5. Pernikahan

2096 Words
Cahaya yang tersambung dari atas sana menjadi sebuah tanda, kilatan oranye matahari menyinari wajah dengan tatanan rias natural. Sangat cantik. Mata yang sayu, bibir tipis dari bentuk wajah oval itu sempat menghapus air matanya. Dia belum sempat membicarakan ini dengan sang kekasih yang masih di luar negeri, hingga hari membawa diri untuk segera melangsungkan pernikahan. Gaun yang sempat membuatnya terpana kini telah menghiasi tubuh, Gisha memegang erat buket bunga di tangan ketika Cici berusaha mengenakan mahkota kecil asli terbuat dari permata biru. Sangat indah, Gisha tahu ini semua bisa membawanya ke tempat paling dihormati orang. Tetapi bukan itu, dia merasa hancur berada di antara ikatan tanpa cinta. "Mbak Gisha cantik banget deh," Cici melihat apalah rambut yang digulung habis itu rapi atau tidak. "Kalah Adhisti itu." Adhisti? Gisha tahu siapa perempuan yang dimaksud Cici. "Kamu tau nggak ke mana mantan istrinya Mas Xander sekarang?" "Ke Australia, dia ninggalin anaknya yang masih kecil Mbak. Tapi untung Tuan muda itu sayang banget sama Ibel." jawab Cici atas apa yang dia tahu. "Tapi… Kenapa Ibel harus disembunyikan dari publik? Mas Xander itu kelainan atau gimana sih?" Gisha masih saja tidak terima atas semua ini. "Lah, jadi… Mbak nggak…," Ucapan Cici terhenti saat anak buahnya membuka pintu ruangan yang disewa sebagai kamar Gisha, wanita itu memberikan secarik kertas untuknya. Kemudian Cici menarik napas sambil mengangguk, tanpa dia mengungkap hal itu di depan Gisha. "Mbak, udah siap? Semua tamu pada nunggu di luar!" "Iya." jawab Gisha lemah. Sebuah rencana gagal karena Gisha tidak menginginkan sebuah pernikahan di luar negeri, dia memikirkan kesehatan sang Ayah yang tidak memungkinkan untuk hadir. Tetapi dengan memilih tempat di sekitar Jakarta membuatnya bisa membawa keluarga, juga rekan dekat saja. Suara musik begitu indah melantunkan nada yang gemulai, langkah itu perlahan disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan Paman Gisha. "Hai, kamu cantik banget Nak." "Paman," Gisha hampir menangis ketika melihat Ayahnya tersenyum manis di sana. "Terima kasih udah mau datang, jauh-jauh dari Surabaya." "Nggak apa-apa, demi kamu apa aja Paman lakukan kok." Selalu saja ucapan itu membuat Gisha tersenyum, dia terus melangkah ke arah di mana para tamu berdiri menyambutnya. Dekorasi indah tertata rapi di sana, dekat dengan taman kota yang sudah disewa penuh oleh keluarga Ivanska selama 2 hari. Tema pernikahan yang telah disiapkan pula oleh Nathan, dan atas persetujuan Xander juga Gisha. Dia, menatap ke arah lain kemudian Gio langsung menyenggol lengan Xander saat Gisha berada tepat di belakangnya. "Bro, bawa Adhisti kedua mu naik!" Xander malas meladeni adiknya, dia hanya menoleh kemudian mengulurkan tangan untuk menggapai jemari Gisha. Mereka berjalan saling berpegangan, tanpa sedikit pun Xander menatap ke arah pengantinnya. Dia masih teringat akan pesta beberapa tahun silam, di mana itu merupakan hal terindah dalam hidup Xander. "Sudah siap?" tanya sang pemimpin upacara pernikahan. Tidak ada jawaban, Xander menatap ke bawah tanpa niat melakukan ini semua dan saat melihat ke arah Ibel jauh dari kerumunan dia merasa tersiksa. Mengapa ini terjadi begitu cepat dan membawa sebuah penderitaan lain? Xander kemudian mengangguk pelan. Langit dan bumi menjadi saksi mati akan sebuah kesetiaan yang harus dipatuhi, saling menjaga hingga maut memisahkan mereka. Tangannya menguatkan sesuatu atas dasar sebuah ikatan tak didasari rasa cinta, keduanya saling tertunduk menyatukan dua hati terbawa perasaan lain jauh di sana. Xander telah resmi memperistri wanita yang tak dikenal, dia mendekati wajah Gisha tanpa membidik tatapan di sana. Lalu sebuah kecupan pelan singgah di kening Gisha, tanda jika mereka telah menjadi sepasang suami istri. Riuh tepuk tangan berganti dengan suara bahagia dari para tamu, barulah Xander dan Gisha saling menatap getir saat berlian melingkar di jari masing-masing. Kemudian Xander membawa istrinya menuruni satu persatu anak tangga, dia disambut hangat orang-orang dengan taburan bunga. Tanpa senyuman melintas di wajah keduanya, mereka berjalan ke tempat yang telah disiapkan Nathan di mana mereka akan berdansa. Merayakan hari sakral tanpa membawa kebahagiaan di hati, Xander menatap lagi ke arah putrinya yang membawa buket mawar merah. Begitu juga Gisha yang entah hatinya seperti disayat sembilu, melihat gadis kecil itu tanpa mendampingi. Fakta yang Gisha sendiri tidak mengerti, dia pun tidak berani bertanya setelah jawaban Xander menutup segala rasa ingin tahu. Gisha menatap wajah yang telah membawanya begitu dekat, tidak pernah dia mengalami hal seperti ini sebelumnya. Avan yang penyayang hanya akan menemui beberapa kali dalam setahun, bahkan mereka belum merencanakan akan menikah. "Selamat untuk kalian," Nathan menyambut hangat sepasang pengantin baru, dia memeluk Xander kemudian Gisha. "Papi senang bisa melihat kalian akhirnya bersama seperti ini." Lalu Nathan membimbing Xander sedikit jauh dari Gisha, dia menginginkan tempat lebih pribadi dengan putranya. "Makasih kamu udah menjalankan tugas dari Papi, semoga kamu bahagia Nak!" "Ya, sesuai yang Papi inginkan," Xander menatap ke arah lain agar tidak dianggap menentang tatapan Nathan. "Udah puas 'kan? Apa lagi yang harus aku lakuin Pi? Bulan madu? Memberimu cucu? Oh what the fuck." "Nggak usah buru-buru Xander, kamu ini kenapa nggak sabaran sekali? Kamu pikirin aja cara biar Gisha nggak nangis di malam pertama kalian!" ucap Nathan seolah tidak terjadi apa-apa. Jika saja itu bukan pria yang telah membawanya ke dunia ini, Xander sudah mengacak-acak semua yang ditemukan. Tetapi dia hanya membuang wajah enggan memberi tanggapan mengenai ini, lalu Xander berjalan ke arah bangunan di mana Ibel sudah menunggu. Dia tampak senang melihat putrinya berlari demi menghampiri. "Hei sayang," Xander memeluk lalu menggendong Ibel, bergerak seolah tengah mengajak bocah itu berdansa. "Papa, udah selesai 'kan?" "Udah," Xander ingin berteriak bahwa semua ini tidak adil untuk Ibel. "Kenapa? Kamu… Mau jalan-jalan sama Papa?" "Sama Mama Gisha juga 'kan?" tanya Ibel polos. "Emh… Kita berdua, gimana?" lagi, Xander menawarkan waktu luang untuk Ibel karena 4 hari ini dia mendapatkan waktu cuti. "Tapi kan, ada pesta. Nanti Kakek marah." jawab Ibel memainkan rahang berbulu Xander. "Memangnya… Kakek marahin kamu?" Xander ingin tahu kebenarannya, mengapa Ibel bersikap seolah takut terhadap sesuatu. "Nggak kok," Ibel memeluk Xander. "Kakek hari ini baik banget sama Ibel, kasih cokelat juga… Mainan banyak di kamar Ibel. Kata Kakek, Ibel cukup sambut mainan baru Ibel aja!" Betapa ini sangat memilukan, rasanya Xander ingin melampaui batas kesabaran tetapi dia memikirkan ini hanya akan membawa sebuah penderitaan untuk putrinya. Kemudian Xander mengajak Ibel turun ke area pesta, tetapi langkah itu dicegah oleh pengawal pribadinya. "Maaf Bos, Tuan besar melarang Ibel turun ke pesta!" bisik pria bertubuh jangkung kepada Xander. Sungguh, Xander merasa kepalanya sangat panas. Dia hanya menurunkan Ibel lalu berjongkok demi membelai pipi anaknya, Xander tidak memiliki banyak tenaga untuk semua ini. "Sayang, tunggu Papa di ya! Soalnya ada urusan mendadak." Ibel mengangguk. "Iya Pa, Ibel main dulu aja ya!" Xander bangkit dan menatap lesu ketika Ibel berlari ke ruangan yang sudah disediakan, kemudian tangannya mencengkram lengan pria di samping itu. "Kamu, dibayar berapa sama Papi huh?" "Cukup buat aku beli rumah di sini per 4 bulan nya Bos." jawab pria itu gugup. "Ok, pantesan. Sana pergi! Jangan pernah kamu menampakkan wajah di depanku lagi!" Lalu pria yang telah bekerja dengan Xander selama bertahun-tahun itu pergi, dan ini merupakan penghinaan terbesar baginya. Xander mengepalkan tangan dan mencoba menahan agar tidak memukul sesuatu, tetapi dia telah kalap dan melayangkan tangannya ke arah sebuah pot tetapi justru itu hampir menghantam wajah Gisha. Betapa Gisha sangat terkejut, dia gemetar melihat perangai sangar itu hampir melukai. "M… Maaf, aku…," Xander segera mengatur sikap. "Ngapain kamu di sini? Ingin tahu urusan orang lain?" "Enggak, aku… Cuma disuruh Papi buat… Dansa bareng sama Anda." jawab Gisha masih gugup karena takut. "Aku nggak suka melakukan hal basa-basi seperti itu!" setelah sedikit membentak, Xander berlalu begitu saja. "Galak," Gisha memaki setelah Xander menghilang. "Lagian juga aku nggak minta dansa sama dia! Huh, kenapa aku ini sekarang jadi murahan?" Sementara itu, Xander telah mendapatkan kunci mobil yang sudah dihias bunga dan siap mengajak Ibel pergi tetapi dari belakang tamu yang merupakan orang-orang penting keluarga Ivanska tiba-tiba meneriaki namanya. Terpaksa Xander harus mengumbar senyuman. "Wah, wah… Pengantinnya mulai nggak sabar nih." tegur salah satu rekan Xander. Xander yang tengah berkecamuk menjadi terkejut, dia langsung menghampiri temannya dari Rusia yang merupakan keturunan Indonesia. "Bro, apa kabar?" "Xander," teman pria itu memeluk Xander. "Baik, kamu makin oke aja ya. Lama nggak ketemu jadi… Duda keren." Tangan Xander meninju lengan sahabatnya. "Kamu ini, kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini huh?" "Gimana aku mau bilang? Kan kamu aja masih sibuk sendiri," pria itu mendekatkan mulutnya ke telinga Xander. "Sibuk nyiapin gaya baru buat perawan." "s**t!" Xander mengumpat. "Ayo, ke sena! Oh ya, mana kembaranmu?" Pria dengan rambut ikal bernama Tristan itu langsung merangkul Xander. "Dia nggak bisa dateng, ada ujian katanya." "Hei, kalian masih aja kuliah? Udah tua, inget!" jawab Xander mencela. Tristan tertawa. "Ah bukan aku, tapi adekku." Dengan penjelasan itu Xander sedikit melupakan masalah hatinya yang kacau, dia membawa Tristan bertemu dengan Nathan dan kedua adiknya. Saat berada di samping keluarga Ivanska, Xander tidak banyak bicara karena dia memiliki perasaan yang masih sulit mempercayai semua ini. Bukan hanya Nathan sambutan untuk Tristan datang, tetapi juga dari adik perempuan Xander bernama Frada. "Hai Tristan, apa kabar?" "Hai…," sejak 3 Tahun lamanya tidak mengunjungi Indonesia, rupanya Tristan enggan melepaskan wajah cantik Frada dari pikiran. "Frada, baik. Kamu… Gimana? Kapan nyusul kakak kamu hm?" "Um… Nanti lah, aku selesaikan kuliahku dulu." jawab Frada singkat. "Wah, udah semester berapa?" tanya Tristan seolah melupakan semua orang yang ada di dekatnya. "Semester, 3 untuk S3 ku Tristan." Tristan mengangguk paham. "Oh… Ya, ya. Hebat kamu, semangat terus!" "Terima kasih." jawab Frada menundukkan kepala, dia masih ingat akan janji