Azzura dan keputusan

2216 Words
Setelah semua itu, Azzura menjalani segalanya seperti biasa, normal kembali. Ia mengajar, berkuliah dan melakukan hal-hal yang rutin ia lakukan, hanya satu yang berbeda, Azzura tidak lagi datang ke kajian. Ia ingin datang, namun hatinya belum siap. Ia tidak sekuat yang terlihat. Mendapati kenyataan bahwa pernikahannya di batalkan sepihak bukan kenyataan yang mudah Azzura terima. Ia sudah menguati hatinya namun semua itu tidak semudah keinginannya. Bahia ikut merasakan apa yang Azzura rasakan. Ia ikut berpura-pura tersenyum, saat Azzura berusaha menunjukkan pada dunia, bahwa ia baik-baik saja. “Mau ke kantin? “tanya Azzura, riang. Seolah tanpa beban, seolah tidak ada luka di hatinya. Meski begitu Bahia, bisa melihat luka itu dari hati Azzura. Bahia tertegun. Semenjak semua itu, kantin menjadi tempat yang tidak lagi Bahia kunjungi. Di sana terlalu banyak kenangan bersama Lisa dan hal itu hanya akan membawa kembali ingatan Azzura pada rasa sakit itu. Bahia menggeleng. “Aku gak lapar.” “Hem...kalo gitu mau ke perpustakaan ? Udah lama kita gak ke sana.” Perpustakaan, tempat itu juga banyak kenangan bersama Lisa. “Gak.” “Hem, terus mau ngapain? Mata kuliah selanjutnya masih sejam lagi kan?” “Aku belum salat duhha. Kita ke masjid kampus aja yuk. Sekalian mau baca ensiklopedia Islam.” “Ya udah, ayo kita ke sana.” Keduanya lalu berjalan santai menuju masjid kampus yang terletak di bagian depan kampus. “Zur, habis selesai kuliah, kamu ada acara gak? Bisa temani aku ke toko buku gak? “ tanya Bahia. “Hem...” “Kalo ada urusan gak papa kok, Zur. Lain kali aja.. Oke.” Azzura tersenyum. “Oke. Maaf ya, Iah.” “It’s okey Zura.. memangnya kamu mau kemana habis kuliah? “ “Hem...” Azzura tertegun. “Eh, kamu tadi di rumah udah salat duhha kan? Mau tunggu di dalam atau di luar ?” tanya Bahia. Tidak terasa mereka sudah sampai di depan masjid kampus. “Aku mau salat duhha lagi aja.” “Oh gitu...kamu duluan aja ke tempat wudu. Aku mau ke toilet dulu.” “Oke.” Bahia segera ke toliet masjid. Di toilet masjid, Bahia harus mengantri cukup lama. Di jam segini, masjid memang sedang ramai. Rata-rata mahasiswa yang menunggu mata kuliah selanjutnya akan menunggu di masjid. Dan status masjid sebagai tempat yang amat di sukai mahasiswa, rasanya wajar hal ini terjadi. Setelah selesai, Bahia baru-buru ke tempat wudu, berbeda dengan toilet yang hanya mempunyai empat bilik yang membuat para mahasiswi harus bergantian, tempat wudu jauh lebih luas dan memiliki sepuluh keran air yang bisa di pakai bersamaan sehingga akan jarang terjadi antri. “Azzura pasti sudah salat duluan.” Bahia langsung masuk ke dalam masjid. Matanya mencari sosok Azzura di sana. Terlihat Azzura sedang melaksanakan salat duhha dengan khusyuk di pojok paling belakang. Bahia segera berjalan menuju Azzura. Dia akan salat di sebelah Azzura. Saat Azzura sujud, Bahia memulai salat sunnahnya. “Assalamualaikum Warahmatullah...” kepala Azzura menoleh ke kanan lalu ke kiri, mengakhiri salatnya. “Astagfirullah, astagfirullah...” terdengar dzikir lirih dari mulut Azzura. Azzura memejamkan matanya, menikmati tiap dikit yang ia lafadzkan. Azzura tenggelam dalam sekutunya hingga tidak menyadari bahwa orang yang ada di sebelahnya adalah Bahia. Bahia selesai melaksanakan salatnya. Ia hendak berdoa, tangannya terangkat hendak meminta pada sang maha kuasa. “Ya Allah, permudahlah urusanku, permudahkan jangan disulitkan,” lirih Azzura. Suara Azzura yang terdengar lirih, mengalihkan perhatian Bahia. Bahia menilik raut wajah Azzura. Mata gadis itu tertutup rapat, perlahan air matanya merembes keluar, setitik demi setitik dari matanya. Jelas do’a itu menunjukkan luapan kesedihan Azzura terdalam. Perasaan menyesal, tiba-tiba menujam Bahia. Ia merasa bersalah, ia telah menutupi sesuatu yang seharusnya Azzura tahu. Bahia hanya tidak ingin Azzura semakin terluka. “Aamiin...” akhir Azzura. Bahia buru-buru memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak melihat kelemahan Azzura. “Bahia...” Azzura tersenyum. Gadis itu melepas mukenanya. Bahia balas tersenyum. Mengikuti sandiwara bahagia Azzura. Namun ia gagal. Senyumnya terlihat kecut. “Azzura. Aku ingin mengatakan sesuatu,” putus Bahia. Ia merasa perlu menceritakan segalanya pada Azzura. “Iya, mau bicara apa? Kenapa wajah kamu tegang sekali.. apa kamu lagi-lagi lupa mencatat resep-resep yang berseliweran di imajinasi kamu? “ Azzura terkekeh. Bahia menggeleng dengan senyum yang nyaris punah. “Ini tentang Lisa dan Azka.” Azzura terdiam. Ia ingin mengatakan banyak hal mengenai topik Lisa dan Azka. Namun lidahnya keluh. Azzura hanya mampu membisu seperti biasanya. Menanti Bahia untuk menyambung kembali kalimatnya. “Lisa berkata.....Semua tidak sama Bahia. Aku tidak mengerti. Tolong sampaikan maaf pada Azzura. Kami hanya tidak ingin melibatkannya dalam semua ini.” Senyum Azzura punah. Azzura tidak tahu harus merespon apa pernyataan itu. “Entah apa arti dari perkataan Lisa.” Bahia menghela nafas. “ Maaf karena baru mengatakannya hari ini Zura.” Azzura tersenyum kecut. “Lisa bahkan berkata bahwa itu adalah terakhir kalinya percakapan mereka.” “Apa yang sebenarnya terjadi ?”—batin Azzura. **** Azzura tidak tahu, apa yang ia lakukan ini baik atau tidak. Yang jelas hal ini tidak buruk dalam pandangan agama, meski dalam tradisi masyarakat hal ini dianggap sebagai noda hitam. Azzura hanya ingin kejelasan. Jika Azka melakukan semua ini lantaran skandal yang menimpa Azzura, maka Azzura sudah menyiapkan semua buktinya yang menunjukkan bahwa ia tidak bersalah. Namun hal itu tidak mudah. Azka seolah telah menutup segalanya. Membawa rasa sakit tidak bertepi pada hati Azzura. Barangkali bukan Azka yang salah, melainkan Azzura lah yang terlalu berharap lebih pada manusia. Dan Azka tidak bermaksud mengecewakan Azzura. Azzura kecewa karena patokan harapannya terlalu tinggi. Pernikahan. Hidup bahagia. Tidak salah jika manusia memimpikan hal itu, tidak naif rasanya jika manusia memimpikan jalan yang indah, meski hal itu terkadang tidak selaras dengan takdir. Dan di saat inilah, keikhlasan menjadi seorang hamba terlihat. Saat apa yang di inginkan luput dari tangan, saat itu Allah ingin mengajarkan kita untuk percaya pada takdirnya. Saat sesuatu yang amat ia benci melekat dalam tidurnya, maka di saat itu Allah mengajarkan manusia untuk bersabar. Azzura tidak ingin menyerah begitu saja. Ia ingin menyelesaikan semua ini secepatnya. Entah apa yang sebenar nya ia tuntut. Azzura mendatangi masjid tempat Azka biasanya menyampaikan kajian. Saat itu masjid sudah tidak ada siapa-pun. Azzura telat. Kajian telah berakhir. Azzura terduduk di ujung tangga masjid. Matahari nampak mulai turun. “Ya Allah.. “lirih Azzura menatap sinar orange yang mulai menghias langit. “Beri hamba kepastian. Beri hamba kejelasan.” Azzura memejamkan matanya. Mencoba meredam rasa sakit yang kembali menguap di hatinya. Bertepatan dengan itu seorang pria bergamis panjang berjalan melewatinya. Azzura membuka mata, dan mengenali pria itu. Pria itu adalah sahabat Azka. “Afwan. Maaf jika saya menganggu, akhi.” Azzura menundukkan pandangannya. “Ada apa ukhti? “ tanya pria itu to the poin. “ Ana Azzura.” Azzura memperkenalkan diri. “ Beberapa kali ana melihat akhi dan Azka keluar masjid bersama dan mengobrol. Apa akhi sahabat Azka? “ Pria itu mengangguk. “Na’am. Ada apa ukhti ?” “Saya ingin menanyakan prihal Azka pada akhi. Apa akhi tahu di mana Azka sekarang?” Pria itu tertegun. Ia mulai mengingat siapa Azzura. “Afwan. Sebelumnya apa ukhti ini Azzura yang pernah Azka lamar?” Azzura mengangguk. “Oh... “ pria itu menghela nafas panjang. “Setelah seminggu yang lalu, Azka sudah tidak lagi mengisi kajian. Ia mengundurkan diri dan berkata bahwa ia ‘tidak pantas' untuk semua itu. “ “Beberapa teman yang berkerja di perusahaan Azka juga mengatakan bahwa Azka mengundurkan diri dari pemegang saham. Ayah Azka juga di mendapat musibah. Beliau tidak sengaja terjatuh di toilet, hal itu membuat beliau mengalami patah tulang dan di operasi.” Azzura terkejut. Kalimat Lisa yang mengatakan, ‘Kami hanya tidak ingin melibatkannya dalam semua ini' menggiang di kepalanya. Kalimat itu seolah menujukkan bahwa Azka tidak membatalkan pernikahan karena skandal itu, tapi karena ada sesuatu yang terjadi. Perasaan bahwa Azka melakukan semua ini bukan karena skandal itu, semakin menyakinkan Azzura, sulit dipungkiri harapan kembali menjulang di benak Azzura. Bisakah ia kembali berjuang ? “Afwan akhi, kalo boleh tahu di mana Ayah Azka di rawat? “ “Afwan. Ana juga gak tahu. Ana lost kontak sama Azka. Waktu ana ke rumah Azka. Rumah itu lagi kosong, tidak ada siapa-siapa di sana.” “Afwan akhi....” “Lebih baik untuk tidak lagi mencari Azka, ukhti. Ana kenal Azka, dia bukan pria yang mengambil keputusan secara asal. Jika keputusan ini sudah di ambil. Insyallah itu keputusan terbaik.” Azzura tahu itu. Ia yakin pada Azka. “Syukron akhi. Sebagaimana akhi mengetahui Azka, saya pun mengetahuinya . Saya memilih Azka bukan tanpa sebab, karena itu saya ingin mendengar apa alasan sebenarnya hingga ia mengambil keputusan ini. Membatalkan pernikahan yang tinggal dua bulan lagi bukan keputusan mudah yang bisa diambil begitu saja. Saya hanya tidak ingin menyesal suatu hari. Maka sebelum semua ini berlarut-larut lebih lama. Setelah semua ini jelas saya akan mengambil keputusan untuk melangkah atau mengikhlaskan.” Pria itu tersenyum, ia salut mendengar jawaban yang Azzura ucapkan. “Semoga kalian menemukan jalan terbaik.” “Syukron Akhi.” Azzura berbalik dan pergi. Ia buru-buru memutar langkahnya menuju rumah Lisa. Ia yakin Lisa bisa menjelaskan semua ini. Namun lagi-lagi, Azzura harus menelan kekecewaan, begitu sampai di rumah Lisa, Azzura kembali di kejutkan dengan papan bertuliskan, ‘Rumah ini di jual’ di depan pagar serta pagar yang di gembok dari dalam. “Tolong angkut barangnya ke sini keluar!” Terdengar suara dari dalam pagar. “Pak, Assalamualaikum, Pak... “ panggil Azzura dari luar pagar. “Ya, ada apa ya Mbak? “ tanya pria berseragam satpam. “Pak, kenapa rumah ini di jual? Di mana pemilik rumah sebelumnya? “ tanya Azzura dari celah pagar. “Wah, saya kurang tahu Mbak. Saya hanya ditugaskan untuk menjaga rumah ini sampai pemilik barunya datang.” “Kalo saya boleh tahu, apa bapak punya nomor orang yang dulu tinggal di sini? Apa mereka meninggalkan nomer ponselnya? “ “Pak barang ini di taruh di sini ya? “panggil seorang pria itu, mengalihkan perhatian pria yang tadi Azzura ajak bicara. “Maaf ya Mbak, saya banyak perkerjaan. Saya permisi dulu...” Azzura mengangguk, pasrah. “Ya Allah, harus ke mana lagi?” gumam gadis itu. Azzura teringat alamat Azka yang ia tulis di memo ponselnya. Azzura berharap, ini bisa menjadi titik terang bagi Azzura. “Assalamualaikum, Pak... “ salam Azzura, pada dua pria yang duduk di pos satpam. Keduanya merupakan satpam penjaga rumah Azka. “Waalaikumsalam. Ada apanya Mbak?” tanya salah satu mereka ramah. “Pak, apa benar ini rumah Azka? Apa Azka ada di rumah? tanya Azzura. Dua orang berseragam satpam itu, nampak bingung menjawab pertanyaan Azzura. Mereka saling melempar kode melalui tatapan, satu sama lain. “Hem.. Mbak ini Azzura bukan? “ Azzura langsung mengangguk cepat. “Iya, Pak. Saya Azzura.” “Oh... “ mereka berdua kembali saling melepas kode yang Azzura tidak pahami. “Mas Azka, bilang sama kami buat kasih surat ini ke Mbak Azzura.” Salah satu di antara mereka menyodorkan secarik surat pada Azzura. Azzura menerimanya dengan perasaan yang campur aduk. Entah apa yang tertulis dalam surat itu. “Pak, saya dengar Papa Azka masuk rumah sakit, kalo boleh tahu di mana beli di rawat? “ “Hem....maaf Mbak. Kami hanya di suruh untuk memberikan surat ini saja,” jawab salah satu mereka. Sebenarnya keduanya nampak tidak enakkan tapi apa daya, mereka harus melakukannya. Azzura memahami hal itu. Ia tidak ingin memaksa keduanya. Bertepatan dengan itu suara azan berkumandang, seolah memberi tahu Azzura bahwa hari telah malam dan waktunya ia untuk pulang. “Kalo begitu, saya pulang ya Pak. Tolong katakan pada Azka mengenai kedatangan saya ke sini.” “Mbak, lebih baik jangan mencari tuan Azka lagi.” Langkah Azzura terhenti. Kenapa semua orang ingin ia menyerah. Apa salah jika sekarang ia berjuang? Apa itu hina? Azzura menghubungi Bahia dan mengatakan bahwa ia akan pulang telat hari ini. Ia juga meminta izin karena tidak bisa mengajar malam ini. Azzura ingin menenangkan diri di masjid. Ia ingin mendekatkan dirinya pada sang Rabb. Hari ini ia cukup lelah dengan semua yang terjadi. Azzura ingin istirahat dalam sujud-sujudnya. Mengadu dan meminta pada sang Maha penyayang. Selesai menenangkan diri, Azzura hendak pulang. Ia merogoh saku gadisnya mencari uang untuk di masukkan ke kotak amal. Saat tengah mencari, sepucuk surat yang tadi di berikan terjatuh dari saku Azzura. Azzura baru ingat mengenai surat itu. Azzura mengambilnya dan memberanikan diri membuka surat dari Azka itu. [Maaf Azzura... Maaf... Maaf... Maaf.. Jangan salahkan dirimu atas semua ini, ini semua bukan salah mu. Tapi akulah yang salah. Dan aku tidak ingin kamu terlibat masalah ini. Maaf. Tolong hiduplah seperti sebelumnya, saat kamu belum mengenal ku. Anggap aku tidak pernah ada dalam hidupmu.] Tangan Azzura gemetar. Azzura tertegun cukup lama. Waktu seolah bergerak meninggalkannya yang terjebak dalam dimensi berbeda. Surat itu meminta Azzura untuk menyerah. “Ya Allah, kenapa rasanya sesakit ini?” gumam Azzura. Mata Azzura berjaca-kaca, tatapan matanya memandang jauh dalam pekatnya malam. Ini amat sakit dari yang Azzura pikiran. Bagaimana bisa Azka berpikir bahwa ia pantas melakukan Azzura seperti ini. Bagaimana bisa Azka melakukan ini! Jika Azzura tidak bersalah, kenapa ia menghukum Azzura! Kenapa ia bersikap seolah hal ini yang terbaik! Di suruh menyerah namun tanpa alasan yang jelas. Azzura lelah. Ia lelah akan semua ini. Teka-teki ini. Surat itu bukan hanya meminta Azzura untuk berhenti. Namun juga menujukan dimana posisi Azzura sebenarnya dalam hidup Azka. Azka tidak pernah percaya padanya. Azka tidak merasa Azzura pantas untuk menerima semua masalahnya itu. Lalu kenapa Azka kemarin memilihnya? Memilihnya untuk menjadi teman hidup? Bukankan itu artinya Azka menaruh rasa percaya pada Azzura? Tapi kenapa sekarang? Kenapa seolah semua itu tidak pernah ada. Apa setidak layak itu Azzura untuk semua ini? ‘Dan aku tidak ingin kamu terlibat masalah ini '. Apa arti semua ini? Itu tidak terdengar baik bagi Azzura. Itu terdengar seperti rasa sakit untuk Azzura. Apa bisa kalimat itu di ganti dengan kalimat, ‘Dan aku ingin kita menghadapi masalah ini bersama.’ Memberi luka untuk menghindari luka, rasanya itu bukan jawaban yang ingin Azzura dengar. Itu salah. Azzura sama sekali tidak tersanjung dengan alasan itu. Azzura terisak pelan di tempatnya. Kini ia sudah selesai. Mengikhlaskan. Itulah pilihan terakhir yang hanya bisa Azzura lakukan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD