Kapsul tanya

2158 Words
"Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)." (Al-Qur’an surah An-Nur: 26) Azzura tidak dapat membendung apa yang hatinya rasakan. Gelisah, penyesalan, ketakutan dan harapan memenuhi ruang di hatinya. Azzura tidak tahu sampai kapan semua ini berakhir. Sampai kapan Azzura harus tersiksa dengan perasaan ini. Azzura bahkan tidak bisa tidur. Ia terjaga semalaman, ia terlalu takut untuk tidur. Tubuhnya lemah, namun memori menakutkan itu selalu datang menjumpainya di alam mimpi. “Kamu harus menerima semua ini. Jangan berusaha menghapus apa pun dari masa lalu. Cabolah untuk memaafkan. Berdamailah pada dirimu sendiri. “Begitulah perkataan terakhir psikolog yang menangani Azzura. Azzura ingat betul, tapi ia tidak berdaya. Sisi lain dari dirinya masih bertahan untuk tidak memaafkan Azzura yang dulu. Membenci, menghina dan ingin memusnakan semua yang berhubungan dengan Azzura dulu. Peperangan ini terjadi sadar atau tidak sadar pada diri Azzura, memberi ledakan, ledakan dalam diri Azzura. Letak kesalahan Azzura, bahwa ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri dan hal ini sama saja seperti terjebak dalam satu satu tubuh bersama musuh. Mereka akan berusaha menyakiti satu sama lain dan siapa pun pemenangnya, mereka akan sama-sama hancur. Gendrabu perang sudah kembali di tabu, Azzura kehilangan kendalinya. Ia tidak berdaya, ia benar-benar butuh rangkulan, tapi ia tidak punya siapa pun. Ia sendirian. “Ibu... Ayah... “ lirih Azzura seorang diri. Ketakutan dan kebencian mulai datang menyerang Azzura, tidak henti-henti Azzura berdzikir memohon perlindungan kepada Allah dari bisikan setan yang mencoba mengusik hatinya. Membuat hatinya condong pada perasaan menyesal yang terus menerus. “Allah maha pengampun lagi maha penyayang, Allah akan mengampuni setiap hambanya yang bersungguh-sungguh dalam taubatnya.” Lalu apa, kamu tetap gadis itu. Gadis kotor. Mantan PSK. Kamu kotor. Kamu menjijikkan. Pergi! “ Air mata Azzura bercucuran, mulutnya bergetar. “Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” Kamu kotor Azzura! Jilbab lebar mu tidak akan bisa menutupi rekam jejak menjijikkan mu di masa lalu mu! “Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah, dari godaan setan yang terkutuk.” Tubuh Azzura gemetar. Kamu penipu ulung, Azzura! Kamu tipu semua orang dengan jubah lebarmu itu! Kamu tidak akan pernah bisa! Kamu tetap Azzura kotor, yang bahkan lebih kotor dari sampah sekali pun. Kamu menjijikkan Azzura! “ “Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Kamu kotor Azzura, jangan lupakan itu! Dosamu sangat banyak! Tidakkah kau malu terlalu banyak memohon ampun. Seharusnya kau punya malu Azzura! “Dan janganlah kamu berputus asa akan rahmat Allah. Sesungguhnya rahmat Allah maka luas .” Mereka akan jijik padamu, seadanya mereka tahu siapa dirimu! Azzura terduduk lemas di lantai ubin yang dingin. Kedinginannya menjalar di tubuh Azzura, Azzura menggigil, memeluk lutut dengan kedua tanganya, Azzura tersudut di ruangan itu sendirian. Azzura terus berusaha melawan pergulatan hebat di hatinya. Azzura harus bangkit, ia tidak boleh terpuruk seperti ini. “Ya Allah.. hamba pasrahkan segalanya padamu,” lirih Azzura. *** Pagi-pagi Bahia sudah sibuk di dapur. Gadis itu membunyikan banyak suara gaduh akibat aktivits memasaknya. Senyum merekah kala makanan yang ia persiapan telah matang dengan sempurna. Bahia membuat mie goreng. Cuman mie goreng, tapi kali ada yang spesial dari mie gorengnya. Ststststst... Ada bumbu rahasia di dalamnya dan selayaknya rahasia.... hanya Bahia yang boleh tahu apa bumbu itu. Begitu selesai, Bahia langsung menyebar makanannya ke semua orang, mulai dari bu Nirmala, Giffari, Delshad dan Aariz. Semua memberi respon positif, Bahia jadi tambah semangat. Gadis itu tidak sabar mendengar penilaian Azzura sebagai penutup. Sejak tadi Azzura, Bahia tidak melihat Azzura. Bahia celingak-celingu di taman depan, ia pikir Azzura di sana. Mustahil Azzura belum bangun jam segini. Biasanya Azzura selalu kejar-kejaran dengan ayam, membangunkan semua orang. “Bu, liat Azzura gak? “ “Di taman depan mungkin... atau di halaman belakang.” Bahia menggeleng. “Udah Bahia cek tadi, Bu. Tapi Azzura gak ada.” “Coba kamu cek kamarnya, mungkin Azzura masih di kamar, “saran bu Nirmala. Bahia setuju. “Azzura harus cobaan nih... “ Bahia melangkah ke kamar Azzura. Terlihat kamar Azzura masih tertutup rapat. Tidak biasanya—batin Bahia. “Zura, Zura, kamu di dalem? “ Tangan Bahia sudah berkali-kali mengetuk pintu, namun Azzura belum juga membuka pintu. Di dalam kamar, Azzura termenung. Tubuhnya panas-dingin, kepalanya pusing perutnya nyeri, dan mual. Azzura demam. Hari ini, Azzura tidak bisa masuk kuliah. Azzura bisa saja memaksa dirinya untuk kuliah tapi itu tidak baik. Ia tidak ingin memaksakan diri dengan tetap kuliah dalam keadaan seperti ini. Bruk. Azzura tersentak. Ia langsung menoleh kearah pintu. “Yang cowok jangan masuk dulu! Azzura mungkin gak pake jilbab! “ Suara Bahia. Persekian detik, terlihat Bahia dan bu Nirmala di ambang pintu. “Azzura kamu sakit? “tanya Bahia cemas. Azzura yang diajak bicara, masih belum tersadar sepenuhnya untuk menjawab pertanyaan Bahia. Bu Nirmala langsung berhambur ke dalam, meletakan telapak tangannya di kening Azzura. “Ya Allah, Nak, kamu sakit..... “kata bu Nirmala, tidak kalah cemas. “Apa udah boleh masuk? “ Suara Giffari, terdengar dari luar kamar. “Buruan pakai jilbab, Zur.” Bahia mengambilkan jilbab Azzura dan ikut membantu Azzur, memasang Jilbab.. “Ayo, kalian, boleh masuk, sekarang.” “Permisi....” Delshad pertama kali masuk, di belakangnya mengekor Giffari dan Aariz. “Gimana keadaan kamu, Zur? “tanya Giffari. Bukannya menjawab, Azzura malah melirik jam yang tergantung di dinding kamar. “Kalian gak kuliah? Kenapa ke sini semua? Memangnya ada apa? “ tanya Azzura, bingung. Jam sudah menujukan pukul setengah sembilan. “Hem, gak... “Delshad mewakili. “Kenapa? “ Azzura melirik Bahia. Gadis bertubuh mungil itu memainkan jari-jari tangannya.“ Tadi aku cemas, aku manggilin kamu. Tapi kamu gak buka pintu juga. Aku takut terjadi sesuatu makanya aku spontan manggilin semua orang buat dobrak pintu kamar kamu... “ “Ya Allah...” Mata Azzura langsung terarah pada pintu. Memperhatikan kondisi pintu kamarnya. Miris. Pintunya dalam keadaan kritis. “Maaf Bu, karena keteledoran Azzura, pintunya jadi rusak,” kata Azzura, sedih. Bu Nirmala meraih tangan Azzura, seulas senyum terlukis di wajah bu Nirmala. Bu Nirmala sama sekali tidak marah sedikit pun. “Yang penting, kamu baik-baik saja. Pintu bisa diperbaik lain waktu. Badan kamu panas, Ibu buatkan jamu ya? “ Azzura mengangguk. Hatinya menghangat, betapa Azzura bahagia bisa merasakan cinta dari seorang Ibu, melalui bu Nirmala. “Kalian tolong jagain Azzura ya. Ibu kebelakang dulu, Bahia kamu jagain Azzura ya, Nak... “ bu Nirmala melangkah keluar dari kamar. “Kalian juga bisa balik ke kosan. Maaf karena aku udah buat kalian cemas.” Giffari dan Delshad tersenyum. Berbanding terbalik dengan Aariz, pria itu langsung pergi begitu Azzura mengatakan kalimat itu. Pergi tanpa sepatah kata apa pun. “Aariz buru-buru banget,” Giffari menatap kepergian Aariz. Delshad mengangguk, menyetujui perkataan Giffari. Mereka berdua kompak memperhatikan punggung Aariz yang makin menjauh dari pandangan. “Aariz, kenapa sih? Hemat banget kalo ngomong. Padahal ngomongkan gak bayar,” Bahia bergumam. Diam-diam mata Azzura menelisik, mengikuti kepergian Aariz. Di benaknya terbesit perasaan bersalah. Azzura merasa Aariz kesal karena ia telah membuang-buang waktu percuma untuknya. “Zur, kalo kamu butuh sesuatu, jangan ragu buat minta bantuan kita, ya.. “ Delsahad menawarkan diri, yang dibalas Azzura dengan senyuman dan anggukan pelan. “Kalo gitu, kami pamit ya, Assalamualaikum....” pamit keduanya. “Waalaikumsalam.... “ Bahia dan Azzura menjawab bersamaan. “Kamu sakit apa, Zur ?” tuntut Bahia, “Kenapa kamu gak bilang sih? Minimal panggil aku. Gak usah sungkan, aku gak keberatan sedikit pun. Kamar kita juga cuman lima jenkal.” “Aku baik-baik aja, Iah. Cuman demem dikit, makanya aku gak kuliah.” “Udah makan? “ “Belum. “ “Ya udah, aku ambilin,” Bahia baru hendak beranjak, Azzura terlebih dahulu menahan lengan Bahia. “Nanti aja, Iah. Aku belum nafsu makan.” “Kamu tuh sakit, Zur. Orang sakit, mana bisa nafsu makan. Kalo mau nunggu keburu badan kamu lemas, “jawab Bahia. Bahia beranjak berdiri dari kasur Azzura. “Nanti saja, Bahia. Afwan,” kata Azzura, pelan. Sangat pelan. “Kamu kenapa Zur? Kamu gak cuman demen doang kah? Kamu ada masalah?” Bahia kembali duduk di samping Azzura. “Mau cerita? “ Hening... “Apa pun itu, Zur... aku tahu kamu kuat. Kapan pun kamu butuh, aku siapa menjadi tempatmu berkelu kesah. Itu gunanya sahabat kan? Jangan ragu untuk mengambil hak itu dariku.” Azzura mengangguk. “Terimakasih, Iah... “ “Eh, kenapa nangis ? Aku gak gigit kamu kok, jangan nangis doang Zur ? Aku salah ngomong ya?” Bahia panik. “Ini air mata bahagia, Iah. Aku bersyukur bisa berada di tengah-tengah orang baik yang peduli dan perhatian kayak kalian semua.” Bahia tersenyum lebar, ia langsung memeluk Azzura. “Aku juga senang bisa bertemu orang sebaik dan sehebat kamu, Zur.” “Bahia, kamu gak kuliah? “ Azzura melepas pelukan Bahia. “Gak. “ “Kenapa? Karena aku? “ “Hem...geer deh.. aku gak kuliah bukan karena kamu, tapi karena... “ “Karena apa? “ “Karena, hem, ini rahasia,” Bahia mengecilkan suaranya. “Rahasia apa? “Azzura juga melakukan hal sama dengan suaranya. Keduanya seperti tengah berbisik. “Aku suka pada seseorang...” Setelah mengatakan kalimat itu, wajah Bahia bersemu merah. “Namanya ada di kertas kecil ini.” Bahia menujukan secarik kertas berwarna pink berbentuk persegi, dengan ukuran sebesar jari telunjuk. Bahia langsung menyembunyikan kertas itu saat Azzura hendak membacanya. “Lalu apa hubungannya dengan kuliah?” “Gak ada, “jawab Bahia enteng. Azzura mengamati Bahia dengan kening berkerut. “Hahhahahah....” Bahia tertawa canggung. Ia sebenarnya belum siapa menyampaikan rahasianya itu, Bahia hanya berusaha mengalihkan perhatian Azzura agar tidak membahas mengenai ‘bolos' kuliah. Bahia tidak ingin membuat Azzura merasa bahwa ia penyebab semua orang tidak kuliah hari ini. "Bahia..? " “Sehari bolos tidak masalahkan?” Bahia berkilah. “Aku janji gak lagi. Ini terakhir kalinya, insyallah....” Bahia mengangkat jari kelingkingnya. “Sekarang kamu mau makan kan? Aku buat sesuatu yang spesial buat kamu. Kamu mesti cobain.” Bahia beranjak pergi, lalu tidak lama gadis itu kembali lagi dengan piring di tangannya. Azzura makan dengan antusias, meski sebenarnya ia tidak merasa bernafsu untuk makan. Perutnya masih mual, dan kepala, enggan berhenti berdenyut, meski bu Nirmala sudah memberikan segelas besar jamu kepada Azzura. Bahia undur diri setelah merawat Azzura. Bahia menyuruh Azzura untuk beristirahat sekarang, tapi sudah dua puluh menit mencoba terlelap, Azzura tidak kunjung terbang ke alam mimpi. Padangan mata Azzura, justru sibuk mengamati sekelilingnya. Mulai dari barang di kamar hingga akhirnya mata Azzura berhenti pada jendela. Jendela barunya, baru dua minggu yang lalu kamarnya resmi memiliki jendela. Bu Nirmala dengan baik hati, bersikeras menjadikan gudang itu sebagai kamar yang layak untuk Azzura. Keinginan bu Nirmala juga di dukung oleh Bahia. Bahia pelopor semua ini terjadi. Gudang ini benar-benar sudah berubah menjadi kamar. Tidak ada yang akan menduga bahwa kamar itu dulu, mantan gudang. Gudang itu berubah menjadi kamar dengan nuansa pink. Warna yang cerah bisa mengurangi keberadaan nyamuk, begitulah kata Bahia. Ia sangat peduli akan keadaan Azzura. Bahia bahkan berinisiatif juga untuk membelikan semua perabotan kamar untuk Azzura, namun Azzura menolaknya. Azzura tidak ingin merepotkan Bahia. Azzura beralibi bahwa ia ingin membelinya sendiri dengan uang gajinya sebagai guru ngaji privat Lisa. Azzura melihat keluar jendela. Matahari sedang bersinar dengan sangat teriknya. Azzura membayangkan dirinya berdiri di bawah sinar matahari, ingin rasanya ia menghangat tubuhnya yang sejak semalam terasa dingin. Di luar jendelnya Azzura tidak sengaja melihat Aariz datang seraya memberikan kantong kesek berwarna putih kepada Bahia. Mereka terlihat bercekraman sebentar, sebelum akhirnya mereka sama-sama berpisah. Bahia masuk ke dalam rumah dan Aariz kembali ke kosannya. “Aariz sangat perhatian pada Bahia,” Azzura bergumam. Di benaknya diam-diam terbesit perasaan yang tidak mudah Azzura terjemahkan. Bahagia, sedih atau apa? Azzura tidak mengerti. Kepedulian Aariz berbanding terbalik dengan sikap Aariz pada Azzura. Azzura selalu merasakan percikan kebencian setiap kali Aariz melihatnya. Seolah Azzura menanam rasa benci di hati Aariz. Aariz tidak sedingin ini pada yang lain. Bahkan pada Giffari, yang beberapa minggu lalu, terjadi pertengkaran antara keduanya. Aariz hanya sedingin itu pada Azzura. Apa Azzura membuat kesalahan? Jika saja Azzura tahu apa kesalahannya, ia bisa secepatnya meminta maaf pada Aariz, tapi Azzura tidak tahu apa kesalahannya. Azzura tidak masalah untuk meminta maaf meskipun ia tidak salah. Itu tidak menurunkan harga dirinya sedikit pun, toh manusia adalah tempatnya salah, mungkin tanpa sadar Azzura sudah berbuat kesalahan. Tapi lagi-lagi, Azzura malah membuat Aariz semakin tidak suka padanya. “Maaf, mungkin tanpa sadar aku sudah membuat kesalahan, mungkin karena itu kamu selalu terlihat marah saat ada aku.” “Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Jangan terlalu cepat berpikir bahwa setiap orang suka kata maaf. Jika tidak salah, kenapa meminta maaf ? Aku tidak gila hormat. Ini memang sifatku.” Dan kata-kata itu Aariz lontarkan dengan nada yang sangat tajam. Azzura refleks menutup matanya , mengingatkan kembali kalimat yang Aariz lontarkan, masih terasa setajam waktu itu. “Lalu kenapa? “Azzura bergumam tanpa sadar. Matanya menatap lekat langit-langit kamarnya. Azzura tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tersadar, saat mendengar derap pintu yang berdecit, menandakan ada seseorang yang masuk ke kamarnya. “Bahia.” Azzura tersenyum. “Udah istirahatnya? “ “Iya.” “Kepala kamu masih pusing gak? “ “Sedikit.” “Ini obat. Di sini ada obat herbal buat pusing dan mual.” Bahia menyerahkan kantong kresek berwarna putih pada Azzura. Kantong itu mirip, seperti kantong yang Aariz berikan pada Bahia tadi, begitulah yang Azzura pikirkan saat melihat kantong kresek itu. “Obat itu dari siapa? “tanya Azzura, tidak mampu membendung rasa ingin tahunya. “Hem...ayo di minum sekarang, Zur.” Bahia mengabaikan pertanyaan Azzura. Gadis itu malah sibuk memberikan kapsul-kapsul yang harus Azzura minum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD