H-3

1884 Words
Warna biru telah menghiasi langit lembah hijau. Hari begitu sibuk. Para jonggyo berbaris menanti dibukanya gerbong kereta menuju dunia. Mereka bersiap untuk pelatihan sehari disana. Kurcaci pink terlihat begitu murung. Biasanya dialah yang paling ceria dan semangat menyiapkan segala keperluan jonggyo. Kurcaci lain melihatnya, hal itu bukanlah hal yang baik. Mereka memutuskan untuk menyapanya di rumah pohonnya nanti. Awan putih pertama sudah muncul. Peluit kereta pun sudah berbunyi. Lawang sudah terbuka. Gerbong demi gerbong kereta sudah melewatinya. Tempat itu sudah sepi. Kurcaci pink segera kembali pulang ke rumah pohonnya. Para kurcaci lain menyiapkan beberapa kejutan untuknya.  Jessi merebahkan dirinya di sofa. Tempat dimana dia pernah hanya duduk seharian bersama Deril disana. Jessi menutup wajahnya dengan bantal. Kenangan – kenangannya dengan Deril muncul disaat yang tidak tepat. Jessi mencoba memejamkan matanya. Dia ingin istirahat hari ini. Lepas dari segala tugas.  Tok. Tok. Tok. Jessi terduduk. “Deril?” ucapnya pelan. “Ah tidak mungkin. Aku terlalu lelah sepertinya. Aku harus tidur.” Ucapnya sambil merebahkan diri lagi.  Tok. Tok. Tok. Pintu diketuk kembali. Siapa yang datang di waktu dia ingin istirahat. Mengganggu saja. Pikirnya. Jessi membuka pintu dengan malas. “Haiiiii.” Ucap para kurcaci serempak. “Kalian? Ada apa?” “Ga boleh masuk nih? Yaudah pulang yuk gaes.” Ucap kurcaci hijau. “Boleh kok boleh. Ayo masuk.” Para kurcaci masuk ke rumah jessi. Mereka langsung berhambur duduk di karpet. Membuka semua yang mereka bawa. Kurcaci merah membawa kotak penuh dengan strawbei. Kurcaci Jingga membawa kotak penuh dengan jeruk. Kurcaci kuning membawa kotak penuh dengan kimbab. Kurcaci hijau membawa kotak penuh dengan melon. Kurcaci biru membawa kotak penuh dengan sandwich. Kurcaci ungu membawa kotak penuh dengan pancake. Mereka tak bertanya apapun, obrolan mengalir begitu saja. Jessi merasa sedikit terobati. Mereka sungguh mengerti hatinya. Bahkan tak satupun dari mereka mencoba mengulik apa yang ada dibalik wajah murungnya. Jessi terbiasa dianta mereka. Mereka layaknya aliran sungai yang mengalir membawa setiap luka hingga bermuara ditempat yang jauh.  Hati Jessi sedikit tenang dengan kehadiran mereka. Setidaknya dia bisa mencoba menata hatinya lebih tenang dan nyaman dari sebelumnya. Dia sangat paham, bahwa semua keputusan ada pada Deril, dan dia harus menerimanya. Apapun keputusannya nanti.  “Kalian coba sandwich ini. Sanhat lezat.” Ucap kurcaci biru. “Wah siapa yang buat nih?” tanya kurcaci kuning. “Ya Koki kantin lah. Hahahaha. Aku? Mana mungkin.” Jawabnya sambil tertawa. “Kalau aku yang buat, bisa – bisa kalian mabok.” Lanjutnya. “Kok mabok?” tanya jessi. “Ya iyalah. Mana bisa aku bedain whip crean sama semen putih. Sama – sama putih. Hahaha.” “Hahaha. Kebangetan sih kalau ga bisa bedain semen sama whip cream.” Lanjut jessi. Mereka menyantap makanan itu dengan lahap. Wajah jessi kini sudah cerah lagi. Kurcaci ungu yang menyadari itu menjadi lega. Senyum terhias diwajahnya. “Kalian ingat ga sama anak yang waktu langit orangye masih di luar kamar?” tanya kurcaci hijau. “Kenapa?” tanya jessi. “Gapapa. Aku heran aja, lagi ngapain dia waktu itu di luar kamar.” “Meneketehe.” Jawab kurcaci lain bersamaan. Lalu tawa menghias diantara mereka. Mereka begitu akrab. Walaupun sama – sama vegyes, mereka tak pernah memamerkan kekuatannya. Mereka dengan santai menjalani tugasnya. Tak ada rasa iri pada yang lain. Mereka vegyes, anak – anak dewa yang begitu dibanggakan. Tak jarang salah satu dari mereka harus mengatasi kekacauan di dunia. Kurcaci hijau yang paling sering dipilih untuk melakukan itu. Karena sifatnya yang dewasa dan bijaksana. Jessi juga sangat menghormatinya. Dia menganggapnya seperti kakak sendiri. Walau dilubuk hati kurcaci hijau tersimpan rasa yang sangat besar untuknya.  ***  Jessi yang meninggal karena depresi. Kehilangan kedua orangtuanya saat berkendara membuatnya syok. Berhari – hari dia mengurung diri. Tanpa makan tanpa minum. Tubuhnya kian mengecil. Para tetangga yang datang, tak pernah dia bukakan pintu. Senyumnya telah hilang. Terkubur bersama jasad orangtuanya. Dia seorang diri berdiri disamping nisan orang tuanya. Semua pelayat telah pergi. Jessi diam mematung disana. Tak ada airmata. Hanya tatapan kosong yang menyakitkan. Jessi merasa heran. Kenapa dirinya harus tetap selamat dalam kecelakaan itu. Padahal dibalik itu, ayahnya berjuang mati – matian menyelamatkannya yang saat itu masih terlelap. Lecelakaan itu dapat dihindari. Ban yang tiba – tiba meletus karena tertancap paku, membuat Herdi hilang kendali. Mobilnya oleng kekanan dan kekiri. Saat kemudi masih belum bisa dikendalikan. Dari arah berlawanan nampak sebuah truk besar sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Supir truk itu tertidur. Tabrakan hebat yang tak terelakkan terjadi malam itu. Cale menjerit sambil berkata “Jessi. Selamatkab Jessi.” dengan cepat Herdi mebanting stir ke arah kiri. Dia segera menggunakan kekuatannya untuk menarik Jessi yang masih tertidur dan mendorongnya hingga terlepar dari mobil. Jessi pingsan karena terbentur pohon. Sedetik kemudian terjadilah tabrakan mengenaskan itu. Herdi tak bisa menyelamatkan istrinya. Dia menangis sambil memandangi wajah pucat Cale. Jasadnya masih berada dalam mobil. Herdi memutuskan untuk mengahiri penyamarannya. Dibiarkannya kedua jasad itu tetap disana. Dia segera mencari arwah istrinya dan menuntunya menuju lembah hijau. Untuk terahir kalinya, dia mengecup kening Jessi sambil membisikkan sesuatu. “Jessi harus kuat.” *** Deril dan Steve segera berlari menuju perpustakaan. Mereka mencari segala informasi tentang peri hutan. Tugas Deril yang harus dia kerjakan di dunia setelah waktunya tiba. Tiga hari lagi. Deril menyisir rak demi rak untuk mendapatkan semua buku yang membahas tentang peri hutan. Steve pun demikian. Setelah puas mencari, mereka memlih tempat duduk paling belakang. Tempat yang jauh dari jangkauan pengawas. Karena mereka membawa camilan untuk mengisi waktu membaca. “Peri hutan dan merpati. Peri hutan misterius. Tugas peri hutan. Penggembala dan peri hutan. Banyak banget ya.” Ucap Steve sambil menumpuk buku – buku tersebut. Deril masih memilah buku mana yang akan dia baca. Kemudian dia memilih buku berjudul “Rintangan yang harua dihadapi peri hutan”. “Steve lihat ini. Judulnya aha uda seram.” Katanya sambil menunjukkan buku itu pada Steve. “Mana?” “Nih.” Steve membawa halaman awal buku tersebut. “Menjadi peri hutan merupakan salah satu tugas untuk menemukan batu biru. Apakah kalian tahu bahwa menjadi peri hutan merupakan tugas yang cukup menguras emosi. Bagaimana tidak, para peri hutan harus menjadi pendengar yang baik bagi para tumbuhan. Menyediakan segala kebutuhan merek, dan juga segala curhatannya. Jika menurut kalian