Mate

2119 Words
Dalila terlihat masih berpakaian rapi. Namun, ia terlihat tidak nyaman dan kembali merapikan jas formal yang menjadi seragam kerjanya sehari-hari. Sebagai seorang pengawal elit, Dalila dan rekan-rekannya memang diharuskan untuk mengenakan pakaian semacam ini saat bertugas. Dalila yang kini tengah dalam perjalanan menuju ruangan sang bos besar, kembali mengatur napasnya. Jujur saja, Dalila merasa sangat tidak nyaman saat berhadapan dengan bos besarnya itu. Selain tahu jika Nich—sang bos besar—memang berusaha untuk mendekatinya, ada hal lainnya yang sulit untuk dijelaskan oleh Dalila, dan mendorongnya untuk menjaga jarak dengan sang atasan. Namun, kali ini Dalila tidak menghindar untuk bertemu dengan bosnya itu. Karena ia sudah memanggilnya secara tegas untuk menemuinya. “Aku pulang duluan,” ucap teman kerja Dalila dan menepuk bahu gadis itu saat berpapasan di tengah jalan. Dalila mengangguk dan meminta temannya itu berhati-hati di jalan. Sebelum kembali melanjutkan langkahnya yang terasa sangat berat. Benar, ini sebenarnya sudah waktunya pulang. Dalila hari ini juga tidak memiliki jadwal untuk lembur. Hari indah yang rasanya akan sangat sempurna bila dirinya bisa pulang dan istirahat lebih awal. Sayangnya, panggilan dari bos besarnya tidak bisa ia hindari lagi. Setidaknya, Dalila akan menjadikan ini pertemuan pribadi mereka yang terakhir. Jika sampai Nich menyatakan perasaannya, Dalila tidak akan berpikir dua kali untuk menolaknya dengan tegas. Dalila hanya ingin menjalani hidup yang nyaman dan tenang. Termasuk dalam urusan pekerjaan. Padahal, ini hari pertama Dalila setelah libur karena cidera yang ia alami. Dalila semula berharap jika dirinya bisa melewati hari ini dengan lancar. Bisa pulang sesuai jadwal, dan beristirahat. Namun, sepertinya Nich sama sekali tidak bisa atau tidak ingin membuat Dalila merasa tenang barang sehari saja. Rasanya Dalila benar-benar jengkel terhadap pria satu itu. Tidak membutuhkan waktu lama, kini Dalila sampai di depan pintu ruang kerja sang bos. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, Dalila tidak membuang waktu untuk masuk. Kini, ia duduk di tempat yang dipersilakan oleh sang bos. Nich terlihat memasang senyum manis yang membuat Dalila merasa semakin tidak nyaman saja. “Jadi, ada masalah apa, Tuan?” tanya Dalila tanpa basa-basi. Karena Dalila ingin segera pulang, maka hal yang paling tepat adalah membuat pembicaraan ini segera selesai. Rasanya, bukan keputusan yang tepat bagi Dalila untuk berlama-lama berhadapan dengan Nich. Selain ia sendiri tidak nyaman, berbicara dengan Nich hanya akan membuatnya sakit kepala. Nich keras kepala dan sama sekali tidak akan mau mendengarkan apa yang ia katakan. “Aku rasa kau sudah mengerti apa yang ingin aku bicarakan Dalila. Aku bahkan bisa menyimpulkan jika kau selama ini menghindariku karena mengetahui perasaanku padamu,” ucap Nich tanpa basa-basi membuat Dalila terserang sakit kepala. Ternyata tebakannya memang benar. Dalila pun menjawab, “Ternyata, Tuan juga menyadari jika aku menghindarimu.” Dalila pun memilih untuk menanggalkan gaya bocara formalnnya. Karena ia rasa ini lebih cocok untuk pembicaraan kali ini. Dalila tidak boleh kalah dalam pembicaraan ini, dan membuat Nich sadar bahwa ia harus berhenti. Karena sampai kapan pun dirinya tidak akan membuka hatinya untuk Nich. Ucapan Dalila tersebut sukses membuat Nich tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan perkataan Dalila tersebut memang menghibur dirinya. Namun, tak lama tawa itu menghilang dan seketika digantikan oleh ekspresi mengerikan yang membuat Dalila merinding. Nich menatap Dalila dengan tajam, membuat bulu kuduk Dalila meremang begitu saja. Ia belum pernah berhadapan dengan Nich yang bersikap seperti ini. Selama ini, Nich yang selalu menyapa dan mendekatinya tidak memiliki kesan seperti itu. Nich selalu memiliki kesan yang menyenangkan dan hangat setiap mereka bertemu. Rasanya, bukan hanya Dalila yang akan memiliki penilaian seperti ini. Semua orang yang bekerja di perusahaan ini, atau setidaknya orang yang memang sudah bertemu dengan Nich, pasti akan memiliki penilaian yang sama. Lalu sedetik kemudian, Nich bersandar dengan santai. Ia menyilangkan kakinya sebelum berkata, “Semula aku tertarik padamu karena kau memang memiliki hal yang menarik. Rasanya aku tidak akan bosan jika menjadikanmu sebagai salah satu kekasihku. Sayangnya, ternyata kau menilai dirimu dengan terlalu berlebihan.” “Apa katamu?” tanya Dalila mulai terpantik emosinya karena tingkah Nich yang melewati batas. Padahal, selama ini Dalila berusaha bersabar berhadapan dengan Nich yang sebenarnya kelewat bebal. Namun, kini Nich memberikan penilaian, seakan-akan mengenal Dalila luar dalam. Selain itu, memangnya siapa yang ingin menjadi kekasihnya. Sejak awal Dalila bahkan menolaknya secara terang-terangan. “Kenapa? Kau tidak terima dengan perkataanku? Bukankah aku mengatakan hal yang benar? Kau hanyalah seorang pengawal, kau juga seorang anak dari pengawal yang sudah mati dengan menyedihkan,” ucap Nich sama sekali tidak terlihat malu untuk mengatakan hal-hal yang kasar semacam itu. Rasanya ini sangat konyol bagi Dalila. Bagi siapa pun yang melihat tingkah Nich saat ini pun pasti akan merasakan yang sama. Semua yang ditunjukan Nich selama ini ternyata hanyalah sandiwara yang memuakan. Dan inilah diri Nich yang sesungguhnya. Hanya sampah yang seharusnya tidak mendapatkan kedudukan penting di tengah masyarakat. Dalila mengepalkan kedua tangannya. Merasa murka ketika nama sang ayah dilibatkan dalam pembicaraan tersebut. Mendiang ayahnya adalah sosok yang sangat berharga bagi Dalila. Ia adalah sosok panutan yang membuat Dalila terjun dalam dunia jasa pengawalan ini. “Jaga kata-katamu, Tuan Nich yang terhormat? Atau aku bisa mematahkan semua gigimu dengan sekali pukulan. Ayahku adalah pengawal terhormat. Dia gugur ketika menjalankan tugasnya,” ucap Dalila memberikan peringatan tegas. Sayangnya, Nich yang mendengar peringatan itu malah tertawa mengejek dan berkata, “Mati terhormat? Gugur ketika bertugas? Konyol sekali!” “Tutup mulutmu!” maki Dalila sama sekali tidak bisa menahan gejolak emosinya. Namun sedetik kemudian, Dalila sudah merasa kesulitan bernapas. Karena entah sejak kapan, Nich sudah berada begitu dekat dengannya. Nich terlihat begitu mengerikan, dengan ekspresinya saat ini. Pria itu tengah memutus sambungan pernapasannya dengan cara mencekik leher Dalila yang jenjang dan putih mulus. Tentu saja Dalila berusaha untuk melepaskan diri. Dengan pengalamannya bertahun-tahun sebagai seorang atlet dan sekarang menjadi pengawal elit, Dalila segera menggunakan tekniknya untuk melepaskan diri. Dalila berhasil melepaskan diri dan melakukan serangan balik yang dengan mudah ditangkis oleh Nich. Dalila kini menjaga jarak yang cukup dengan Nich yang terlihat sangat mengerikan. Dalila mengetatkan rahangnya, menahan amarah. “Apa kau gila? Apa yang sebenarnya kau lakukan? Apa kau berencana untuk membunuhku?” tanya Dalila penuh kemarahan. Nich terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, “Ya, sepertinya aku ingin membunuhmu.” “Apa kau gila? Kau ingin membunuhku hanya karena aku menolak cintamu?” tanya Dalila lagi merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Anggap saja seperti itu,” ucap Nich sebelum kembali menyerang Dalila dengan membabi-buta. Meskipun Dalila adalah pengawal profesional dan seorang mantan atlet bela diri, tetapi melawan seorang pria yang juga ahli bela diri, terasa sulit. Selain itu, Nich memiliki kecepatan yang sangat tidak masuk akal bagi Dalila, gerakan dan serangannya tidak bisa diprediksi dan terlalu cepat. Dalila sangat kewalahan, tetapi masih bisa menghindari semua serangan fatal. Bahkan ia masih bisa melakukan serangan balik yang membuat Nich terpuku mundur. Sepertinya hal itu membuat Nich semakin bersemangat dan terhibur. Hingga ia pun berkata, “Wah, kau memang sangat menarik. Aku tidak menyangka jika Hayden memiliki putri yang unik sepertimu. Sayang sekali, dia mati sebelum melihat putrinya memiliki kemampuan ini.” “Kubilang jangan membahas ayahku lagi,” ucap Dalila sebelum melempar serangan pada Nich. Dalila benar-benar ingin memberikan pelajaran pada pria kurang ajar itu. Sayangnya, kali ini Dalila terlalu gegabah. Nich memanfaatkan hal itu dan menyerang Dalila dengan tepat, hingga membuat Dalila terpental dan menabrak dinding ruangan tersebut. Keributan di dalam sana sama sekali tidak mengundang kedatangan siapa pun. Mengingat semua orang sudah pulang, karena malam telah tiba. Malang bagi Dalila yang tidak bisa meminta pertolongan pada siapa pun. Karena pukulan yang ia terima tersebut, Dalila terlihat kesulitan untuk kembali berdiri. Melihat Dalila yang kesulitan membuat Nich menyeringai. “Ck. Kau mengingatkanku pada momen di mana ayahmu sekarat. Itu juga situasi yang terlihat menyenangkan bagiku,” ucap Nich membuat Dalila mengangkat pandangannya. “Apa maksudmu?” tanya Dalila dengan netra bergetar. Saat ini, Dalila tengah mengantisipasi sesuatu yang terasa sangat mengerikan baginya. Dalila, memikirkan sesuatu yang mengerikan, dan berharap jika apa yang ia pikirkan bukanlah hal yang sesungguhnya terjadi. Kini, sekujur tubuh Dalila kaku karena rasa ngeri yang menyerangnya. Tentu saja sekarang Dalila telah menyimpulkan sesuatu yang terasa sangat mengerikan berkaitan kematian mendiang ayahnya. Melihat ekspresi Dalila, Nich pun semakin terhibur. Ia terkekeh membuat Dalila susah payah bangkit dengan bertumpu pada dinding. “Kutanya apa maksudmu?!” teriak Dalila dengan napas terengah-engah. “Aku rasa, aku tidak perlu menyembunyikannya lagi,” ucap Nichl lalu sedetik kemudian, rambut pirang Nich berubah menjadi rambut hitam gelap. Warna netranya berubah menjadi merah darah. Terlihat bersinar di dalam ruangan kantor yang cukup gelap karena tidak semua lampu dinyalakan. Dalila yang melihat transformasi yang tidak masuk akal itu tentu saja tersentak. Nich di hadapannya terlihat sangat berbeda. Bukan hanya penampilannya, aura yang menguar darinya juga terasa sangat berbeda. Sebagai seorang pengawal, Dalila sudah sering kali berhadapan dengan orang-orang yang berbahaya. Saat ini, Dalila merasakan aura yang lebih mengerikan daripada berhadapan dengan pembunuh. Nich jelas bukan manusia biasa, dan aura membunuh yang ia miliki, jelas bukan pertanda baik bagi Dalila. “Kau—” “Ya, aku adalah makhluk yang kalian anggap sebagai makhluk mitologi yang hanya ada dalam kisah n****+ romansa atau buku dongeng. Aku, adalah vampir,” ucap Nich memotong perkataan Dalila sembari menyeringai mengerikan. Kini, sudah tidak ada lagi Nich yang penuh akan pesona. Tentu saja apa yang Nich katakan membuat Dalila merasa sangat terkejut. Ia memang sudah menebak bahwa Nich memanglah bukan manusia biasa. Namun mendengar pengakuannya secara langsung membuat Dalila tidak bisa menahan keterkejutannya. Nich lalu berkata, “Selamat, kau sudah mengetahui identitas yang sudah kusembunyikan. Karena itulah kau harus menyusul ayahmu. Mati, di tanganku.” “Jadi kau—” “Ya, ayahmu tidak mati karena bertugas. Ia mati di tanganku, karena tanpa sengaja sudah mengetahui identitasku sebagai seorang vampir. Jadi, lebih baik kau segera menyusul ayahmu, dan temani dia di neraka,” ucap Nich sembari menyeringai penuh ejek. Dalila yang mendengar hal itu merasa dadanya terasa begitu sesak. Kemarahan yang membara terasa membakar jantungnya. Hingga, netra Dalila yang sebelumnya berwarna biru jernih, tiba-tiba berubah warna. Salah satunya menjadi warna merah, dan satunya lagi berwarna keemasan. Nich pun tanpa sadar terbatuk darah, karena tiba-tiba merasakan tekanan yang begitu kuat. Nich sadar, jika tekanan tak terduga tersebut datang dari Dalila. Nich menyeringai saat menyadari sesuatu. Dalila ternyata juga bukan manusia biasa. “Ternyata kau lebih menarik daripada apa yang aku duga. Pantas saja selama ini aku tidak bisa membaca pikiranmu. Kau juga tidak terpengaruh akan pesona yang kumiliki. Lalu, aku pun mencium bau serigala darimu. Ternyata, kau menyimpan banyak hal yang menarik. Jika sudah seperti ini, bagaimana mungkin aku membiarkanmu pergi begitu saja," ucap Nich. Sebelum beberapa saat kemudian, Nich berniat untuk menyerang Dalila yang berdiri dengan tegap di tempatnya. Sayang sekali, niat Nich tidak berjalan dengan lancar. Karena tiba-tiba tubuhnya terlihat membeku. Sekuat apa pun kekuatan yang ia kerahkan, Nich sama sekali tidak bisa bergerak. Selain tidak bisa bergerak, saat ini Nich juga merasa seluruh organ dalamnya diremas dan dipelintir menyebabkan rasa sakit yang mengerikan. Dalila terlihat menatap kosong, tetapi ia melangkah dengan anggun menuju Nich. Langkahnya memang anggun, tetapi menyisakan aura yang membuat bulu kuduk meremang. Nich berulang kali berusaha untuk lepas dari tekanan yang mengerikan itu. Naun, Nich selalu saja gagal. Seakan-akan kekuatan yang dimiliki oleh Nich bukanlah tandingan Dalila. Jujur saja, setelah ratusan tahun masa hidupnya, Nich sama sekali belum pernah berhadapan dengan sosok yang memiliki kekuatan sedemikian rupa. Nich pun mulai berpikir, untuk memangsa Dalila. Ia masih belum sadar, jika bukan Dalila yang akan menjadi mangsa, tetapi dirinya sendiri yang akan menjadi mangsa dari keserakahan dirinya. Dalila berdiri tepat di hadapan Nich dan berkata, “Kau makhluk yang bahkan tidak akan diterima oleh bumi.” Setelah mengatakan hal tersebut, Dalila mengulurkan tangannya dan menyentik kening Nich dengan jemari lentiknya. Namun, sentilan yang terlihat tidak terlalu kuat tersebut, terlihat sangat menyakitkan, hingga membuat Nich terpental. Saat itulah Nich bisa lepas dari tekanan yang membuat tubuhnya tak bisa bergerak. Sayangnya, begitu dirinya akan menyerang Dalila, gadis satu itu sudah berdiri di belakangnya dan menyerang Nich. Serangan Dalila sangat vatal, hingga tidak ada kemungkinan bagi Nich untuk menyelamatkan diri. Nich dengan d**a yang terlihat mengucurkan darah, tumbang begitu saja tanpa daya. Dalila menatap Nich dalam diam. Sorot matanya terlihat sangat dingin. Sesaat kemudian, warna matanya kembali berubah normal menjadi biru jernih. Lalu Dalila pun kehilangan kesadaran dan hampir tersungkur. Untungnya, seekor anjing hitam muncul entah dari mana dan menahan tubuh Dalila yang hampir membentur lantai. Namun, anjing itu memiliki ukuran tubuh tiga kali dari ukuran tubuh anjing biasa. Sepertinya, ia lebih c**k disebut sebagai seekor seriga. Dengan bulu hitam, dan netra keemasannya, ia benar-benar terlihat seperti seorang predator yang siap menyantap siapa pun yang menjadi targetnya. Seriga berbulu hitam itu pun mengendusi Dalila yang tampak pucat pasi. Lalu tiba-tiba serigala itu bersuara, “Aku menemukanmu, Mate.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD