Dalila membuka matanya secara perlahan. Berusaha agar tubuhnya tidak terkejut dan dirinya akan tersiksa oleh rasa sakit yang menggigit. Namun, Dalila terkejut dengan kenyataan bahwa tubuhnya sama sekali tidak terasa sakit. Ia malah merasa tubuhnya terasa sangat ringan. Luka pada pahanya bahkan tidak terasa sakit lagi. “Wah, ini menakjubkan,” ucap Dalila saat berusaha bangkit dan duduk di tengah ranjang.
Saat Dalila memeriksa lukanya, lukanya masih terlihat. Namun, tidak separah sebelumnya. Sudah terlihat proses penyembuhan pada luka itu. Namun, hal yang aneh adalah, Dalila sudah tidak merasakan rasa sakit. Biasanya, pagi hari setelah malam yang menyiksa, akan tetap terasa menyakitkan bagi Dalila. Jadi, jelas ini adalah hal yang terasa aneh baginya.
Bukan hal yang mengejutkan bahwa tubuh Dalila bisa sembuh lebih cepat daripada manusia normal. Ini sudah terjadi sejak kecil, bahkan mungkin sebelum Dalila bisa mengingat. Karena inilah, Dalila tidak menyukai rumah sakit. Ia benci ditatap seperti orang aneh. Keputusan yang tepat bagi Dalila untuk mempelajari ilmu pengobatan, meskipun itu sebatas pengobatan pertama. Toh, hal ini pun sangat berguna bagi dirinya yang bekerja di dunia yang berbahaya sebagai seorang pengawal.
Hanya saja, situasi seperti ini baru dirasakan oleh Dalila. Ia belum pernah mengalami penyembuhan yang secepat ini. Ditambah dengan rasa sakit yang menghilang tak berbekas. Seakan-akan ada sebuah sihir yang mengangkat rasa sakitnya. Saat ini Dalila merasa takjub, sekaligus kebingungan. Dalila bingung haruskah ia merasa takut dengan kondisi tubuhnya yang semakin tidak normal, atau apakah dirinya harus merasa sangat bahagia karenanya.
Saat Dalila masih bergelut dengan rasa bingungnya, ia pun mendengar suara dering ponsel yang menandakan pesan masuk. Wajah Dalila berseri, saat memeriksa pesan tersebut. Itu adalah pemberitahuan jika dirinya ternyata mendapatkan uang kompensansi. Bahkan uang itu datang dua kali. Salah satu dari uang itu berasal dari perusahaan, dan sisanya adalah uang yang diberikan oleh Weny melalui perusahaan.
Tidak sampai di sana saja, ternyata Dalila mendapatkan pesan dari ketua tim. Pesan itu menyebutkan jika Dalila mendapatkan libur selama lima hari. Ia diminta untuk memulihkan diri secara sempurna, dan bisa kembali setelah jahitannya dilepas. Sepertinya orang-orang yakin jika luka yang Dalila terima harus mendapatkan jahitan. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu.
“Wah, sepertinya lebih baik aku tertusuk setiap kali bertugas,” gumam Dalila pada dirinya sendiri.
Namun, ternyata Winter yang berada di bantal tempat tidurnya menggeram. Bereaksi atas omong kosong yang dikatakan oleh Dalila. Sadar akan kesalahannya, Dalila pun tersenyum canggung pada Winter. Dalila merasa sudah melakukan kesalahan besar dan tengah ditegur oleh seseorang. Winter pun mendekat ke ranjang Dalila. Secara alami Dalila mengulurkan tangannya dan mengusap kepala anjingnya itu.
“Iya, aku tidak akan mengatakan omong kosong seperti itu lagi. Nyawaku jelas lebih berharga daripada uang kompensasi yang kuterima,” ucap Dalila.
Meskipun begitu, tetap saja Dalila merasa sangat senang. Kompensasi yang ia terima cukup besar. Ini bahkan lebih besar dari gaji pokok Dalila selama tiga bulan. Rasanya, Dalila tidak perlu cemas dengan makanan Winter untuk beberapa bulan ke depan. Sebenarnya Dalila tengah mendramatisir keadaan. Walaupun tidak mendapatkan uang kompensasi sekali pun, sebenarnya Dalila memiliki uang yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan Winter.
Selama ini Dalila tidak pernah hidup dengan menghambur-hamburkan uangnya. Dalila hidup seadanya. Tidak terlalu menghemat, atau pun terlalu mewah. Ia menggunakan uangnya secukupnya, baik untuk kebutuhannya, maupun untuk saat-saat di mana dirinya ingin bersenang-senang. Selebihnya, semua gaji dan bonus yang ia dapatkan akan masuk ke dalam tabungannya. Itu akan menjadi uang pensiun di masa tuanya nanti.
Baru saja Dalila akan merayakan harinya yang terasa sangat menyenangkan dengan waktu libur dan uang kompensasi yang ia terima, Dalila sudah lebih dulu mendapatkan sebuah pesan baru. Pesan itu masih dari ketua tim. Namun, isi pesannya membuat pelipis Dalila berkedut saat itu juga. Rasanya Dalila ingin melemparkan ponselnya, saking kesalnya Dalila saat ini.
“Dasar kepala batu!” maki Dalila.
Kemarahan Dalila saat ini bukannya tanpa alasan. Ia marah karena ternyata saat dirinya masuk kerja nanti, ia harus menemui Nich secara langsung. Rasanya, Dalila tidak ingin mendapatkan waktu libur, jika itu artinya ia harus membayar waktu liburnya dengan bertemu dengan Nich nantinya. Membayangkannya saja sudah membuat Dalila pusing bukan kepalang.
“Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh pria itu? Benar-benar menyebalkan,” keluh Dalila lalu beranjak untuk turun dari ranjang.
Meskipun terluka dan masih lemas, Dalila tidak merasa nyaman jika harus bertahan dengan kondisi seperti ini. Ia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu, Dalila juga harus membeli makanan pesan antar. Karena ia sendiri lapar, dan harus memberi makan Winter. Ia juga harus memeriksa apakah tadi malam Winter menghabiskan makanannya atau tidak. Winter sendiri terlihat mengikuti langkah Dalila, dan membuat Dalila yang menyadari hal itu bertanya, “Apakah kau ingin ikut mandi? Sepertinya aku belum memandikanmu lagi.”
Mendengar apa yang dikatakan oleh Dalila, Winter terlihat akan berbalik dan Dalila pun berkata, “Jika tidak mau mandi, maka tidak aka nada daging untuk sarapanmu. Kau harus mandi, atau kau bisa berpuasa untuk hari ini.”
Ternyata ancaman yang diberikan oleh Dalila, membuat Winter dengan sendiri melangkah menuju kamar mandi. Melihat tingkah Winter yang lagi-lagi sangat cerdas itu, membuat Dalila tidak bisa menahan senyumannya. Winter benar-benar membawa warna baru dalam kehidupannya. Ia adalah sumber penghiburan dalam hidup Dalila yang selama ini terasa sangat membosankan.
Dalila pun ikut melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Ia membungkus bebat lukanya dengan bahan yang memang tidak tembus air. Dalila tidak akan merasa puas denga hanya membilas atau menyeka tubuhnya dengan kain basah. Jadi, ini adalah cara yang bisa memungkinkan bagi Dalila untuk mandi dan membersihkan kotoran pada tubuhnya. Namun, sebelum dirinya mandi, ia harus memandikan Winter yang tampaknya sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya.
“Kenapa bertingkah seperti ini? Seolah-olah aku memerintahkanmu untuk minum racun saja. Aku hanya akan memandikanmu. Toh, ini untuk kebaikanmu sendiri. Jika kau tidak mandi, kau akan kutuan. Dan aku tidak mau sampai rumahku menjadi sarang dari kutu-kutu itu,” ucap Dalila mulai memandikan Winter.
Winter sendiri hanya mengaing. Seolah-olah benar tidak menyukai acara mandi tersebut. Meskipun tidak suka, Winter sama sekali tidak melakukan gerakan yang membuat Dalila kesulitan untuk melakukan kegiatannya. Winter hanya diam dan menuruti apa yang diperintahkan oleh Dalila. Sungguh, hewan peliharaan yang cerdas. Namun, saat Dalila mulai menyabuni b****g Winter, saat itulah Winter tidak lagi bisa tenang dan mulai membuat ulah. Hal itu membuat Dalila jengkel dan menampar pelan b****g Winter. “Diam, Winter!” Lalu Winter benar-benar diam. Bukan karena takut, tetapi karena syok dengan tindakan Dalila tersebut.
**
Saat malam tiba, kondisi tubuh Dalila sudah benar-benar membaik. Ia bahkan sudah bisa melakukan aktfitas rumahannya dengan leluasa. Ya walaupun pada dasarnya Dalila harus berhati-hati dengan luka pada pahanya. Ia tidak boleh melakukan hal yang terlalu kasar, karena itu bisa membuat lukanya kembali mengeluarkan darah. Sebelum menyiapkan makan malam, Dalila pun memeriksa ponselnya. Takut jika ada pesan yang terlewat. Dalila memang harus masak makan malam sendiri. Karena ternyata makanan yang ia pesan, seenak apa pun itu tidak sesuai dengan selera Winter. Peliharannya itu ternyata sangat pemilih. Ia bahkan tidak menghabiskan makanan yang sudah Dalila beli.
Belum selesai Dalila memeriksa ponselnya, ia sudah lebih dulu mendapatkan telepon dari Sasya. Ia pun menerimanya dan duduk di sofa. Winter pun mendekat dan meletakan kepalanya pada paha Dalila yang tidak terluka. Sembari berbincang dengan Sasya, tangan Dalila pun ia gunakan untuk mengusap lembut bulu Winter yang semakin terasa lembut dan terawat karena sesi mandi tadi pagi.
“Ada apa Sasya?” tanya Dalila.
“Aku ingin menanyakan kabarmu. Aku dan Gary cemas karena belum mendengar kabar terbaru mengenai dirimu. Bagaimana, apa kata dokter? Apa perlu kami berkunjung ke rumahmu?” tanya Sasya dengan nada yang benar-benar menunjukan rasa cemasnya.
Dalila yang mendengar hal itu pun tersenyum tipis. Semula, dirinya tidak terlalu dengan dengan Sasya dan Gary. Namun, setelah Jack menjaga jarak, pada akhirnya Dalila tanpa sadar membuka diri pada kedua orang ini. “Tidak perlu cemas. Kondisiku sekarang sudah membaik. Setelah libur yang diberikan habis, aku akan segera masuk dan kembali bertugas. Kalian tidak perlu berkunjung. Aku hanya perlu istirahat, dan kalian sendiri tahu bahwa aku tidak menerima tamu,” ucap Dalila membuat Sasya mendengkus.
“Jika ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku atau Gary. Ah iya, apakah Jack sudah menghubungimu? Semua orang sudah mengetahui insiden yang terjadi saat kita bertugas. Jack juga sudah tahu, hanya saja tadi Jack tidak menunjukan respons seperti biasanya. Ia pasti sangat terkejut,” ucap Sasya membuat Dalila mengernyitkan keningnya.
Dalila mencoba mengingat, tetapi dirinya tidak mendapatkan pesan atau pun mendapatkan telepon dari Jack. Pria yang sebelumnya dekat dengannya sebagai sahabatnya itu sama sekali tidak menghubunginya. Setelah berusaha menjaga jarak, kini Jack bahkan tidak berusaha untuk menjalin hubungan apa pun dengannya. Entah apa alasannya, tetapi Dalila tidak merasa keberatan dengan apa yang terjadi ini. Karena sejak awal pun, Dalila tidak memaksa Jack untuk tetap berada di lingkaran pertemananya.
“Tidak. Dia tidak menghubungiku,” ucap Dalila lalu segera mengalihkan topik pembicaraan. Keduanya berbincang cukup lama, hingga Dalila yang meminta untuk memutuskan sambungan telepon.
Setelah sambungan telepon, Dalila meletakkan ponselnya dan berkata, “Winter, bangun. Aku harus memasak.”
Winter yang mendengarnya segera mengangkat kepalanya. Namun, setelah Dalila bangkit, Winter sama sekali tidak bergerak dari posisinya. Dalila yang melihat hal itu sudah tidak lagi merasa aneh. Dalila memilih untuk segera menyiapkan makan malamnya dengan Winter yang bersikap manja, dengan tidak mau makan makanan yang tidak dimasak oleh Dalila.
Tidak membutuhkan waktu lama, Dalila pun mulai berkutat dengan masakannya. Karena Dalila bosan dengan daging, Dalila pun memilih untuk memasak menu yang lain. Sementara untuk Winter, tentu saja Dalila memasak daging khusus yang sudah ia marinasi sebelumnya. Wangi harum menyebar memenuhi kediaman sederhana Dalila.
Dengan terampil, Dalila pun menatap semua hasil masakannya di atas piring. Setelah itu, Dalila membereskannya di meja. Ia pun menyiapkan gelas anggur dan camilan berupa buah segar. Karena Dalila berencana makan malamnya nanti akan berlangsung sembari menonton sebuah film yang memang sudah lama ia inginkan untuk ia tonton. Dalila sengaja membuat pencahayaan menjadi remang, agar ia bisa fokus dengan film yang akan ia tonton nantinya.
Makan malam pun dimulai, Winter terlihat sangat menikmati makanan yang dibuat oleh sang majikan. Berbeda dari sebelumnya, kini Winter menghabiskan malamnya hingga tidak bersia. Hal itu jelas membuat Dalila merasa lega. Tentu saja Dalila ikut menikmati santapan yang sudah ia masak sembari menatap televisinya. Ia tampak fokus dengan film yang ia tonton tersebut, tetapi ia juga sesekali menyempatkan diri untuk menyantap makanannya.
“Wah bodohnya pria itu,” ucap Dalila setelah menyesap anggurnya. Rasa manis menyebar dengan sedikit meninggalkan rasa pahit dan sepat yang unik. Rasa unik yang rasanya sudah lama tidak Dalila rasakan. Karena selama ini Dalila memang tidak pernah memiliki waktu untuk beristirahat dan memiliki waktu untuk dirinya sendiri.
Saat Dalila terlarut pada tontonannya, Dalila memang tidak akan bisa menahan diri untuk berkomentar, bahkan memaki tokoh pada film tersebut. Apalagi, film yang ditonton oleh Dalila saat ini adalah filmu romantis aksi yang memang dihiasi oleh manisnya percintaan dan ketegangan aksi di setiap adegannya. Rasanya, Dalila tidak bisa menahan bibirnya untuk melemparkan makian demi makina. “Benar-benar, pria seperti itu memang lebih baik ditinggalkan!” seru Dalila penuh emosi.
Sementara Winter sendiri memilih untuk berbaring di dekat kaki Dalila. Ia hanya menatap Dalila dengan malas. Sepertinya, semangat Dalila malam ini terlalu meluap-luap. Gadis itu terlihat sangat semangat dan antusias, hingga tidak sadar minum anggur terlalu banyak. Dalila kini sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Dan mulai meracau tidak jelas.
“Winter, aku belum pernah merasa selepas ini sebelumnya. Setelah kepergian Ayah, aku tidak bisa merasa senang. Rasanya hari demi hari hanya membuatku tertekan. Tapi kini aku bahkan bisa makan dengan nyaman, menonton film romantis, bahkan mabuk. Kehadiranmu di sini membuatku tidak lagi merasa kesepian,” ucap Dalila sembari menatap Winter yang ternyata juga tengah menatapnya dengan netra keemasan yang terlihat begitu berkilau.
Dengan pipi kemerahan, dan rambut kecokelatan yang tergerai, Dalila terlihat begitu cantik. Hanya saja, netranya yang berwarna biru jernih, sudah terlihat begitu saya. Menandakan jika dirinya memang tengah mabuk berat. Ya, dia mabuk hanya karena beberapa gelas anggur yang ia nikmati. Padahal, anggur itu jelas memiliki kadar alkohol yang rendah. Dan kecil kemungkinan bisa membuat seseorang mabuk. Namun, pada dasarnya Dalila memang memiliki toleransi alkohol yang rendah.
Dalila jelas mengetahui hal itu. Namun, Dalila memang mau menikmati sensasi mabuk yang terasa menyenangkan. Apalagi hari ini suasana hati Dalila tengah sangat baik. Dalila pun tersenyum dan terkekeh sembari menatap Winter dengan lembut. “Hari ini terasa sangat menyenangkan,” gumam Dalila sebelum jatuh tertidur.
Winter tampaknya menatap Dalila dalam beberapa waktu, sebelum Winter pun mengambil wujud sebagai seorang pria tampan dengan rambut hitam dan netra keemasan yang memukau. Winter duduk di sisi Dalila yang tengah tidur, dan menarik Dalila agar bersandar pada bahunya. Ia pun mencium kening Dalila lembut sebelum berbisik, “Ya, hari ini cukup menyenangkan, jika aku mengenyampingkan kejadian di mana kau memandikanku. Sekarang, selamat tidur. Semoga kau mimpi indah.”