pekerjaan itu mudah, maka kalian harus membaca buku ini. Disini akan dijelaskan segala rintangan yang harus peri hutan hadapi dalam menjalankan tugasnya. Selamat membaca.” “Sepertinya kamu harus membaca ini der. Bagus untuk antisipasi saat kamu bertugas nanti.” “Bener nih?” “Iya, pinjam saja ini. Yang lain besok pinjam lagi.” “Oke.” “Eh der, ada ga ya buku macam – macam tugas lembah hijau?” “Kenapa?” “Aku kan juga mau persiapan. Kamu enak ada jessi yang ngasih tahu. Nah aku?” “Hahahaha. Besok kita lebih awal datang kesini. Kita cari buku itu.” “Siap.” Buku sudah dipinjam mereka segera kembali ke kamar. Diperjalanan menuju kamar mereka bertemu dengan kurcaci pink alias jessi. “Hai.” Sapanya. “Hai.” Steve menjawab. Sementara Deril hanya diam membisu. Kemudian Steve menyikut lengannya sambil berkata “Jangan diam saja. Santai. Oke?” Deril hanya mengangguk. Jessi menghampiri mereka. “Darimana?” “Perpus.” “Pinjam buku apa?” “Deril nih yang pinjam. Buku apa tadi der?” Pancing Steve agar Deril bersuara. “Buku soal peri hutan. Aku butuh banyak informasi untuk bertugas. Lusa kan aku segera magang sehari.” “Oh kamu benar. Aku sampai lupa. Aku juga sudah menyiapkan beberapa barang untukmu.” “Jess, apa benar tugasku jadi peri hutan?” “Kapan sih aku pernah bohong ke kamu?” “Jadi benar nih, ga bisa dinego?” “Dikira beli barang apa der, nego nego.” Steve menyahut. Jessi tertawa pelan. “Jadi kapan nih barangnya bisa diambil?” lanjut Steve. Deril dan Jessi kaget sengan perkataan Steve. Mereka belum siap. Belum siap untuk hal yang lebih lama dari sapaan itu. “Udah tinggal besok sama lusa. Nah lusa kan Deril magang. Kalau ga sekarang, kapan?” lanjutnya. Perkataan Steve memang benar. Hanya tinggal hari ini dan besok. Kapan lagi mereka akan mencair dari kebekuan perasaan yang terbendung dimensi. “Ayo ke rumah pohon.” Ajal Jessi. Dia langsung berjalan di depan mereka. Mau tidak mau Deril pun mengikuti langkahnya. Steve mengulum senyum. Sedikit lega melihat mereka berdua kembali berbicara. Steve membatin semoga mereka dapat bersatu. Kapanpun itu, entah dikehidupan sekarang ataupun nanti. *** Jessi mempersilahkan mereka masuk. Seperti biasa Deril akan langsung menuju sofa dan rebahan disana. Hati memang tak bisa dibohongi. Sekeras apapun berusaha menolak. Tetap saja hatinya merasa nyaman disana. Jessi melihat hal tersebutpun merasa lega. Hati Deril masih untuknya. Disana, dia mempunyai tempat teristimewa. Tempat yang sama dengan miliknya. Hanya untuk Deril semata. “Ini untukmu.” Jessi meletakkan beberapa barang diatas meja. “Lup ini bisa kamu gunakan untuk melihat tanaman – tanaman kecil. Spiker ini kamu gunakan untuk berbicara dengan pohon – pohon yang tinggi ataupun pohon yang sudah tua. Dan beberapa ramuan untuk mengusir hama. Disana sudah dijelaskan cara pemakaiannya. Jika sudah habis kamu bisa ke kantor dan telepon aku. Nanti akan kubuatkan untukmu.” “Apa aku tidak bisa membuatnya sendiri?” “Kamu? Membuatnya sendiri? Hahaha. Kamu ingat terahir kali kita membuat sabun?” Deril langsung tertawa terbahak. Dia mengingatnya. Sangat jelas diingatannya. Dengan sok taunya dia mencampur bahan – bahan dan berahir kacau. Cairan itu mengeluarkan banyak asap dan membuat dirinya gosong terkena asapnya. “Baiklah. Kamu benar. Kamu saja yang buat.” Jawabnya. Jessi mengangguk dan tersenyum. Sangat manis, siapa yang tak terpesona pada senyumnya. Steve pun merasa terpesona, hanya saja dia tahu. Siaoa pemilik hatinya, dan dia juga tak berminat mengacaukan perasaan mereka. Steve lega. Dua sejoli itu sudah benar – benar mencair. Seperti sebelumnya. Ah Tuhan memang selalu punya rencananya sendiri. Sekuat apapun intuisi kita mengira. Dia punya caranya sendiri. Terkadang membuat kita jatuh begitu dalam agar mengerti. Kadang juga melambungkan kita setinggi – tingginya, agar kita bisa melihat lebih banyak siapa saja yang butuh uluran tangan. “Jes, terimakasih. Aku akan selalu mengingatmu.” Ucap deril sambil berjalan ke arah jessi, yang sedang membuat minuman. “Eh aku keluar sebentar ya. Aku mau ke perpus lagi. Ada yang lupa dipinjam.” Ucap steve sambol berlalu pergi. Dia sengaja memberikan mereka ruang untuk berdua. Untuk mengutarakan perasaan mereka. “Sama – sama. Sejak aku memberitahumu bahwa tugasmu menjadi peri hutan. Aku sudah mempersiapkan semua ini.” “Jes, maaf.” Deril merasa tenggorokannya tercekat. Dia tak kuasa mengutarakan hatinya. “Kenapa minta maaf?” “Aku akan segera bertugas jes.” “Iya aku tahu.” “Aku memilih....” “Apapun pilihanmu aku mendukungmu. Pilih yang terbaik untuk hidupmu. Jangan terpengaruh apapun. Wujudkan segala impianmu. Raih apa yang belum kamu raih sebelumnya.” “Jess.” “Iya?” “Aku sayang kamu jes.” Tangis jessi tumpah. Beriringan dengan airmata Deril yang menerobos keluar. Mereka berpelukan. Dalam diam yang lama. Mereka saling merasa hangat. Tak ingin waktu berlalu terlalu cepat. Jessi sesenggukan. Jessi yang sedari tadi menahan tumpahnya airmata. Kini telah luruh. Kalah dengan suasana yang menghangat. Ada lega dan sakit secara bersamaan. Kini dia telah mengantongi ungkapan cinta dari Deril. Dia juga ada pada rasa yang sama. “Aku juga menyayangimu Der.” “Jes, aku minta maaf. Aku harus menjalani semuanya dengan baik. Maukah kamu menungguku?” “Tak perlu meminta maaf. Tak ada yang salah dengan keputusanmu. Aku bersedia menunggumu. Bahkan aku akan setia menantimu disini. Disetiap kelahiran dan kematianmu. Walaupun aku harus menunggu hingga ahir kelahiranmu. Aku akan selalu disini. Untukmu.” “Jes. Kamu wanita terbaik yang ku kenal. Walau waktu tak berpihak pada kita.” “Waktu akan berpihak pada kita. Aku akan dengan seria menceritakan segala hal yang pernah kita lalui. Aku akan mengabadikan setiap jiwa barumu. Akan kuingat setiap hal tentangmu.” “Jes, kamu sungguh sempurna. Seandainya saja kamu bisa terlahir kembali. Apakah itu mungkin?” Jessi terdiam, tangisnya memuncak lagi. Bahunya bergetar hebat. Dia tak sanggup menjawab pertanyaan orang yang dicintainya itu. Jessi memeluknya dengan erat. Wujud dari permohonan maafnya. Atas ketidakberdayaannya untuk menjawab pertanyaannya. Mereka berpelukan lama. Kemudian Deril mengangkat wajah jessi mengarah padanya. Mata mereka beradu. Binar cinta saling memancar dimata mereka. Suasana yang begitu syahdu. Hingga membuat deril memberanikan diri mencium kening jessi. Lalu turun lagi kemata hingga kebibirnya. Debar mereka semakin cepat. Napas mereka meburu, entah siapa yang memulai, helai demi helai pakaian mereka terlepas. Masih di sofa yang sama. Seperti biasa mereka menghabiskan waktu bersama. Namun kali ini lebih bermakna. Sentuhan dan desahan terjadi diatas sofa itu. Mereka saling berkeringat, menikmati setiap helaan napas. Menjelajahi setiap jengkal tubuh. Jessi pasrah. Dia menyerahkan segala miliknya untuk Deril. Hanya untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD