia manusia bukan bidadari." Diakhir kalimat, Alvian sedikit mengulum senyuman tipis. Tidak menyangka jika bisa melontar kata-kata seperti itu pada kakeknya. Untuk menjelaskan tentang Keika. Brahma di ujung telepon berdecap. Dia masih berada di Bali. Seminggu lalu, Alvian bersamanya untuk meninjau lahan yang akan dijadikan proyek besar perusahaannya. Membangun Mall dan taman bermain berskala internasional. "Kamu harus jagain cucu mantuku, Al." Tanpa diminta pun, Alvian akan melakukan itu. Menjaga Keika. Meski dengan caranya sendiri. "Atau Keika sakit karena kamu terlalu memaksakan. Kakek senang kalau cepat-cepat punya buyut. Tapi tidak dengan menyiksa cucu mantu juga, Al." Alvian yakin, kakeknya sedang tertawa geli karena lontaran kalimat yang keluar dari bibir yang mulai keriput itu. Jangankan mengandung, bahkan Alvian belum menyentuh Keika sedikit pun. Masih terlalu dini buatnya. Mungkin nanti setelah Keika sembuh dari sakit. "Nggak usah aneh-aneh, Kek. Jadi ada apa Kakek hubungi Al, nggak mungkin cuma untuk memastikan Al ngantor nggak, hari ini." Alvian berucap. Mengalihkan pembicaraan perihal buyut yang belum terlihat tanda-tandanya itu. Dia hapal betul dengan tabiat Kakeknya, tidak mungkin hanya basa-basi menanyakan apa dia ngantor hari ini atau tidak. Kakek sama seperti dirinya, meski sudah menua namun disibukkan dengan pekerjaan. Brahma di ujung telepon tertawa hambar. Cucunya memang menyebalkan, tidak bisa dimanja sedikit saja. Dia yang sudah tua kan juga ingin sedikit bercanda, agar hidupnya tak melulu serius karena masalah perusahaan. "Minggu depan, ulang tahun Tjaraka, kamu hadir ya, ajak Keika sekalian." Alvian mengaduh di dalam hati. Dia hampir lupa dengan ulang tahun sahabat kakeknya itu. "Mungkin, Al aja yang datang. Kei nggak perlu ikut." "Kenapa enggak?" Brahma menyambar cepat. "Kakek tahu sendiri, diluar tidak aman untuk Keika." Alvian mendesah, kembali menggulirkan bola mata hitam kelamnya untuk tertuju pada Keika yang tidak terusik sedikit pun dengan obrolan Alvian dan Brahma. Brahma berdecak. Lalu membuang napas kasar. "Keika akan baik-baik saja. Dia juga perlu berinteraksi dengan dunia luar, tidak melulu hanya di rumah saja." "Tapi, Kek--" "Al, seperti yang kamu bilang barusan. Keika adalah manusia. Manusia itu makhluk sosial, dan bisa merasa bosan. Kalau bosan, terus lari dari kamu. Siapa yang rugi? Kamu. Dan kakek juga, karena kehilangan cucu mantu." Brahma menarik napas, mengerti benar ketakutan yang Alvian rasakan. Pada orang yang disayangi, apa pun memang menjadi begitu menakutkan apalagi jika kemungkinan orang itu berada dalam bahaya. "Tapi ada kamu dan beberapa pengawal yang akan menjaga Keika. Kamu mengerti apa yang Kakek bicarakan?" Alvian mendesah dan menganggukan kepala. Yang Kakeknya katakan memang benar adanya. Dia tidak mungkin mengurung Keika lebih lama lagi. Satu bulan Keika hanya berada di rumahnya saja, Alvian mendapati tatapan kebencian dari wanita itu. Apalagi jika seterusnya. Bukan hal tidak mungkin jika Keika melakukan hal-hal nekat lain, termasuk berusaha mengakhiri hidup karena merasa dipermainkan dan diperbudak olehnya. Merasakan denyut nyeri di d**a sebelah kirinya, Alvian menggelengkan kepala. Keika tidak boleh berbuat nekat lagi. Kemarin adalah yang terakhir. Dia baru memiliki gadisnya, Alvian tidak akan membiarkan Keika untuk lepas dari ikatan yang dia buat. Tapi, sadar jika di luar sana begitu berbahaya bagi Keika, apalagi jika mengetahui status Keika yang kini menjadi seorang istri dari Alviano Brahma. Alvian tidak akan bisa tenang. Pada dia yang seorang lelaki saja, bahaya itu bisa datang kapan saja, apalagi ini bagi Keika. "Al," Panggilan dari Kakeknya memutuskan segala kemelut pikiran yang berkecamuk. Lelaki itu segera menggeleng pelan dan membalas singkat. "Besok, Al datang sama Kei." Seruan senang diujung telepon membuat Alvian sedikit mengernyit. Tidak biasanya, Brahma bisa sesenang itu, padahal Alvian hanya menyanggupi sedikit permintaan. "Kakek akan datang ke pesta Tjaraka besok, jadi pastikan kamu membawa Keika untuk bertemu Kakek." Oh, karena alasan itu. Meski Brahma adalah seorang lelaki, namun Alvian yakin, kakeknya pasti akan dengan senang hati mengenalkan Keika ke beberapa relasi bisnis yang akan hadir di pesta besok. "Kamu bawa Keika ke butik buat pilih gaun, terus di make up artis paling profesional. Kakek ingin cucu mantu Brahma yang paling bersinar." Nah kan. Ingatkan Alvian jika yang barusan bicara adalah Brahma. Kakeknya. Oke. Bukan Neneknya. Hal-hal seperti itu harusnya dilakukan oleh seorang wanita. Untuk mengenalkan menantu kebanggaan. Tapi, Neneknya sudah tiada sejak bertahun lalu. Dan ibunya sendiri sudah tak pernah mengunjungi Indonesia sejak tragedi sepuluh tahun silam. Tinggal Alvian dan Brahma seorang yang memilih menetap di Indonesia dan mengurusi langsung kerajaan bisnis mereka. "Besok Al bujuk, biar Kei mau ikut." Karena Alvian tidak yakin, Keika mau dengan mudah menuruti dirinya untuk ikut ke pesta. Kalau dibiarkan keluar dan kembali ke hidupnya dulu, sudah pasti Keika tidak akan menolak. Brahma berdecap. "Terserah, pokoknya Keika harus ikut." Putusnya tak ingin tahu bagaimana Alvian akan membujuk nantinya. "Dan kirimkan laporan hasil bulanan yang sudah kamu periksa pada Kakek." Setelah Alvian mengiyakan permintaan kakeknya, dan berjanji akan mengirimkannya sore ini. Panggilan ditutup dengan sedikit basa-basi kakek-cucu yang terlalu lengket. Hanya Brahma yang Alvian miliki selama ini. Dan hanya Brahma yang rela memberi perhatian padanya, maka, kepada lelaki itu lah, Alvian begitu menurut. Dan kini, Alvian berjalan mendekat ke arah ranjang Keika setelah sekali lagi menyesap jusnya yang embun es-nya hampir menghilang karena sudah terlalu lama dia tinggal mengobrol. Dia memiliki Keika Adellia. Istrinya. Tidak mempedulikan Keika yang masih sakit, dan kemungkinan gerakan yang dia perbuat membuat wanita itu terganggu tidurnya, Alvian menjatuhkan diri di samping Keika dan ikut terlelap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD