Mata Arya melihat ke sekeliling restoran, tidak ada tempat duduk yang kosong.
"Kita take away saja ya," ucap Arya.
"Makan di sini saja, kita bergabung sama temanku," tukas Seina.
"Teman kamu yang mana?" tanya Arya.
"Itu yang tadi memanggil namaku, aku ke sana dulu ya," jawab Seina berjalan ke arah meja Darel.
"Hai Darel ... bolehkah aku bergabung di sini? Soalnya tidak ada tempat yang kosong. Boleh ya kak?" lirih Seina menatap Diana.
"Boleh, duduk di sini saja," jawab Diana.
"Makasih banyak." Seina melambaikan tangan ke arah Arya, tanpa permisi Seina duduk di samping Diana.
Tak lama Arya datang sambil membawa nampan yang berisi makanan mereka.
"Hai, kita boleh bergabung di sini kan?" ucap Arya.
"Boleh, tadi pacar Darel sudah mengizinkan kita makan di sini. Oh iya kak, kenalin nama aku Seina," oceh Seina memperkenalkan diri.
Diana menjabat tangan Seina dan berkata, "Namaku Diana, salam kenal."
Arya yang juga memperkenalkan diri kepada Darel dan Diana. "Senang bertemu dengan kalian.
Setelahnya, tidak ada yang memulai pembicaraan. Darel hanya diam sesekali melirik Seina yang terlihat begitu mesra dengan prianya membuat Darel tidak berselera makanan.
"Oh ya, Seina aku dengar kalian teman saat Sekolah Menengah Atas?" ungkap Diana.
Seina melirik ke arah Darel yang sibuk dengan ponselnya.
"Ak—"
"Iya, dulu kita teman sekolah," sela Darel menatap Seina lalu menyimpan ponselnya.
Seina memalingkan wajahnya, tak ingin melihat ke arah Darel. "Ehm ... oh ya, apa kalian sudah lama berpacaran?" tanya Darel kepada Arya.
"Kita sudah bertunangan, dua bulan lagi kami akan melangsungkan pernikahan," jawab Arya.,
"Wah ... Selamat Seina, aku iri kepadamu. Aku sudah lama di jodohkan dengan Darel tapi hingga sekarang dia belum juga melamarku.” Seina menyingkirkan senyum mendengar penuturan Diana.
"Belum waktunya," jelas Darel penuh penekanan.
Arya yang sudah selesai makan menatap Seina yang masih mengunyah makanannya. Dengan lembut Arya mengusap noda makanan yang menempel di sudut bibirnya.
Darel yang melihat hal itu pun mengepalkan tangannya, sesekali ia melirik ke arah Arya lalu beranjak dari kursi.
"Kita pulang dulu," ucap Darel menggenggam tangan Diana.
Mata Seina fokus ke tangan Darel yang memegang erat tangan Diana, membawanya pergi dari restoran.
"Sayang kamu kenapa? Ayo, dihabiskan makanannya."
"Tidak apa-apa, aku sedang menikmati makanan yang ada di mulutku," elak Seina.
Entah apa yang dirasakan Seina saat ini, yang pasti dia begitu kecewa saat Darel mengatakan hubungannya dulu hanya sebatas teman.
Seina kembali ke apartemen, dengan langkah lunglai. Rencana weekend bersama Arya pupus sudah saat temen kantornya meminta Arya untuk lembur. Seina membuka pintu apartemen, tiba-tiba saja Darel masuk ke dalam tanpa permisi, kemudian menarik Seina lalu menutup pintunya.
"Kenapa kamu masuk ke apart—"
Belum selesai bicara, Darel membekap mulut Seina. Darel melihat Diana dari lubang intip. Tanpa ia sadari, Seina merasakan detak jantungnya yang begitu kencang, ketika tubuhnya dan Darel begitu dekat tanpa celah. Bahkan Seina merasakan lengan Darel yang menyentuh dadanya.
Setelah melihat Diana keluar dari apartemen, Darel melepaskan tangannya dari mulut Seina. Dengan kencang Seina menendang kaki Darel hingga ia mengaduh kesakitan.
"Aw, sakit.” Darel mengerang kesakitan.
Seina mendelik, tak mempedulikan tatapan Darel. “Tunggu Seina, bolehkah aku tinggal di sini sebentar?" mohon-nya.
"Kamu punya apartemen sendiri kenapa kamu harus bersembunyi di sini, jika kamu memiliki masalah dengan Diana selesaikan jangan jadi pengecut."
"Kamu tidak tau masalah yang sebenarnya," desis Darel mengikuti Seina.
Seina membuka sepatunya, berjalan ke dapur. Ia mengambil dua minuman kaleng dan memberikan satu untuk Darel.
"Dari dulu kamu tidak pernah berubah, selalu lari dari masalah."
"Bukan lari, hanya saja—" Darel menghentikan ucapannya menatap manik mata Seina. Keduanya pun saling bertatapan, tetapi mulut mereka seperti terkunci.
"Menjauh dariku!" kesal Seina mendorong tubuh Darel.
"Apa kamu masih marah?"
"Marah kenapa, lagi pula untuk apa aku marah ke orang sepertimu!"
Sudut bibir Darel terangkat lalu berucap, "Aku pikir kamu marah karena aku bilang kalau dulu kita hanya berteman."
"Bukannya dulu kita memang berteman?"
Ingatan Darel kembali saat masa-masa sekolah. Saat dia menyatakan cinta ke Seina.
“Aku menyukaimu Seina," ucap Darel sambil memegang kedua tangannya.
"Sudah berapa wanita yang kamu kasih harapan palsu?" selidik Seina menepis tangan Darel.
"Asal kamu tahu saja, aku belum pernah sekali pun berpacaran dengan siswi di sini."
Seina memicingkan matanya, tidak percaya dengan ucapan Darel. "Buat aku jatuh cinta kepadamu, kalau kamu berhasil aku akan menerimamu di depan semua orang."
"Oke ...."
Sejak mengungkapkan perasaannya, Darel gencar menunjukkan perhatiannya kepada Seina. Bahkan dia terlihat protektif, tak membiarkan siapa pun yang mendekatinya.
"Pagi," sapa Darel saat melihat Seina berjalan di koridor.
"Hm," jawab Seina singkat.
Darel mengikuti langkah Seina meski dia terlihat malas dengan tingkahnya. Seperti biasa Darel akan mengantarkan Seina sampai masuk ke kelas, setelah itu dia akan kembali ke kelasnya yang tak jauh dari sana.
Tepat pukul dua belas siang, bel berbunyi. Semua siswa dan siswi keluar dari kelas mereka. Namun, Seina masih bertahan di kelas, enggan keluar dari sana.
“Gaes ... ayo keluar, siswa sebelah nyerang kita lagi," seru seorang siswa.
Terdengar riuh, suara para siswa dan siswi yang berjalan keluar dari kelas. Seina mengangkat kepalanya karena merasa terganggu dengan kebisingan.
"Seina ... ayo, keluar! geng sekolah kita kalah," ucap Dino.
"Biarkan saja, bukan urusanku," ketus Seina.
"Darel terluka, mereka membawa senjata tajam."
“Apa!”
Seina bergegas keluar dari kelas untuk melihat keadaan Darel. Dengan langkah kaki yang cepat, akhirnya Seina sampai di tempat mereka berkelahi. Mata Seina memicing mencari keberadaan Darel. Tangan Seina mengepal saat melihat siswa sekolah sebelah memukul wajah Darel tanpa henti.
"Darel," desisnya.
Darah segar keluar dari mulut Darel serta pelipisnya. Seina berlari ke arah Darel, menendang siswa yang memukul Darel hingga tersungkur. Seina mengeluarkan ponselnya lalu merekam kejadian di sana kemudian mengirimkan ke guru BK.
"Darel, Darel, sadarlah." Seina terlihat panik karena darah terus keluar dari hidungnya. Seketika tubuh Darel luruh ke lantai. "Darel, bangun!"
Beberapa guru berlari membopong Darel— membawanya ke rumah sakit.
"Ayo, Seina naik!"
Dengan tangan bergetar Seina naik ke atas motor Dino. Air matanya menetes membayangkan Darel terluka parah.
"Apa dia akan selamat?"
"Kamu tenang saja, Darel pasti kuat," ucap Dino menenangkan.
"Aku sangat takut, aku takut nggak bisa bertemu lagi dengannya."