tidak pernah ditepati Tristan. Keasyikan itu tertunda ketika Nathan membawa Gisha ke dalam pertemuan ini, bukan hanya itu tetapi pemilik SKA Corp itu membuat Gisha berada di pelukan Xander. "Tristan, kenalin ini Gisha! Menantu Om, yang paling sempurna." Berlebihan. Ulas Xander dalam hati menilai kelakuan ayahnya, tetapi dia hanya diam sedikit menjaga jarak dengan Gisha. Dan saat Xander merasa bosan dengan situasi ini dia segera menyingkir. Namun, tangan Nathan berhasil mengunci gerakannya. "Papi nggak suka kamu bertingkah seolah-olah ini bukan untuk kebaikanmu!" bisik Nathan berusaha agar orang-orang tidak mendengar termasuk Gisha. Xander menatap ke arah lain walau sebenarnya dia sudah muak dengan semua ini. "Kebaikan Papi, bukan aku!" Perlahan Xander melepaskan tangan Nathan dari lengannya, dia tetapi pergi meninggalkan kerumunan terutama Tristan yang sudah lama tidak bertemu. Xander tergesa-gesa ketika mendatangi ruangan Ibel, tetapi Xander tidak melihat keberadaan putrinya. Di mana? Xander terus mencari ke setiap lorong dan pintu belakang taman. Tidak ada. "Anda cari siapa?" Dari balik suara itu Xander telah memahami siapa, dia tidak menanggapi pertanyaan Gisha. Kemudian langkahnya sangat cepat mencari Ibel ke kamar mandi, tetapi tidak ada. Xander langsung meraih ponsel di saku dan berusaha menghubungi Iska, tetapi tidak ada jawaban juga hingga beberapa kali. "Tadi… Aku melihat Ibel dibawa pengasuhnya." pelan Gisha memberitahu atas apa yang dilihat. Kata itu membuat Xander menoleh dan menatap Gisha geram. "Kenapa kamu nggak larang? Kenapa nggak bilang ke aku?" "Tadi… Aku sudah mencari Anda tapi…," "Ah udah," Xander malas berdebat. "Nggak ada waktu buat dengerin kamu ngoceh!" Gisha hanya diam, memang dia terlambat memberitahu Xander mengenai Ibel. Tetapi dia hanya bisa memikirkan hari pernikahannya saat ini, Gisha tidak lagi peduli setelah Xander mengusirnya. Dia segera menemui keluarga Handoko. Tampak Gisha terus menoleh ke arah Xander yang mencoba menghubungi seseorang, tetapi itu tidaklah penting. Gisha menemui ibu dan ayahnya di dekat air mancur. "Ayah, Ibu." "Hai," Nana, yang merupakan ibu kandung Gisha langsung menyambut pelukan putrinya dengan tangis bahagia. "Putrinta Ibu yang cantik, akhirnya ya Nak." "Bu, aku… Aku mau tinggal sama Ayah sama Ibu aja ya!" rengek Gisha seperti anak kecil. "Loh, loh. Nggak bisa dong! Kan… Kamu harus kasih Paman cucu yang lucu." sahut Paman Gisha. Rasanya baru kemarin Gisha merayakan kelulusan S1 nya, tetapi kini semua seakan lain setelah pernikahan ini. "Tapi aku masih pengen di rumah kalian." "Nak," Tangan laki-laki renta di kursi roda membuat Gisha mengangkat gaun dan sedikit membungkuk untuk menyambut ayahnya. "Ya Yah, maaf bukan maksud aku nggak menghargai suami." "Cobalah! Ayah yakin kalian pasti akan menemukan perasaan masing-masing," sentuhan di kepala membuat Gisha nyaman. "Xander itu laki-laki yang baik, dia penyayang." Sangat berbeda dengan apa yang dikatakan ayahnya ketika Gisha berada di samping Xander, pria itu kasar juga arogan. "Iya, Yah." Gisha menjatuhkan sisi wajahnya di pangkuan sang Ayah, air matanya menetes dengan lembut di sana. Perasaan masih belum bisa menekuni keadaan lain setelah dia menjadi seorang istri, Gisha hanya sanggup memendam rasa resah hingga tanpa sadar dia telah memperhatikan Xander yang berjalan kesana-kemari tampak gelisah. Benarkah? Gisha bertanya dalam hati apakah memang Xander pria yang tepat yang telah diberikan Tuhan untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD