Sudut pandang tersudut

1501 Words
Malam yang indah. Bulan bersinar dengan terang menujukan kemilaunya. Menyinari bangunan berukuran sedang di bawahnya. Bangunan itu nampak terang dengan tambahan lampu LED yang tergantung di luar dan di dalam masjid. Di dalam masjid, berkumpul ramai anak-anak dengan wajah antusias. Anak-anak dengan langkah kecil mereka berbondong-bondong memasuki masjid. Mereka memeluk tas kecil atau iqro di tangan mereka. Senyum mereka mengembang, bersinar lebih terang dari bulan di atas sana. Lantunan doa para ibu mengiringi mereka. Semakin bersinar terang. Cahaya masjid mungkin lebih bersinar dari terangnya bulan. Ribuan malaikat mungkin duduk di sisi teras menyaksikan anak-anak yang dengan ceria membacakan Al-Qur’an dengan suara-suara nyaring mereka. “Ayo semuanya masuk,” seru Delshad. Anak-anak dengan patuh langsung kembali masuk ke masjid. “Sudah semua ?“ tanya Giffari dengan suara yang sedikit dikuatkan agar semua anak mampu mendengar suaranya. Suara Giffari agak tenggelam dengan suara para santai yang masih belum kondusif. “Sudah.... “ jawab mereka serempak. Giffari berdiri dari duduknya dan mengecek ke teras, apakah ada santri yang belum masuk. Meski terletak di tengah-tengah penduduk. Masjid ini masih belum menjadi perhatian ‘utama’ para penduduk sekitarnya. Kepedulian penduduk masih belum terjamak. Penduduk masih acuh akan keberadaan masjid ini, bahkan masjid berukuran sedang ini tidak cukup dana untuk membeli kipas. Tidak heran saat mengaji, anak-anak lebih senang di luar teras. Tidak jarang juga para santri mengeluh kepanasan. Giffari bertugas sebagai pengajar dan penanggung jawab sedangkan Aariz dan Delshad hanya bertugas mengajar saja, begitu pun Azzura dan Bahia yang khusus mengajar santri wanita di balik gorden pembatas. “Sudah, Kak... “ kompak anak dari barisan laki-laki. “Santri perempuan sudah selesai juga, Zur? “ Giffari menyembulkan kepalanya di balik gorden pembatas. “Tinggal satu lagi,” jawab Azzura. Di hadapan Azzura masih ada satu anak yang duduk di hadapannya sembari menenteng iqro-nya. Sedangkan Bahia mencoba mengatur anak-anak agar kembali tertib. Azzura dan Bahia agak keteteran lantaran, bu Nirmala hari ini tidak bisa ikut mengajar. Bu Nirmala dan beberapa ibu-ibu yang lain sedang membesuk salah satu teman mereka yang jatuh sakit. Giffari mengangguk mengerti dan kembali ke posisinya, duduk lesehan di lantai masjid. Tidak ada ambal yang terbentang. “Sekarang tenang ya, kita bentar lagi pulang. Setelah Kak Azzura selesai,” kata Giffari menenangkan para santri yang mulai tidak sabar ingin pulang. “Kasihan Azzura dan Bahia, pasti mereka kewalahan... “gumam Delshad begitu Giffari duduk tepat di sebelahnya. “Iya, tapi alhamdulillah. Mereka bisa menanganinya,” sahut Giffari. “Saqallahualadzim... “ Begitu mendengar suara itu, Giffari langsung bangkit dari duduk lesehan nya. “Ayo, sekarang buat lingkaran... “ kata Giffari. Hal yang sama juga Azzura di barisan perempuan. Mereka akan doa bersama. Doa khataman Qur’an di pimpin Delshad. Lalu setelah itu barulah para anak-anak dengan tertib keluar dari masjid. “Kasihan mereka, setiap ngaji selalu kepanasan karena di masjid gak ada kipas,” kata Bahia. “Iya kasihan mereka,” sahut Azzura, sedih. Keduanya lalu termenung, menatap lurus pada punggung anak-anak yang mulai berjalan menjauh dari masjid. “Kayaknya kita butuh penggalangan dana deh, Zur... “ “Penggalangan dana? “ tanya Azzura, memastikan. Bahia mengangguk semangat. “Ana setuju.... “ sahut Giffari yang baru saja keluar dari masjid bersama Delshad dan Aariz. “Jadi apa yang harus kita lakukan ?” Bahia tersenyum lebar. Gadis itu dengan cepat mengeluarkan ponsel dari saku gamisnya. “Liat...” Bahia memperlihatkan ponselnya. “ Tadi aku ambil foto-foto ini. Foto selama proses mengajar. Foto ini bisa kita gunakan untuk proposal penggalangan dana ke perusahaan-perusahaan.” “Ide bagus. Ana juga bisa minta tolong ke senior-senior di organisasi kemanusiaan,” timpal Delshad. Aariz mengangguk. “Biar aku dan Giffari yang nyebar proposalnya.” “Bagus. Aku dan Azzura yang buat proposalnya. Aku sama Azzura juga akan melakukan penggalangan dana melalui social media. Di sana kita bisa unggah foto dan video mengajar—“ “Tidak perlu! “ potong Giffari cepat. “Kenapa? Kita bisa manfaatkan teknologi untuk kebaikan. Apa salahnya?” tanya Bahia. Giffari menghela nafas panjang. “Kita gak perlu upload foto, video atau apa pun di sosmed.” Giffari terdiam. “Karena sosmed itu jahat.” *** “Assalamualaikum,” sapa Giffari dengan senyum mengembang lebar. Seperti biasa Giffari akan duduk di barisan paling depan, bersama Delshad. “Waalaikumsalam, “ sahut Delshad yang sudah datang lebih awal di kelas. “Hari yang cerah ya....,”kata Giffari dengan senyum lebarnya. Pria itu membawa satu kardus yang ia letakan di atas mejanya. “Ente bawa apa, Gif ?” tanya Delshad, terpancing rasa ingin tahunya. Giffari tersenyum merekah, “Cokelat.” “Cokelat.... jangan bilang.... ya Allah, Gif, kamu kan tahu kalo pacaran itu dosa. Kalo emang kamu suka sama cewek, ya lamar. Gak usah segala kasih cokelat gini.... astagfirullah... nyebut Gif.... Ya Allah.. “ Delshad mulai lagi. Giffari terkekeh mendengar rasa takut berlebihan sahabatnya itu. Cokelat yang sering di gunakan untuk menyatakan cinta oleh sebagian orang nampaknya membuat Delshad antipati saat pria membawa cokelat. Delshad akan menggelar ceramah panjang seperti ini. “Di kasih tahu malah ketawa. Ana serius Giff. Ini bukan masalah remeh. Di dalam Al-Qur’an sudah di jelaskan, Allah melarang kita mendekati zina. Nah, pacaran itu ibarat gerbang menuju zina. Sekuat apa pun iman kita, lambat laun bakal terdorong juga ke dalamnya.” “Inilah kenapa dalam agama Islam. Kita harus tabayun sebelum menarik benang merah atas suatu masalah. Dengan terburu-buru menarik benang merah, kita bisa digiring ke dalam opini yang salah.” “Berita hoax, adu domba dan lainnya bisa hadir karena lemahnya rasa ingin mencari tau terlebih dahulu dulu. Ini juga bahaya, Shad.” Giffari menggeleng-geleng dramatis. “Giff, aku liat di mading kampus, kamu nyaloni jadi ketua pemuda masjid ya? “ tanya Bahia. Bahia dan Azzura baru saja tiba di kelas. “Iya, Doain ya guys, ana gak sabar lagi, ana juga deg-degan.... semalaman ana, gak tidur sangking bahagianya ke pilih mencalonkan diri sebagai ketua pemuda masjid... ” Giffari tersenyum lebar, menampilkan senyum pipit di wajahnya. “ Jadi cokelat ini buat... itu gak baik Gif,” Delshad kembali bersuara. “Jangan soudzon ente, ana cuman mau bagi-bagi cokelat aja. Sedekah. Kata orang cokelat itu baik buat yang lagi sedih. Ana pengen semua orang bahagia kayak ana. Dan kebetulan aja hari ini baru dapat rezekinya.” “Wah, cokelat, pengen sih. Tapi pasti gak boleh, Aariz.” Bahia nampak sedih melihat sekardus cokelat di atas meja Giffari. “Tenang Iah, aku punya makanan khusus buat kamu... dijamin sehat,” Giffari mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “TADAH.... Yogurt.” “Wah, makasih Giff..” Bahia tersenyum lebar. “Sama-sama. Shad, Zur, silakan ambil cokelatnya. Mau ana bagi ke yang lain.” Azzura dan Delshad bergantian mengambil cokelat dari dalam kardus, lalu Delshad kembali ke posisinya sedangkan Bahia dan Azzura mencari kursi kosong untuk mereka duduki di kelas. Lagi-lagi hanya tinggal kursi di barisan depan yang belum terisi, kursi di isi dengan acak. Rata-rata para mahasiswa memiliki kursi dan posisi yang ‘tetap' hanya akan menjadi tempat mereka, meski sistem tempat duduk tidak di buat seharga mati di bangku sekolah namun tetap saja kebiasaan ini terbawa hingga ke bangku kuliah. Kursi dan posisi mereka seperti tempat khusus yang akan timbul perasaan tidak nyaman jika kita menempatinya. “Di sini ada yang namanya Giffari ?” seorang pria berdiri di ambang pintu. Giffari yang tengah membagikan cokelat langsung mengangkat tangannya dan berjalan mendekat ke arah pintu. “Oh kamu Giffari ya, kenalin nama saya Faud. Saya anggota inti pemuda masjid devisi 5. Saya kesini mau menyampaikan amanah dari hasil rapat kemarin. Setelah rapat kemarin, ada prosedur yang sedikit diubah mengenai pemungutan suara.” “Anggota yang lain memberi saran, untuk menghindari ketidakefisiensi waktu dan memperkecil anggaran. Di putuskan pemungutan suara akan di dilakukan secara online. Jadi setiap peserta wajib mengunggah foto diri, visi dan misinya si akun sosial media. Vote terbanyak akan dipilih menjadi ketua. “Dari yang saya liat, kamu kompeten, aktif dan mempunyai kemampuan untuk menjadi ketua. Visi dan misi kamu juga bagus dan jelas. Saya berharap kamu terpilih menjadi ketua, makanya saya datang ke sini memberi tahu informasi dan juga semangat buat kamu.” Pria yang Giffari baru ketahui namanya itu tersenyum lebar, berbanding terbalik dengan Giffari. Giffari terlihat sedih dan sorot mata cerahnya, meredup semu. “Terima kasih atas dukungannya, Bang Faud. Tapi kayanya ana gak bisa maju. Ana mundur, Bang. Ana tidak siap dengan prosedur barunya.“ “Loh kenapa ente? Inikah cuman berubah di bagian pemungutan suaranya doang.” “Itu yang gak saya bisa, Bang. Saya harus mundur. Maaf, Bang.” Tersirat kekecewaan dari raut wajah Faud, namun pria berusia satu tahun lebih tua dari Giffari ini berusaha menghargai keputusan junior-nya. “Ya sudah, kalo itu memang keputusan kamu, saya tidak bisa memaksa. Mengenai pengunduran diri kamu, biar nanti saya urus. “ Faud menempuk pelan bahu Giffari sebagai lambang penyemangat. Giffari balas tersenyum, “terima kasih, Bang.” “Kalo gitu, saya pergi dulu. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” sahut Giffari, pelan. “Loh, kenapa kamu mengundurkan diri, Giff ?” tanya Delshad yang sejak tadi tidak sengaja mencuri dengar percakapan Guffari dan senior-nya. Giffari memilih bisu dan langsung menjatuhkan dirinya di kursi sebelah Delshad. “Ente, kenapa sih? kenapa ente anti banget sama sosial media? “ tanya Delshad lagi. Giffari menoleh, menampilkan guratan wajah sedih yang kentara. Jika saja, Giffari seorang wanita mungkin kantong air matanya sudah terisi penuh dan tumpah membasahi wajahnya. Namun ia pria. Rasa sesak di dadanya tidak bisa tampil dalam butiran air mata dengan mudahnya. “Karena tidak semua yang baik-baik akan selalu baik, Shad. Ana hanya mencoba melindungi diri. Agar ana tidak kembali pada kesalahan yang sama.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD