Dalila mengenakan celemeknya dengan bibir komat-kamit, mengutuk Max dengan penuh kebencian. Ternyata Max benar-benar pria yang sangat menyebalkan. Seakan-akan belum cukup semua yang sudah Max lakukan sebelumnya, kini Max masih berusaha untuk mempermainkannya. Rasanya, Dalila ingin memukulnya untuk sekali saja. Namun, Dalila sadar jika itu adalah hal yang percuma. Selain karena perbedaan kekuatan mereka yang sangat besar, Dalila juga merasa jika dirinya hanya akan membuang energi yang ia punya.
Tanpa berlama-lama, setelah mencuci tangan, Dalila pun memulai acara memasaknya. Benar, kini Dalila memasak. Tentu saja Dalila bukannya kurang pekerjaan dan memilih untuk memasak. Semua ini terjadi karena Max yang memerintahkannya. Jika Dalila ingin melihat rekaman yang mengisi kristal memori, maka Dalila harus mau menuruti persyaratan yang diberikan oleh Max. Ternyata, persyaratan yang Max ajukan adalah Dalila harus memasak untuk makan malam.
Max meminta Dalila membuat olahan daging yang biasanya Dalila masak. Rupanya, diam-diam Max sudah kecanduan dengan masakan Dalila yang memang sangat cocok dengan lidahnya. Sebelumnya, Max sudah meminta bawahannya untuk memasak itu. Namun, koki terbaik di kediamannya ini sama sekali tidak bisa meniru masakan yang dibuat oleh Daila. Entah memang karena resep itu dibuat oleh Dalila, atau memang kemampuan koki kediamannya yang sama sekali tidak bisa dipercaya.
Kini, Max duduk di meja makan yang menghadap langsung area dapur sembari menyesap kopi yang sebelumnya dipersiapkan oleh Dante. Karena ini adalah bangunan di mana Alpha dan Luna akan tinggal, tentu saja orang-orang yang bisa mengaksesnya hanyalah orang yang terpilih. Bangunan ini bisa terbilang jantung dari kaum manusia serigala. Jadi, semuanya serba dijaga dengan ketat.
Biasanya jika waktu makan malam akan segera tiba seperti saat ini, para pelayan sudah berdatangan untuk membawa santapan untuk Max. Namun, kali ini berbeda. Karena Max sudah meminta Dalila untuk memasak, ruangan ini bahkan terasa sangat sepi daripada biasanya. Hal wajar mengingat hanya ada Dalila dan Max di sana. Sementara para omega yang bertugas sebagai pengawal berjaga di luar kediaman, sebagai lapisan pertahanan bagi kediaman orang yang paling penting tersebut.
Tidak ada pembicaraan apa pun antara Dalila dan Max. Jika Dalila sibuk dengan masakannya, dan tidak memiliki waktu untuk sekali pun melempar makian terhadap Max, maka Max disibukan oleh hal yang lain. Sama seperti saat dirinya menjadi Winter, Max sibuk dengan acaranya mengamati gerak dan gerik Dalila. Seakan-akan apa yang dilakukan oleh gadis itu sangat menarik hingga tidak bisa membuat Max mengalihkan pandangannya. Rasanya, waktu berjalan dengan sangat cepat jika Max memperhatikan gadis itu.
Tahu-tahu, kini Dalila sudah selesai dengan masakannya dan menyajikan makanan tersebut untuk Max yang masih menunggu dengan tenang di kursinya. Max menatap piring makan malamnya, dan menahan diri untuk tidak terlihat seperti orang yang kelaparan. Dalila sendiri segera duduk di kursi yang memang tersedia di sana. Untungnya, meja makan tersebut berukuran besar dan panjang. Jadi, Dalila bisa memilih tempat yang paling nyaman baginya.
Dalila pun duduk di kursi yang tidah terlalu dekat, maupun tidak terlalu jauh dari Max. Tentu saja untuk memastikan jika dirinya bisa menjaga jarak dengan Max, tetapi pembicaraan mereka nanti masih bisa berjalan dengan lancar karena Dalila harus memastikan jika ia bisa mendengar jawaban Max dengan benar. “Kenapa kau malah memerintahkan aku untuk memasak? Bukankah kau memiliki begitu banyak pekerja yang bisa kau perintahkan? Pasti di antara mereka ada salah satu yang memiliki kemampuan memasak yang baik,” ucap Dalila mulai mengkritik permintaan Max yang memintanya untuk memasak.
Max membersihkan alat makannya. Dalila melihat hal itu dengan kening mengernyit. Ia pun sadar dari mana asal sifat Winter yang sangat pemilih. Ternyata Max benar-benar sangat pemilh dalam berbagai hal. Max pun menjawab pertanyaan Dalila dengan tenang, “Untuk apa aku memanggil mereka, sementara kau ada di sini. Tentu saja aku harus memanfaatkan kemampuanmu dengan sebaik mungkin.”
Dalila yang mendengar hal tersebut tentu saja merasa jengkel. Ia bahkan memotong-motong daging yang akan menjadi makan malamnya dengan penuh kemarahan. Tentu saja Max menyadari hal tersebut. Namun, Max sama sekali tidak mengatakan apa pun dan memilih untuk menikmati masakan buatan Dalila yang memang sudah sangat ia sukai itu. Rasanya, jika bisa Max ingin menyantap makanan lezat ini setiap saat. Hanya saja, Max yakin jika Dalila tidak akan mau secara suka rela untuk memasakannya makanan yang diminta oleh Max seperti ini. Mungkin, Max harus memikirkan berbagai alasan baru untuk meminta Dalila membuat masakanan lezat ini.
Dalila yang mendengar alasan Max tentu saja merasa semakin jengkel pada pria itu. Bagi Dalila, wajah Max yang luar biasa tampan itu sama sekali tidak menolong sikap menyebalkan Max. Rasanya, tampilan Max yang sebelumnya memiliki nilai sempurna karena tampilannya, kini memiliki nilai nol besar karena sikapnya itu. “Dasar tidak berperasaan. Aku benar-benar tidak beruntung bertemu denganmu di kehidupan ini. Selanjutnya, aku sama sekali tidak mau melakukan hal ini lagi,” ucap Dalila jengkel sembari menggigit makan malamnya dengan penuh nafsu.
Max yang mendengar hal itu tentu saja mengernyitkan keningnya. Tentu saja Max merasa tidak senang dengan hanya membayangkan bahwa dirinya tidak bisa makan masakan Dalila lagi. Padahal, saat ini Max merasa sangat senang karena lidahnya kembali dimanjakan oleh rasa lezat yang membasuh lidahnya. Hanya makanan buatan Dalila yang bisa membuatnya berselera. Seakan-akan, lidah dan indra Max lainnya benar-benar sudah tumpul untuk makanan selain masakan buatan Dalila. “Tentu saja kau harus memasaknya, jika aku meminta hal tersebut,” ucap Max.
“Kau benar-benar!” Dalila kehabisan kata-kata untuk menghadapi Max yang bertindak sesukanya itu. Dalila pun kembali melanjutkan makan malamnya. Tentu saja hal itu membuat Max menyerai dengan ekspresi yang agak menjengkelkan. Namun, sebenarnya saat ini Max tengah merasa gelisah akan sesuatu. Ia gelisah dengan isi kristal memori yang akan ia tunjukan pada Dalila. Max cemas, dengan apa yan terjadi pada diri Dalila nantinya.
**
Kini Dalila dan Max tengah berada di dalam ruang kerja Max yang berada di gedung utama tempat tinggal Alpha dan Luna. Max meletakan kristal memori di tengah meja ruang kerjanya. Ia pun duduk di samping Dalila dan bertanya, “Apakah kau sudah siap?”
Pertanyaan yang rasanya tidak berlebihan ia ajukan, ketika melihat Dalila yang memang terlihat gugup. Mungkin, Dalila memanglah sosok gadis yang tangguh. Ia memesona dengan ketangguhan yang ia miliki tersebut. Namun, di sisi lain Dalila adalah gadis biasa. Memiliki hati yang lembut dan rapuh. Max yang sebenarnya sudah tahu isi dari kristal memori ini sebenarnya sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya saja, Max pikir ini memang keputusan yang tepat baginya untuk menunjukan isi kristal memori pada Dalila. Karena semuanya harus terungkap sebelum semuanya terlambat dan semakin rumit.
Dalila menghela napas sebelum mengangguk. “Aku sudah siap,” jawab Dalila sama sekali tidak menoleh pada Max dan hanya menatap kristal memori yang tergeletak di tengah meja.
Max yang mendengar jawaban itu pun menjentikan tangannya dan seketika penerangan utama dalam ruangan kerja tersebut padam. Menyisakan beberapa penerangan kecil yang membuat ruangan tersebut menjadi remang-remang. Max mengulurkan tangannya ke atas kristal memori tersebut. Dengan lembut dan khidmat, Max pun mulai merapalkan mantra yang tentu saja terasa sangat asing di telinga Dalila. Namun, Dalila hanya fokus pada kristal tersebut.
Lalu tak lama, muncul cahaya dari kristal memori tersebut, dan tak lama cahaya itu membentuk sebuah hologram yang menunjukan memori atau kenangan yang terekam di dalamnya. Barulah Dalila mengerti jika kristal memori tersebut mengusung sistem selayaknya proyektor modern. Namun, benda ini tidak membutuhkan listrik untuk penggunaannya, melainkan membutuhkan sebuah energi sihir dan mantra yang mengaktifkannya. Dalila pun meninggalkan pemikiran tersebut dan menatap apa yang tengah ditunjukkan oleh kristal memori.
Terlihat pasangan bertudung berlari dengan kecepatan yang terasa sangat tidak masuk akal bagi manusia normal. Namun, kecepatan itu adalah kecepatan yang sangat wajar bagi kaum immortal. Pasangan itu terus berlari, dengan salah satu dari mereka seperti tengah membawa sesuatu yang ringkih dalam pelukannya. Sementara orang yang satunya terlihat memastikan jika di belakang mereka tidak ada yang mengikuti. Benar, mereka memang tengah dikejar-kejar. Nyawa mereka tengah berada dalam bahaya.
Mereka yang sebelumnya berlari di tengah hutan, kini berhasil ke luar dari perbatasan dan mulai memasuki desa. Namun, mereka masih belum menghentikan kaki mereka. Dengan lincahnya, mereka melompat ke atas atap bangunan dan mulai berlari dari atap kea tapi bangunan tanpa takut sedikit pun. Tentu saja mereka melakukan hal yang sudah biasa mereka lakukan. Lalu sosok bertudung yang memeluk sesuatu di depan dadanya bertanya, “Sayang, apa mereka masih mengejar kita?”
Orang yang sebelumnya bertugas untuk memeriksa keadaan menjawab, “Ya, masih. Tapi mereka tertinggal cukup jauh. Meskipun begitu, kita tetap tidak boleh lengah. Kita harus melakukan apa yang kita rencanakan sebelumnya.”
Tak lama, mereka pun tiba di persimpangan jalan. Mereka berhenti sejenak. Keduanya pun membuka tudung mereka, dan seketika terlihat pasangan kekasih yang terlihat memiliki wajah yang begiutu rupawan. Jika sang perempuan memiliki rambut sekelam malam dengan netra merah yang berkilau, maka sang pria memiliki rambut pirang dengan netra biru yang jernih. “Kita berpisah di sini, dan kita akan bertemu di tempat yang sebelumnya sudah kita diskusikan,” ucap sang pria lalu mengecup kening istrinya.
Setelah itu, keduany berpencar. Sang perempuan kembali berlari menuju arah kiri. Ia berlari sekitar tiga puluh menit, sebelum mendarah di hadapan sebuah bangunan yang cukup besar, tetapi sudah cukup tua. Ia lalu merenggangkan pelukannya, dan terlihatlah seorang bayi cantik dengan rambut hitam yang sama dengan sang ibu. Perempuan itu menggigit ibu jarinya hingga terluka dan menempelkannya pada kening buah hatinya. “Dalila, sayangku. Jadilah anak baik, tunggu Mama dan Papa di sini. Kami akan segera menjemputmu setelah situasi membaik,” ucapnya sebelum merapal mantra yang membuat darah yang sebelumnya tertoreh pada Dalila kecil mengering.
Begitu darah itu benar-benar kering, rambut Dalila yang sebelumnya berwarna hitam berubah menjadi berhwarna cokelat yang indah. Si perempuan itu pun mengecup Dalila kecil dengan penuh kasih sayang. Tentu saja sebagai seorang ibu, ia tidak rela meninggalkan putrinya begitu saja dalam pengasuhan orang lain, walaupun sebenarnya ia tahu jika panti asuhan ini dikelola oleh orang-orang yang memang benar memiliki kasih sayang yang begitu besar untuk para anak panti. “Sayang, percayalah Mama dan Papa sangat mencintaimu. Kami melakukan hal ini bukan karena membencimu dan ingin membuangmu. Kami melakukan ini agar kau terlindungi. Kami akan menjemputmu, setelah kami tidak lagi dikejar-kejar oleh mereka,” bisik perempuan itu lalu kembali mengecup Dalila sebagai salam perpisahan.
Perempuan itu meletakan Dalila di depan pintu panti, lalu mengetuk pintu panti sebelum melarikan diri begitu saja setelah memastikan jika pengasuh panti sudah membawa Dalila ke dalam untuk diberikan perawatan. Sayangnya, kedua orang tua Dalila tidak pernah bisa kembali untuk menepati janji mereka. Karena keduanya gugur dalam perburuan yang begitu mengerikan. Kisah pun beralih pada sosok Fion Luz yang masih berusia tiga puluh tahun awal mendatangi panti asuhan sepeninggal istri dan calon anaknya. Fion yang patah hati karena istrinya meninggal pada akhirnya memilih untuk mengadopsi Dalila. Ia pun merawat Dalila dengan baik, dengan berperan sebagai seorang ayah sekaligus seorang ibu untuk Dalila.
Semua kenangan yang terekam di dalam kristal memori membuat Dalila tidak bisa menahan air mata yang menetes membasahi pipinya. Dalila pada akhirnya mengetahui kebenaran mengenai identitasnya. Ternyata dirinya memanglah seorang kaum immortal. Ia putri yang terlahir dari ibu vampire, dan ayah seorang kaum manusia serigala. Eksistensi Dalila ini disebut sebagai anak campuran yang dikejar dan diburu oleh para kaum pembelot yang menjadi musuh bagi kaum immortal yang patuh akan perintah Sang Pencipta.
Lebih dari itu, Dalila merasa hatinya terasa begitu sesak oleh sesuatu yang tidak Dalila mengerti. Ia tahu, jika Fion memiliki kasih sayang yang begitu besar padanya. Dalila selama ini tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Namun, Dalila sadar jika tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang orang tua kandungnya. Dalila pun menangis tanpa suara di samping Max yang juga ikut melihat rekaman dari kristal memori tersebut. Awalnya, Max membiarkan Dalila untuk mengeluarkan isak tangisnya. Namun, pada akhirnya Max pun tidak tahan melihat Dalila yang tersiksa seperti itu.
Pada akhirnya, Max pun menarik Dalila ke dalam pelukan hangatnya. Dalila secara alami bersandar dalam pelukan Max yang terasa penuh akan perlindungan. “Tenanglah Dalila. Sekarang kau tidak lagi sendirian. Ada aku, yang akan selalu berada di sisimu,” bisik Max sebelum mengecup kening Dalila yang masih saja menangis pilu akan kenyataan pahit yang sudah ia ketahui.