Dalila terlihat terus mengernyitkan keningnya. Jika ini terus berlanjut, mungkin saja akan membuat Dalila memiliki kerutan di wajahnya terlalu awal karena tingkahnya. Untuk saat ini, Dalila sama sekali tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal itu. Karena ada hal penting dan rumit yang lebih untuk dipikirkan. Atau lebih tepatnya, saat ini saja Dalila tengah memikirkan masalah yang rumit tersebut.
Tentu saja hal tersebut berkaitan dengan Dalila yang dinyatakan bukanlah seorang manusia. Atau lebih tepatnya adalah makhluk yang tercipta karena penyatuan antara dua kaum yang berbeda. Menurut penjelasan yang didengarnya, Dalila mengetahui jika dirinya disebut sebagai anak campuran. Eksistensi langka, atau mungkin bisa disebut sebagai satu-satunya di dunia. Karena menurut mereka semua, percampuran antara dua kaum yang berbeda adalah hal yang sangat mustahil.
Dalila tentu saja merasa itu sangat tidak masuk akal. Rasanya, sampai kapan pun Dalila tidak bisa menerima hal tersebut. Ia tumbuh dengan pemikiran bahwa dirinya adalah seorang manusia. Dalila bahkan menjalani kehidupan normal tanpa ada satu pun kejanggalan yang membuatnya merasa jika dirinya bukanlah seorang manusia. Meskipun kini Dalila sudah melihat berbagai bukti, tetapi dirinya masih belum bisa menerimanya. Benar-benar belum bisa menerimanya.
Lebih dari itu, Dalila masih kesulitan menerima fakta bahwa dirinya bukanlah putri kandung dari ayahnya. Hal inilah yang paling tidak bisa Dalila terima. Padahal, dalam ingatan Dalila, sang ayah adalah orang tua terbaik yang ia miliki. Sejak kecil, Dalila memang tidak memiliki sosok ibu. Ia hanya memiliki Fion sebagai orang tua. Namun, Dalila tidak pernah merasakan kurangnya kasih sayang.
Fion sanggup berperan sebagai seorang ayah sekaligus sebagai seorang ibu. Fion membimbing Dalila dengan baik. Hingga Dalila tumbuh menjadi seorang gadis yang tangguh. Hingga sepeninggal Fion pun, Dalila bisa menjalani kehidupan dengan baik, walaupun sempat kehilangan arah karena kematian ayahnya. Dalila bahkan menjalani kehidupannya dengan ingatan semua nasihat dan kasih sayang sang ayah yang membekas dalam hatinya.
Namun, kini Dalila tertampar dengan kenyataan jika dirinya harus menerima fakta bahwa sosok yang selama ini ia anggap sebagai ayahnya, ternyata bukanlah orang tua kandungnya. Siapa pun tentu saja akan kesulitan untuk menerima hal seperti ini. Apalagi kini Dalila mengalami berbagai hal yang sulit dalam waktu bersamaan. Dalila menghela napas kasar. “Apa kalian berharap aku bisa menerima semua ini dengan senang hati, maka kalian gila! Kalian benar-benar gila, dan selanjutnya mungkin aku yang akan gila!” seru Dalila.
Benar, Dalila berseru sekuat tenaga, tanpa takut dirinya mengganggu orang lain. Saat ini, Dalila berada di dalam kamar yang semula Dalila tempati. Lebih tepatnya, kini Dalila tengah dikurung di sana. Meskipun ini adalah kamar yang luas, mewah, dan bahkan lebih besar dari rumahnya, Dalila sama sekali tidak merasa nyaman. Ia ingin segera kembali ke rumah, dan melupakan semua hal yang sudah terjadi. Dimulai dari kematian Nich, hingga fakta bahwa dirinya adalah seorang makhluk immortal. Dalila ingin kembali hidup normal, dengan ingatan sempurna akan kehangatan kasih sayang sang ayah.
“Terkutuklah kalian! Aku membenci kalian!” seru Dalila terus melanjutkan seruan kemarahan. Ia bahkan mulai memaki.
Dalila lalu mengernyitkan keningnya, saat dirinya mengingat suatu hal. Karena ia sering menonton film dan membaca n****+, ia setidaknya mengetahui satu atau dua hal mengenai makhluk immortal khususnya untuk manusia serigala dan vampire yang memang paling sering dikisahkan. “Mereka memiliki indra pendengaran yang sangat tajam dan sensitif,” gumam Dalila. Sadar akan hal itu, Dalila pun menyeringai.
Semenjak pulang dari pertemuan dengan para pemimpin asosiasi kaum immortal, Max tidak menemui Dalila. Ia malah memilih untuk mengurung Dalila dan menolak untuk mendengarkan apa yang diminta olehnya. Dalila memang terus meminta untuk dikembalikan ke dunia manusia, dan hidup normal seperti sebelumnya. Tentu saja Max tidak akan menurutinya, karena sesuai kesepakatan, Dalila akan tetap tinggal di sana sebab semua pemimpin dan tetua kaum mengakui jika Dalila adalah anak campuran serta pasangan dari Max.
