Pertimbangan tertimbang

1316 Words
“Om....” “Hem, kenapa? “ Azka menoleh, Lisa menimbang-nimbang apa yang ingin ia katakan. Lisa ragu, gadis itu kini malah sibuk memainkan jari-jari tangannya. “Om....om masih suka ke ingat peristiwa kecelakaan itu gak? “tanya Lisa pelan, setelah beberapa detik terdiam. Azka menoleh kembali dan memusatkan perhatiannya pada Lisa—keponakan yang hanya berjarak tujuh tahun darinya. “Hem, kamu masih ingat? “ Lisa mengangkat kepalanya, lalu mengangguk pelan. “Rasanya kayak baru kemarin terjadi.” Azka menghela nafas panjang, mencoba menekan rasa sedihnya. Sebenarnya meski kejadian itu telah terjadi bertahun-tahun lamanya, tetap itu menjadi memori paling gelap yang Azka simpan, terlebih lagi Lili, keponakannya juga meninggal dalam peristiwa itu. Azka yang paling tua di sana, dan jelas ia merasa bersalah. Perasaan bersalah itu selalu ada d hatinya nenempatai sebuah ruangan di sana. “Lili udah bahagia di sana.” Hanya kata-kata itu yang akhirnya mampu Azka katakan setelah berhasil berkelit dengan rasa sedihnya. Ia berubah tegar. “Om...,”lirih Lisa lagi. Azka menyiapkan mentalnya untuk melihat wajah sedih Lisa. Lisa pasti akan selalu menangis jika membahas semua ini. Azka tidak mampu untuk membendung air mata keponakannya itu. Dia tidak sekuat itu. Membendung air matanya sendiri saja amat sulit, terlebih Lisa. Azka tahu, luka itu terlalu dalam rasanya. Kehilangan dan penyesalan adalah dua kombinasi yang amat menyakitkan untuk dipungkuri. “Lisa kangen Lili. ” Lisa tersenyum. “ Aku tahu kamu juga kangen aku. Tapi jangan sedih ya, nanti insyallah kita ke temu di surga Allah.” Lisa berbicara pada angin, seolah ia tengah bicara dengan Lili di hadapannya. Lisa kembali menarik senyumnya, kali ini senyumnya lebih lebar dan lepas, tanpa beban. Senyum Lisa itu seketika menular pada Azka. Azka lega kini Lisa mulai bisa menerima kepergian Lilu dengan ikhlas. “Om bahagia, akhirnya sekarang kamu mulai nenerima segalanya,” kata Azka terharu. “Mungkin ini yang artinya berteman dengan pedagang parfum maka akan kecipratan wanginya,” jawab Lisa. Azka tersenyum, sejak kapan keponakannya berkata sedalam itu. Biasanya Lisa paling anti berbahasa seperti ini. “Kesurupan ya? “tanya Azka polos. “APA? Ya Allah...” Lisa malah ngakak. “Emang segitu gak cocoknya ya Om ? Kan sekali-kali Lisa keliatan kayak anak-anak sastra kek, ah ela Om mah.” “Jadilah diri sendiri jangan jadi orang lain karena kamu orang bukan lain.” Azka tertawa. Lisa bengong. “Gak lucu ya? “ “Gak sama sekali Om. Garing kayak kerupuk.” “Enak dong. “ “Apaan sih Om. Mulai deh ngesreknya muncul. “ “Hahahhahahah...udah lama Om gak ngobrol sama kamu.” “Kangen ya, Om? “ Lisa memainkan alisnya naik-turun, menggoda. “Lisa emang sekarang sibuk banget pake bgt. Jadi maaf ya, Om, kalo Om pengen ketemu harus atur schedule dulu,” kata Lisa, bergaya songong. “Emang sibuk apa sih? “ “Duh Om, ini kesibukan anak muda, Om mah gak akan ngerti.” Lisa mengibas sebelah rambut kanannya ke belakang. Benar-benar, sukses dalam karakter songongnya. “Om, tahu ingat gak sama Azzura? “ “Kenapa? “ “Ingat atau gak? “ “Iya.” “Idih parah Om. Om suka ya sama Azzura? “ “Ha? “ Lisa bangkit lalu berlari, gadis itu berteriak, heboh. “Kakek, Om Ustadz udah punya calon istri.” “Eh, apa-apan kamu Lis.. “Azka cemas dan langsung mengejar langkah Lisa. Tapi ia kalah cepat. Lisa sudah duluan berada di samping Papa Azka. Gadis itu berceloteh entah apa, yang jelas kini Kakek Lisa menatap Azka dengan senyum mengembang lebar. “Jadi mau kapan? “tanya Kakek Lisa begitu Azka berhasil sampai ke sana. Skakmat. Pertanyaan sulit, setidaknya bagi Azka yang sampai detik ini belum menemukan dambaan hatinya. “Ha? Kapan apa, Pa?” Azka masih berusah positif thinking. “Kek, Om tuh malu-malu mau.. “bisik Lisa, provokasi. Azka menghembus nafas panjang melihat ulah keponakannya itu. “Ubahlah, gak usah lama-lama kalo emang udah suka, ya udah langsung ajak taaruf terus nikah,” petuah Kakek Lisa, Lisa cekikikan di sebelahnya. “Papa ini sudah tua, kamu juga udah dewasa. Mau tunggu kapan lagi? “ Keluar juga petuah yang berisi perintah dan harapan. Azka bersimpuh, duduk di bawah Papanya, seraya memijit pelan kaki papanya. Mencoba meredam pertanyaan membingungkan ini. “Iya, Pak, Azka tahu. Tapi sejauh ini Azka belum ketemu sama yang cocok. “ “Tapi kata Lisa kamu udah ada calon. Siapa Lis namanya? “ Lisa mengangguk semangat. “Namanya Azzura, Kek. Temennya Lisa.” “Oh iya, Azzura, yang waktu itu nemenin kamu nginep di sinikan? “tanya Kakek. “Unlimited like untuk Kakek.” Lisa mengangkat kedua jempol tangannya. “Kakek setuju kan? “tanya Lisa. “Kakek setuju aja, apa pun pilihan Azka. Kakek percaya sama Azka.” “Tapi Pa—“ “Tuh, Om, udah dapat lampu hijau. Jadi kapan mau lamar Azzura? “potong Lisa, cepat. Gadis itu cekikikan lagi tanpa suara. Azka hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan keponakannya itu. “Kamu ini. Dari dulu gak berubah, selalu berhasil ngerjain Om.” Azka mengaku kalah. “Om pikir kamu udah ngerti apa yang Azzura katakan, bahwa prank dalam Islam itu gak boleh. Apalagi kamu ngeprank Kakek.” “Aku gak ngprank kok Kek, serius...” Lisa langsung mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. “Eh, tapi, btw dari mana Om tahu percakapan Lisa sama Zura waktu itu ? “ Azka tertangkap basah. Lisa tersenyum miring, lebih tepatnya tersenyum untuk tertawa. “Om diam-diam meratiin Azzura ya? “ “Ha? “ “Tuh kan Kakek, Om Ustadz diam-diam suka sama Azzura,” teriak Lisa heboh sendiri. Lisa senyam-senyum, menggoda Azka. “Ayo ngaku aja, Om. Gak ada yang marah kok, Azzura insyallah 100%jomblo. Jadi kapan mau nikah? “desak Lisa. Kakek diam-diam menunggu jawaban Azka. Ia sudah sangat ingin memiliki cucung dari anak bungsunya ini. “Prosesnya tuh panjang, Lisa. Gak tahu-tahu langsung nikah aja. Ada proses taaruf dulu, lamaran, baru nikah.” “Om banyak ngelesnya nih. Coba jelasin apa yang kurangnya Azzura? Dia cantik, pintar, baik dan yang terpenting sholeha. Itukan tipe idaman Om banget.” Azka diam. Entah kenapa seketika ingatannya, memutar sosok Azzura, gadis yang sejujurnya mencuri ruang perhatiannya. “Mau yang gimana lagi sih? Sih Om mah banyak milihnya makanya jomblo abadi.” Mata Azka membulat sempurna. Lisa buru-buru bersembunyi di balik punggung Kakek. Mencari perlindungan dari Azka yang seperti hendak meruqiahnya. “Ini namanya jomblo teriak jomblo,” kata Azka santai, namun berefek besar pada Lisa. Mulut Lisa spontan maju dua centi. “Idih siapa yang jomblo? “kesal Lisa. “Aku gak jomblo ya, Om. Perlu di garis bawahi. Aku kan masih anak di bawah umur. Iyakan Kek? “ Lisa mulai mencari dukungan. Kakek mengangguk setuju. Lisa memang sudah berusia 21 tahun, tapi di mata Kakeknya Lisa akan tetap menjadi cucung kecilnya. Kakek jelas dipihak Lisa. “Kalo Om mah beda. Om kan emang waktunya nikah. Kalo Lisa mah, masih harus kuliah, tamat, sidang, kerja. Iyakan Kek? “ Lisa selalu berhasil dengan vote suara terbanyak. Kakek mengangguk lagi. Azka kalah suara. Lisa mendekati Azka, lalu berbisik pelan. “ Udah Om, nikah aja. Nikah kan ibadah. Besar pahalanya, Om.” Azka juga ikut berbisik, membisikan sesuatu pada Lisa. Seketika wajah Lisa bias, menghangat dan langsung merah bak udang rebus. Azka tersenyum. Satu sama. Lisa telak, gadis itu tidak bisa berkutik. “Pa, makan yuk.. Papa belum makan siang kan? “ “Iya, ayo. Lisa ayo kita makan,” ajak Kakek. “Iya Kek.. “ jawab Lisa, nada suara gadis itu terdengar sumbang. Azka kembali melempar senyum pada Lisa, Lisa membalas dengan mata memicing tajam. Gadis itu tidak ingin kalah. Ia memutar otaknya. “Oke. Fiks. Lisa akan ambil langkah duluan. Lisa bakal kasih tahu Azzura kalo Om suka sama Azzura. Fiks. SEKARANG JUGA....” Lisa langsung berlari tanpa aba-aba. Azka terkejut dan kelabakan. Lisa bukan tipe gadis yang main-main dengan perkataannya. Azka tidak bisa membiarkan ponakannya itu benar-benar sampai pada Azzura dan mengatakan semua hal itu. “Lisa... “Azka kembali bangkit dari kursi meja makan yang baru saja ia duduki. Azka hendak menyusul Lisa dengan langkah lebarnya. “Biarkan saja...,”kata Papa pelan namun terdengar seperti intonasi perintah. Azka kembali menarik langkah kakinya. “Papa, Azka harus kejar Li—“ “Papa, sudah tua Azka.” Potong Kakek Lisa.Mama juga sudah meninggalkan Papa sendirian di dunia. Sakit-sakitan udah jadi rutinitas Papa. Entah kapan, Papa juga akan meninggalkan kamu sendirian di dunia. Papa berharap sebelum hal itu datang, Papa bisa hadir di pernikahanmu.” “Pa.” “Papa tahu. Maaf... kali ini cobalah untuk mempertimbakannya. Jangan sampai kamu ditikung pria lain.” Papa tersenyum. Senyum yang mengandung banyak makna misterius di dalamnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD