Jihan Yang Polos

1323 Words
"Gue gak suka di atur. Jadi lo gak berhak ngatur gue atas apapun yang gue lakukan." Hening. Tidak ada suara lagi yang terdengar setelah ucapan Juna terlontar begitu menusuk. Seolah status pernikahan diantara Juna dan Jihan tidak berarti apa-apa bagi laki-laki berusia dua puluh enam tahun tersebut. Kedua sudut bibir Jihan tertarik ke atas. Senyuman yang gadis itu terbitkan, membuat Juna mengerutkan kening begitu mendapat tanggapan seperti itu dari Jihan. "Maaf, Mas. Tapi Jihan bukan orang lain. Jihan istri sahnya Mas Juna. Dan dalam pernikahan, bukan hanya sekedar menyatukan dua insan dalam ikatan status, tapi lebih dari itu. Dua kepala berbeda pikiran yang disatukan untuk saling mengingatkan dan mengarahkan pada sesuatu yang baik." Jihan membalas ucapan Juna dengan santai disertai senyuman tenang yang membuat Juna bungkam, seolah tertampar oleh ucapannya tadi. Kemudian, Jihan memutar tubuh lantas melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi, meninggalkan Juna yang berdiri mematung menatap punggung gadis itu yang semakin jauh. Juna mendengus seraya memalingkan wajahnya. "Gue tahu, pernikahan emang bukan hanya sekedar untuk mendapatkan status. Tapi gue gak suka diatur. Apalagi sama bocah itu. Walaupun emang dia istri gue, tapi kita belum lama kenal." Sementara itu, Jihan pergi ke dapur hendak mencuci gelas bekas minuman Juna tadi. "Biar sama Bi Inem aja, Non." Jihan tersenyum. "Gak apa-apa, Bi. Jihan aja yang cuci gelasnya. Bibi lanjut bersih-bersih aja," ucapnya. "Tapi, Non. Nanti kalau Tuan Juna tahu, Bibi bisa kena marah." "Gak akan, Bi. Percaya sama Jihan," balas Jihan meyakinkan, jika yang ditakutkan oleh Bi Inem tidak akan terjadi. Bi Inem mengangguk patuh. Lalu ia kembali melanjutkan kegiatan bersih-bersih nya yang sempat tertunda. Jihan pun mulai menyalakan kran dan mulai mencuci gelasnya. Ucapan Juna beberapa menit yang lalu, seolah terngiang dalam benak Jihan. Meski gadis itu terlihat tenang dalam menanggapi ucapan suaminya tadi, akan tetapi dari lubuk hatinya yang paling dalam, Jihan merasa sedih. Ada juga perasaan takut dan khawatir yang gadis itu rasakan. Jihan Shopia, gadis yang tumbuh ditengah keluarga panti itu tidak pernah sekalipun menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki. Namun, itu tidak membuat Jihan buta akan urusan percintaan. Ia tahu dan belajar dari pengalaman teman-teman nya yang sempat atau sedang menjalin hubungan asmara. Komitmen dalam ikatan kekasih saja sangat berpengaruh dan berperan penting dalam menjalin hubungan pacaran mereka, apalagi Juna dan Jihan yang sudah lebih dari itu. Pernikahan diantara mereka, tentunya harus memiliki komitmen yang kuat. "Mas, aku tahu, pernikahan kita memang terjadi begitu cepat tanpa ada fase pengenalan terlebih dahulu. Tapi sungguh, aku ingin rumah tangga kita berjalan dengan semestinya," batin Jihan berucap. ••••• Waktu berjalan begitu cepat. Matahari telah berganti tugas dengan bulan dalam menyinari kota Jakarta. Di meja makan, sepasang suami istri sedang menikmati makan malamnya. Tidak ada obrolan yang tercipta. Bahkan terkesan canggung. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Jihan mencuri-curi pandang ke arah Juna yang duduk bersebrangan dengannya. Wajah berparas tampan itu tampak menikmati makannya. Jihan akui, Juna memiliki karismatik yang tinggi. Mungkin banyak wanita yang ingin bertukar posisi dengannya. Menjadi istri dari seorang laki-laki tampan serta mapan. Haruskah Jihan mensyukuri ini? Karena dari banyaknya perempuan-perempuan yang antri untuk mendapatkan Juna, justru gadis sederhana inilah yang mendapatkan laki-laki idaman itu. Menyadari sedang menjadi objek pandang orang di depannya, membuat Juna mengangkat pandangan dan berhasil menciduk sang istri yang sedang menatapnya dalam. "Eh!" Jihan salah tingkah saat matanya beradu dengan Juna. "Kenapa?" "Ha?" Juna berdecak. "Lo kenapa lihatin gue? Risih tau gak." Jihan meringis pelan. "Maaf, Mas." "Gue gak butuh kata maaf dari lo. Yang gue butuhin sekarang, itu jawaban dari elo. Kenapa tadi lihatin gue sampe sebegitu nya, hm?" Jihan menggeleng polos. "Ya gak apa-apa. Pengen lihat Mas Juna aja." Juna memicingkan kedua matanya. "Naksir lo sama gue?" tebaknya, membuat kedua bola mata Jihan seolah akan keluar dari tempatnya. "Naksir juga sama suami sendiri. Bukan sama orang lain. Apa salahnya?" Juna dan Jihan sama-sama menoleh ke sumber suara yang tiba-tiba menyahuti obrolan mereka. "Mama," ucap Juna begitu melihat kedatangan Santi. Wanita glamour itu kemudian duduk bergabung di meja makan bersama anak dan menantunya. "Selamat malam." Jihan tersenyum seraya bersalaman dengan ibu mertuanya. "Mama kok bisa ada di sini?" Juna bertanya. "Ya bisa dong. Mama kan orang bernyawa. Bisa kesana-kemari," jawab Santi membuat Juna menghela napas. "Mama datang sendiri? Papa mana?" Kini Jihan yang bertanya. "Papa ada di rumah. Tadi Mama habis ada keperluan di luar. Terus mampir deh ke sini, di antar sama supir," jawab Santi yang dibalas anggukan oleh Jihan. "Oh iya, kalian rencananya kapan pergi bulan madu?" Santi bertanya sambil menatap Juna dan Jihan secara bergantian. Jihan yang tidak bisa menjawab pun hanya bisa melempar tatapan pada suaminya. Juna berdeham pelan. "Gak tahu. Belum ada rencana juga," jawabnya cuek lalu kembali menyuap nasi ke dalam mulutnya. "Kok gak tahu sih?" Santi terlihat tidak suka atas jawaban yang diberikan Juna. "Kalian ini kan pengantin baru. Pergilah honeymoon. Habiskan waktu berdua sekalian bikin cucu buat Mama." Mendengar kata 'cucu' membuat Jihan menunduk malu. Berbeda dengan reaksi Juna yang berdecak kesal mendengar ucapan mamanya. "Bikin cucu doang mah gak pergi honeymoon juga jadi," celetuk Juna menjawab, membuat kedua pipi Jihan bersemu merah. Santi menghela napas panjang. "Ya gak cuma itu aja, Juna. Dengan honeymoon, kalian bisa refreshing. Saling mengenal satu sama lain. Apalagi kan kalian menikah tanpa ada proses pendekatan terlebih dahulu. Hitung-hitung PDKT-an, gitu lho." "Ya itu karena Papa sama Mama yang terlalu buru-buru nikahin Juna," balas Juna. "Cukup. Yang terjadi sudah terjadi. Toh, apa yang Mama sama Papa kamu lakukan juga demi kebaikan kamu. Jadi jangan pernah kamu mengeluh sama apa yang telah terjadi ini. Cukup kamu jalankan apa yang telah menjadi tanggung jawab kamu sebagai suami untuk Jihan," ucap Santi dengan tegas. Juna melirik ke arah Jihan yang sedang mengunyah pelan makannya dengan pandangan ke bawah. Juna bisa menangkap perasaan tidak enak hati yang terpancar dari wajah Jihan. Juna berdeham. "Ma, maksud Juna tadi, bukan maksud gak mau pergi honeymoon. Tapi kan, Jihan harus kuliah. Dia gak mungkin ambil cuti lama kan? Nanti bisa ketinggalan pembelajaran. Juna juga gak bisa ambil cuti di kantor seenaknya. Agenda bulan ini benar-benar gak bisa ditinggalkan. Jadi tolong, Mama bisa ngertiin posisi kami," ujarnya. Helaan napas panjang Santi hembuskan. Ucapan Juna ada benarnya juga. "Iya-iya, Mama ngerti. Tapi, kalian tetap harus merencanakan honeymoon. Kapanpun itu waktunya," pesan Santi. Juna mengangguk, begitu pun dengan Jihan yang ikut mengangguk setelah melihat respon suaminya tadi. "Jihan," panggil Santi. Jihan menoleh menatap ibu mertuanya. "Iya, Ma?" "Nanti kalau tiba-tiba suami kamu mengajukan syarat pernikahan yang aneh-aneh, seperti pisah kamar misalnya. Tolong langsung kabarin Mama ya, Sayang." Juna menjatuhkan rahangnya seketika, mendengar ucapan Santi yang bisa-bisanya wanita itu berpikir sama sejauh itu. "Ma, Juna gak mung---," "Gak ada yang gak mungkin. Mama antisipasi aja, kalau tiba-tiba kamu mengajukan syarat-syarat aneh sama menantu Mama." Santi memotong ucapan Juna, yang semakin membuat Juna jengah. Santi menoleh menatap Jihan, lalu ia tersenyum sambil mengusap kepala Jihan. "Ingat, ya. Langsung kabarin Mama kalau sampai itu terjadi," pesannya. Jihan mengangguk patuh. "Iya, Ma." "Ya sudah, kalau begitu Mama pulang dulu ya." Jihan mengangguk lalu meraih tangan Santi untuk bersalaman dengannya. "Juna, jagain menantu Mama ya. Jangan sampai lecet sedikitpun," peringat Santi saat bersalaman dengan putranya. "Tapi biasanya kalau pertama itu lecet," jawabnya asal. Santi tersenyum lebar. "Kalau buat yang satu itu sih gak apa-apa." Juna berdecak pelan. Berbeda dengan Jihan yang tak mengerti dengan pembicaraan ibu dan anak itu. "Mama pulang ya. Assalamualaikum!" "Wa'alaikumussalam!" Juna dan Jihan menjawab dengan kompak. Juna meraih gelas lalu meneguk minumannya. "Apanya yang pertama lecet?" Jihan bertanya polos, membuat Juna tersedak dibuatnya. "Uhuk! Uhuk!" Jihan segera beranjak dari tempatnya. Lalu ia menepuk-nepuk punggung Juna. "Ya ampun, Mas. Ada-ada aja, sampai tersedak gini." Juna menghembuskan napas panjang. Menoleh menatap wajah Jihan yang jaraknya begitu dekat. "Lo mau tahu? Apa yang gue maksud tadi?" Jihan menautkan kedua alisnya. "Emang apa?" Seulas senyum smirk tercipta menghiasi wajah tampan Juna. Akan tetapi, ekspresi yang seperti ini membuat Jihan merinding. "Lo bakal tahu jawabannya malam ini juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD