Pagi-pagi sekali mereka sekitar lima belas orang telah sampai di Bandara dan mereka segera menuju lokasi menggunakan mobil. Arinda merasa sangat lelah karena tadi malam ia segera menghubungi Inggrit menanyakan keadaan Arumi dan ia bersyukur karena Arumi tidak rewel. Didalam mobil Arinda, Winda dan Mona duduk dikursi tengah dan Wira duduk didepan bersama supir sedangkan Bagus duduk dibelakang bersama Stev.
"Sempit bego!" kesal Mona mendorong lengan Arinda membuat Arinda menahan sakit dilengannya akibat perebuatan kasar yang disengaja Mona. Mona paling benci dengan perempuan yang lebih cantik darinya. Mona sudah beberapa kali menjalankan operasi untuk memperbaiki wajahnya agar semakin cantik dan menarik.
"b****g lo kegedean dan tas lo itu harap dikondisikan" ejek Winda.
"Sirik lo ya, body gue bagus gini, mana mungkin kegedean. b****g lo yang kegedean," ejek Mona. "Woy, lo...geser dikit dong, sakit ini badan gue" Mona mendoring tubuh Arinda dengan kasar. Ia menatap Arinda dengan tajam membuat Bagus menghela napasnya.
"Lo yang pindah aja biar gue disana. Disini lebih luas!" ucap Bagus kesal dengan tingkah kekanak-kanakan Mona.
"Ogah...gue...dibelakang tambah sakit badan gue!" kesal Mona.
Bagus ingin sekali menutup mulut Mona dengan kaos kakinya sangking kesalnya. "Aduh... Jangan begitu mbak" ucap Arinda sambil meringis kesakitan saat Mona dengan sengaja menyikut perutnya dan kemudian menekan kukunya dipaha Arinda. Hari ini Arinda merasa kurang enak badan dan ia memilih untuk tidak melayani tingkah Mona yang sejak mereka bertemu menujukkan aura permusuhan padanya.
"Gila lo ya....lo nyiksa Arinda. Rin lo pindah kesamping biar gue yang ditengah! Biar gue cakarin tu muka tambalan daging" pinta Winda.
"Nggak usah Win!" tolak Arinda karena membiarkan Winda duduk disebelah Mona pasti akan bertambah kacau.
"Hey Monmon gila, pantesan aja banyak haters lo ya. Kelakuan lo itu nggak cocok jadi publik figure" ejek Winda.
"Emang lo cocok? Lihat perut buncit lo kaya orang hamil mana cocok masuk TV" ejek Mona membuat Winda geram.
"Pak...berhenti sebentar!" ucap Wira membuat mereka menghentikan perdebatan mereka dan bingung kenapa Wira menghentikan perjalanan mereka.
Wira membuka pintu mobil dan menutupnya kemudian ia membuka pintu mobil disebelah Mona. "Kamu didepan, biar nggak sempit dan kalau mulut kamu nggak bisa diam saya turunkan kamu dihutan sana!" ancam Wira membuat Mona menganggukkan kepalanya karena takut dengan ancaman Wira.
"Mampus lo..." ejek Winda.
Mona segera pindah kedepan dan Wira duduk disamping Arinda. Sebenarnya tempat duduk mereka tidak sempit jika tas milik Mona diletakan dibawah. Wira mengambil tas Winda dan memberikannya kepada Winda. Ia kemudian duduk dengan tenang dan meminta pak supir untuk melanjutkan perjalanan.
Sebenarnya Arinda tidak begitu nyaman dekat dengan Wira seperti sekarang. Ketertarikan fisik seorang Wira bisa membuatnya jatuh hati. Arinda harus menjauhkan dirinya dari Wira agar ia tidak patah hati jika Wira mengetahui kertertarikannya. Konon katanya Wira selalu saja menolak perempuan yang mencoba mendekatinya dengan kasar.
Rasa kantuk membuat Arinda memejamkan matanya dan tanpa ia sadari, ia akhirnya terlelap. Ia merasa sangat nyaman dan hangat hingga membuatnya merasa terbuai. Arinda mengeratkan pelukkannya membuat Winda menahan tawanya melihat tingkah Arinda. Wira dan Arinda tidak menyadari kedekatan mereka karena keduanya sama-sama terlelap.
Tujuh jam perjalanan menuju desa yang akan mereka tuju. Wira membuka matanya dan merasakan lengannya terasa berat. Ia melihat wajah cantik alami milik Arinda terlihat begitu polos. Bibir pink yang jarang dipoles itu tiba-tiba menarik perhatiannya. Ia melihat Bagus, Stev, Winda, Mona dan tentunya Arinda masih terlelap.
Wira merasakan lengannya terasa kebas, ia kemudian menarik pinggang Arinda dan meletakan kepala Arinda ke dadanya. Gerakan spotannya itu membuat kedekatan fisik diantara keduanya hampir tidak berjarak. Hidung Arinda berada diceruk leher Wira membuat Wira merasa menahan sesuatu yang entah mengapa membuat wajahnya memerah. Tiba- tiba supir menginjak rem dan membuat bibir Arinda mencium leher Wira.
Wira mendorong wajah Arinda dengan pelan dan memperbaiki posisi Arinda namun Arinda kembali mengeratkan pelukannya. Wajah Arinda yang panas membuat Wira mengerutkan dahinya.
"Wah...menang banyak nih..." ucap Bagus membuat Winda membuka matanya dan terkejut melihat Arinda memeluk Wira.
Astaga....mati lo Arin...bos mukanya udah merah nahan marah atau nahan pipis... Entalah hanya tuhan dan dia yang tahu...
"Arin..." panggil Mona. Arinda membuka matanya namun kembali terpejam karena tubuhnya terasa lemas.
"Biarkan saja!" ucap Wira membuat Mona menatap mereka dengan tatapan tak suka.
Wajah Arinda terlihat pucat membuat Wira memegang dahi Arinda yang terasa panas. "Kamu demam?" bisik Wira.
"Hmmm...Pak...Maafkan saya Pak..." ucap Arinda membuka matanya. Ia menyadari posisinya yang sedang memeluk Wira dan ia mencoba menggerakan tubuhnya.
Arinda menjauhkan tubuhnya namun Wira segera menahannya. "Tidak apa-apa!" ucap Wira menahan kepala Arinda agar bersandar dibahunya.
Wira menyerahkan saputanganya yang ada disakunya dan meminta Winda menyiram air ke saputangan miliknya. Ia kemudian meletakkan saputangan yang basah itu ke dahi Arinda. Beberapa jam kemudian mereka sampai disebuah guest house dan Wira segera menggendong Arinda. "Pak saya bisa jalan!" ucap Arinda. Ia bis meminta Winda dan Bagus untuk memapahnya jika tubunya benar-benar lemas. Selain demam Arinda ternyata juga mabuk namun tidak sampai muntah seperti orang yang mabuk perjalanan.
"Demam kamu ini tinggi sekali Arin, biarkan saya menggendongmu!" ucap Wira. Ia membawa Arinda kedalam kamar bersama Winda.
Wira meletakkan Arinda diatas ranjang "Mas periksa dong!" pinta Winda.
"Dia hanya kelelahan dan demam" ucap Wira.
"Diperiksa dong perutnya kek apanya kek. Mas kan dokter!" ucap Winda membuat Wira menghela napasnya.
"Mas kan masih buka praktek Winda tahu dari Mas Dika. Mas...periksa Arin...Mas nggak kasihan sama Arinda?" ucap Winda mengkerucutkan bibirnya.
Jika saja Winda bukan keponakan ayahnya, winda sudah ia pecat. "Saya sudah periksa dia tadi, perutnya tidak sakit dan dia hanya demam. Kalau demamnya tidak turun setelah dia minum obat baru kita periksa darahnya" ucap Wira.
"Mas, Winda mau jajan dulu ke pasar pekan dekat sini sama bagus dan Stev. Mas jagain Arinda ya!" ucap Winda.
"Jangan lama!" ucap Wira.
"Iya..." ucap Winda segera melangkahkan kakinya dengan riang. Ia kemudian menutup pintu kamarnya dan segera pergi bersama Stev dan Bagus.
Wira menatap wajah cantik Arinda dan ia segera mengalihkan pandangannya dan mengusap wajahnya. Wira segera menuju kamar mandi untuk berwudu. Ia segera menunaikan sholat dan kemudian berzikir.
Arinda mendengar suara merdu Wira membuatnya lagi-lagi harus menahan hatinya agar tidak terpesona dengan sosok yang seharusnya ia jauhi.
"Kamu sudah bangun?" tanya Wira melipat sajadahnya dan kembali menyimpanya dilemari. Ia mendekati Arinda dan memeriksa dahi Arinda dengan telapak tangannya.
"Alhamduliah sudah turun..." ucap Wira. Ia berdiri dan mengambil semangkuk bubur yang tadi diantar karyawan guest house.
Wira meletakan bubur itu dipangkuan Arinda "Makanlah, saya akan menunggumu disini sampai Winda pulang!" ucap Wira.
"Terimakasih Pak," ucap Arinda tersenyum.
"Sama-sama," ucap Wira memilih duduk di sofa dan menonton Tv. Dua jam kemudian Winda membawa beberapa kantung makanan dan ia menelan ludahnya saat melihat tatapan tajam Wira dan Arinda.
"Waduh kompak bener pasutri ini," goda Winda berusaha tidak terintimidasi dari tatapan kesal Arinda dan Wira.
"Kata kamu sebentar, tapi ini sudah berapa jam Winda. Kamu meninggalkan temanmu yang sakit bersama seorang pria didalam kamarnya" ucap Wira.
"Hehehe...kalau prianya Mas Wira, Winda kan lega Mas....siapa tahu Mas sama Arinda jatuh cinta gitu," goda Winda membuat wajah Arinda memerah.
"Jangan ngarang kamu, tidur sana!" ucap Wira. Ia segera keluar dari kamar Arinda dan Winda menuju kamarnya yang berada didepan kamar Winda dan Arinda.
"Kamu keterlaluan Win, masa aku dijagain Pak Bos" kesal Arinda.
"Hahaha...Pak bos itu biasa melihat tubuh manusia telanjang. Nggak bakal napsu kalau dia tidak ada hati sama kamu Arin sayang..." jelas Winda.
"Maksud kamu apa?" teriak Arinda panik ia menyilangkan kedua tangannya didepan d**a.
"Hahaha...lucu banget sih lo Arin. Pak Wira itu dokter dia buka praktek di rumah sakit Dirgantara," jelas Winda.
"Kalau dia dokter ngapain dia kerja di Agriya Tv?" tanya Arinda penasaran.
"Demi adiknya" ucap Winda membuat Arinda penasaran dengan sosok Mahawira Agriya.