Suara bising para pengunjung restoran terdengar begitu nyaring di telinga Darel, ia hanya diam menyeruput secagkir kopi yang ada di hadapannya. Sesekali Darel melihat ponselnya, menunggu pesan dari seseorang.
“Hai, sorry telat,” ucap Dino yang baru saja datang. Ia kemudian mengangkat tangannya memanggil waiters.
“Selamat siang Kak, ada yang bisa saya bantu,” sapa waiters.
“Aku pesan ice moccacino," ucap Dino.
Waiters tersebut menulis pesanan Dino dan berucap, “Ada tambahan kak?"
"Tidak ada."
"Baik, jika tidak ada saya permisi.”
Dino hanya tersenyum, kemudian menatap Darel yang sibuk dengan ponselnya. Sepintas ide jahilnya pun muncul, Dino mengeluarkan ponsel kemudian menghubungi Darel yang berada di hadapannya.
Melihat nama Dino di ponselnya refleks membuat Darel mendelik menatapnya. “Kamu terlalu sibuk dengan ponselmu sampai lupa kalau aku ada di depanmu. Oh ya, apa kamu mau datang ke acara reuni sekolah?” tanya Dino.
“Entahlah, siapa saja yang datang?” ucap Darel tanpa menoleh.
“Hampir semuanya datang, hanya tinggal beberapa orang saja termasuk Seina."
“Seina, apa dia akan datang?” ucapnya memastikan.
“Sepertinya dia tidak akan datang, dia yang paling susah untuk di ajak berkumpul. Apa selama di sini kamu pernah bertemu dengan Seina?”
Darel menggelengkan kepalanya, berbohong karena selama ini mereka selalu bertemu. Ia tidak mau Dino atau pun teman lainnya tahu jika dirinya dan Seina bertetangga.
“Aku dengar dia pengangguran setelah resign dari kantornya."
“Apa ... siapa yang mengatakan hal itu?” tanya Deril terkejut.
“Entah siapa yang mulai, tetapi di grup alumni sangat ramai membicarakan Seina. Kasian ya, dulu waktu sekolah dia itu populer. Ternyata kepopulerannya tidak menguntungkan di dunia kerja."
Darel berdecak menatap tajam ke arah Dino. "Kalau kamu enggak tahu kebenarannya lebih baik tutup mulutmu." Darel mengeratkan giginya karena kesal, ia pun kembali menyeruput kopi hingga tandas.
***
Senyum mengembang dari bibir Seina kala ia mengecek nominal tabungan yang sudah mencapai tiga digit. Dengan gembira ia menghubungi Arya. Terdengar sambungan telepon yang terhubung hingga akhirnya terdengar suara berisik dari sana.
“Halo, Sayang. Aku sedang berkumpul dengan teman-teman kuliah. Ada apa?" tanya Arya.
“Di mana, kenapa kamu tidak memberitahuku?” kesal Seina.
“Di cafetaria, kamu lupa kalau aku mengirimkan pesan satu jam yang lalu sama kamu?" Seina menjauhkan ponselnya dan melihat pesan dari Arya. "Nanti aku hubungi kamu lagi ya. Bye, Sayang.” Arya mematikan panggilannya sepihak.
Sementara itu, ia kembali bergabung dengan teman-temannya. Dedi melirik ke arah Arya, kemudian menggeser bangkunya.
“Kenapa, apa tunanganmu menyuruhmu pulang?” tanya Dedi.
“Tidak, dia hanya menanyakan keberadaanku,” jawab Arya sambil tersenyum.
“Belum menikah saja sudah berani mengatur-ngatur kamu, apa lagi kalau sudah menikah," cibir Dedi. Ada rasa malu di hati Arya ketika Seina sering menghubunginya saat ia bersama temannya.
Bukan Arya tidak senang akan hal itu, hanya sana teman-temannya sering merusak moodnya karena mencibir tunangannya itu.
“Kalau menikah mungkin aku tidak akan berkumpul seperti ini,” cetus Arya sambil menyunggingkan senyum. “Saat aku menikah nanti prioritas utamaku adalah anak dan istriku, karena merekalah yang akan selalu ada untukku.”
Semua mata tertuju kepada Arya, beberapa temannya yang sudah menikah hanya mementingkan egonya sendiri. Bahkan mereka lebih mementingkan teman dari pada istrinya.
Sementara itu di tempat lain, Seina keluar dari apartemennya, untuk membeli makan. Seperti biasa ia akan menggunakan setelan hoodie serta masker untuk menutup wajahnya agar tidak ada yang mengenalinya.
“Hei, uangmu jatuh,” ucap seorang pria yang berada di belakang Seina. Seina berniat tak menghiraukan ucapan pria yang memiliki suara yang tak asing di telinganya. Tetapi jika dia tidak melihatnya, pasti uangnya akan di ambil oleh orang lain.
Seina kemudian berbalik untuk melihat uangnya yang jatuh. Namun, tidak ada uang yang terjatuh di sana. "Argh ... sial!"
Darel menyeringai setelah berhasil mengelabui Seina. Ia pun tertawa ketika melihat ekspresi wajah Seina. “Dasar mata duitan. Kamu mau ke mana?"
Seina mendengus kesal, ia mencoba tak mempedulikan ucapan Darel. Seina terus berjalan menuju pujasera yang berada di lingkungan apartemennya. Bukannya berhenti mengganggu Seina, Darel malah semakin menggoda Seina dengan membahas uang yang terjatuh.
"Hei, ini itu uangmu jatuh. Wah, dua ratus ribu lagi."
Kesal di ikuti Seina pun menghentikan langkahnya. Namun, seketika ia terhuyung ke depan saat Darel menabrak punggungnya. "Sorry," ucapnya.
Seina membalikkan tubuhnya menatap tajam Darel. “Untuk apa kamu mengikutiku?” tanya Seina sinis.
“Memangnya kamu mau ke mana, biar aku antar. Tidak baik seorang wanita pergi sendirian malam-malam begini. Nanti kalau ada orang yang jahat bagaimana.”
“Bukan urusanmu!” hardiknya. Seina lalu memesan nasi goreng, kemudian duduk di kursi yang tersedia di sana.
“Nasi gorengnya satu atau dua, Kak?” tanya tukang nasi goreng.
“Sa—”
“Dua bang,” sambung Darel memotong ucapan Seina.
Seina mengambil ponselnya, kemudian kembali mengetik di ponsel sambil menunggu nasi gorengnya selesai dibuat.
“Kamu tidak ikut ke acara reuni sekolah?"
“Tidak."
"Kenapa enggak ikut? Padahal teman-teman kita datang semua ke acara reuni itu." Seina hanya diam enggan menjawab ucapan Darel. “Apa kamu marah sama aku atau aku melakukan kesalahan?”
Mata seina memutar mendengar ucapan Darel. "Sepertinya dia tidak sadar dengan apa yang telah dia lakukan. Menyebalkan,” batinnya. “Bisakah kamu berhenti menggangguku?” oceh Seina.
“Tidak bisa, karena aku suka.” Darel menyunggingkan senyum nakalnya sambil menatap Seina. “Kamu mau tidak datang ke acara reuni bareng aku?”
“Aku enggak mau datang, di sana hanya kumpulan orang-orang yang suka pamer dan membicarakan kehidupan temannya sendiri."
“Benarkah! Ah pantas saja mereka membicarakanmu.”
Seketika Seina mengangkat kepalanya mendengar ucapan Darel. “Membicarakan aku?”
“Hm ... mereka memiliki grup teman-teman SMA Pelita Bangsa. Salah satu teman kita mengatakan jika kamu pengangguran, makanya kamu tidak pernah mau ikut ke acara reuni sekolah.”
“What ...!”
"Makanya sekali-kali kamu datang ke acara reuni, biar mereka tahu kalau kamu masih bernapas dan hidup dengan baik tak seperti apa yang mereka katakan."
Seina memikirkan ucapan Darel. Jika benar mereka membicarakan hal-hal yang tidak-tidak seperti apa yang di katakan Darel. Datang ke acara reuni itu bisa mematahkan apa yang mereka tuduhkan.
"Ini nasi gorengnya, Kak."
Seina melihat nasi goreng yang tertata di piring. "Kok di piring Bang, aku kan minta di bungkus?"
"Loh tadi Kakak kan tidak bilang kalau nasi gorengnya di bungkus!"
Darel tersenyum lalu menyimpan sendok yang sudah ia bersihkan dengan tisu. "Udah-udah, makan aja. Nanti nasi gorengnya keburu dingin.
Seina menghela napasnya, ia pun akhirnya terpaksa memakan nasi goreng di pinggir jalan bersama Darel.
"Jadi inget waktu kita makan bakso di kantin sekolah dulu."
Uhuk ... uhuk. Seina tiba-tiba saja tersedak lalu menatap wajah Darel yang tersenyum kepadanya.