“Kau b******n m***m!” seru Dalila mulai melancarkan rencananya. Dalila ingin Max menemuinya, tentu saja Dalila ingin Max mendengarkan apa yang ia katakan. Setidaknya, Max bisa menemuinya karena tidak akan tahan dengan makian yang ia dengar.
Dalila memang tidak tahu di mana saat ini Max berada tepatnya. Namun, Dalila yakin jika Max tidak berada di luar kediaman mewahnya ini. Tentu saja jika Max masih ada di sini, sudah dipastikan jika dirinya nanti akan mendengar teriakannya, dan mungkin akan muak mendengarkan teriakan dan makiannya. Jika pun Max tidak ada, pasti ada orang yang mendengarnya. Lalu mengadukannya pada Max. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi, dan Dalila setidaknya harus berusaha untuk membuka peluang.
“Kau b******n, setelah menipuku, sekarang kau juga mengurungku di sini?!” teriak Dalila. Suara Dalila terdengar begitu jernih. Namun, tentu saja tidak ada sahutan atau respons apa pun.
“Setidaknya kau harus bayar semua makanan yang sudah kau makan saat menumpang di rumahku. Kau bahkan dengan tidak tahu malu terus meminta makan daging untuk makan. Padahal, kau sendiri memiliki harta sebanyak ini. Dasar pelit!” Dalila terus saja meneriakan berbagai hal yang ia pikirkan, hingga suaranya bergema di ruangan kamarnya tersebut.
Sebenarnya, bukan hanya di dalam kamarnya. Suara Dalila terdengar ke seluruh sudut kediaman mewah tersebut. Semua orang bisa mendengar apa yang ia teriakan dengan penuh kemarahan. Bahkan para omega atau para anggota klan manusia serigala, yang berstatus sebagai pelayan atau pekerja rendahan di kediaman tersebut, merasa agak gugup dengan semua makian yang dilemparkan oleh calon Luna mereka tersebut. Mereka juga merasa agak terkejut. Karena tidak menyangka bahwa Dalila bisa melemparkan makian yang rasanya tidak terlalu cocok dengan penampilannya.
“Kau juga m***m. Memangnya siapa yang mau menikah dengan pria m***m sepertimu? Selain menipuku dengan pura-pura menjadi seekor anjing, kau bahkan bersikap tidak tahu malu dengan memandangiku saat tidak memakai baju atau berganti pakaian. Betapa tidak tahu malunya!” seru Dalila lagi membuat pelipis Max berkedut.
Sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Dalila sebelumnya, apa yang ia teriakan memang sampai hingga telinga Max. Pria itu memang tengah mengerjakan tugas administrasi dengan ditemani oleh Dante—bawahan setia Max yang berstatus sebagai Beta—yang menunjukan beberapa berkas yang perlu diulas lebih dahulu. Dante tentu saja mendengar apa yang diteriakan oleh Dalila, dan berusaha untuk tidak terkekeh. Ternyata Dalila memang gadis yang sangat tangguh. Ia bahkan tidak merasakan takut sedikit pun dan malah sengaja memprovokasi, walaupun tahu jika situasi saat ini tidak nyaman baginya.
“Apa Tuan akan tetap menahan diri?” tanya Dante.
“Memangnya, kau berharap aku melakukan apa?” tanya balik Max sembari membubuhkan tanda tangan pada sebuah berkas.
Max memanglah pemimpin kaum manusia serigala, dan menjadi salah satu calon tetua yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Namun, kesibukan Max tidak hanya mengurus kaumnya. Ia juga memiliki sedikit banyak usaha di dunia manusia, dan usahanya cukup berpengaruh. Usaha tersebut sudah dilakukan secara turun temurun oleh keluarganya, jadi Max tidak memiliki pilihan lain untuk melanjutkannya.
Max mengernyitkan keningnya. karena terus mendengar teriakan dan makian Dalila. Apalagi sekarang Dalila mulai mencela tingkah Max ketika dirinya masih mengambil wujud sebagai seorang anjing dan tinggal sebagai Winter di sisi Dalila. Merasa jika tingkah Dalila sudah kelewatan, Max pun menghela napas. Ia sadar, jika tidak ada yang bisa melawan tingkah keras kepala gadis satu itu. Pada akhirnya Max menghela napas dan berkata, “Bawahan kristal memori yang sudah dikirim Tyska.”
Mendengar hal itu Dante terkejut. “Apa Tuan akan memeberikan kristal memori itu pada Nona Dalila?” tanya Dante.
“Tidak. Mana mungkin aku memberikannya begitu saja?” Max menyeringai, saat memikirkan sesuatu yang terasa menyenangkan untuk menggoda Dalila.
Karena Dalila sudah mengusik konsenstrasinya, dan membuat Max tidak bisa bekerja dengan fokus, maka Dalila harus membayar hal yang telah ia lakukan ini. Dante sendiri tidak membuang waktu untuk segera membawakan kristal memori yang disebutkan oleh Max sebelumnya. Setelah menerima kristal memori tersebut, Max pun segera berkata, “Jika tidak ada hal yang mendesak, jangan ganggu waktuku dengan Dalila.”
Tentu saja Dante menyanggupi perintah tersebut sementara Max segera beranjak menuju kamar di mana Dalila tengah berada. Kamua itu berada tepat di hadapan kamar yang memang ditempati oleh Max. Bangunan di mana Max dan Dalila tinggal, adalah bangunan yang terpisah dengan bangunan di mana para bawahan tinggal serta aktifitas umum di lakukan. Bahkan, ruang kerja utama Max berada di bangunan yang terpisah. Seakan-akan ingin memastikan jika bangunan di mana dirinya dan istrinya tinggal, akan menjadi tempat yang sangat nyaman untuk mereka tinggali nantinya.
Selama perjalanan menuju bangunan di mana Dalila tinggal, Max berpapasan dengan begitu banyak bawahan yang memberikan hormat padanya. Max hanya memberikan respons singkat atas semua hal tersebut dan melanjutkan perjalanannya yang sebenarnya tidak terlalu panjang. Tidak membutuhkan waktu lama, kini Max tiba di kamar Dalila. Max tidak memerlukan kunci apa pun untuk membuka pintu kamar Dalila, karena pintu tersebut memang dikunci dengan pola sihir, bukannya menggunakan kunci biasa.
Dalila pun menatap Max dengan tajam, sementara Max masih bersikap tenang. Max duduk di sofa dan berkata, “Hentikan semua makian dan teriakanmu itu, Dalila. Kau mengganggu semua orang.”
Namun, Dlaila malah mengangkat dagunya dengan arogan dan menjawab, “Itu memang hal yang aku inginkan.”
“Kalau begitu, lanjutkan. Lanjutkan makianmu untukku, dan tidak akan pernah aku tunjukan apa yang membuatmu merasa penasaran, Dalila,” ucap Max sembari menunjukan kristal memori yang terlihat berkilau di tangan Max.
Dalila tentu saja tidak mengetahui apa yang dibicarakan oleh Max dan mengernyitkan keningnya saat melihat kristal tersebut. “Apa itu?” tanya Dalila.
Max menahan diri untuk tidak tersenyum saat melihat rona penasaran pada wajah cantik Dalila. Jika diam seperti ini, siapa pun pasti tidak akan percaya jika Dalila tanpa ragu bisa melemparkan makian yang rasanya tidak cocok untuk gadis cantik sepertinya. Max pun menjawab, “Ini adalah kristal memori mengenai ingatanmu tentang masa lalu. Ingatan yang bahkan tidak kau ingat, dan terekam oleh energi sihir yang tersebar di alam. Tyska yang sudah berupaya untuk mengumpulkannya, dan apa yang terekam di dalam kristal ini, bisa menjawab semua keraguanmu. Entah itu tentang masa lalu, maupun untuk masa kini. Ini akan membuktikan jika kau memang bukanlah seorang manusia.”
Mendengar hal itu, Dalila pun segera berkata, “Kalau begitu, tunjukan apa yang terekam di dalam kristal itu.”
Dalila tahu jika mungkin ini adalah hal yang berisiko. Mungkin saja apa yang dikatakan oleh Max memang benar. Namun, Dalila rasa jika dirinya perlu kejelasan. Ia ingin mengetahui hal yang sejelas-jelasnya, daripada terjebak dalam keraguan dan kegelisahan yang menyiksa dirinya setiap waktu. Dengan tatapan matanya, Dalila mendesak Max untuk segera membuka kristal memori itu. Dalila ingin tahu, kenangan seperti apa yang terekam di sana.
Max menarik tangannya dan berkata, “Tentu saja tidak akan semudah itu. Kau harus membayar jika ingin melihat memori dalam kristal ini.”
Mendenga hal itu, Dalila pun tidak bisa menahan diri untuk mencela Max. “Dasar tidak tahu diri. Kau bahkan tidak membayar sepeser pun atas makanan yang kau makan di rumahku. Sekarang kau berani mengatakan hal ini padaku? Betapa tidak tahu malunya!” seru Dalila.
Max mengendikan bahunya. Ia menyangga salah satu dagunya dan menatap Dalila seakan-akan gadis itu adalah tontonan yang terlihat sangat menarik. “Mungkin saja, itu adalah salah satu bakatku dari lahir,” ucap Max benar-benar tidak tahu malu. Membuat Dalila melemparkan bantal sofa tepat pada wajah Max. Namun, tentu saja Max bisa menghindari serangan tersebut.
Max menyeringai lalu berkata, “Baik, sekarang mari kita bicarakan bayaran seperti apa yang aku inginkan.”