Semua telah menjadi suatu perubahan yang besar dalam dirinya, kini status di mana Gisha bebas melakukan apa saja di masa lajang telah berbeda. Memang Xander tidak pernah menggubris segala urusannya, tetapi berada di rumah besar yang tampak sepi bukan hal yang mudah. Biasanya Gisha akan sibuk di dapur membantu ibunya membuat kue pesanan, atau dia akan bersenang-senang di serambi rumah bersama anak-anak sekolah dasar. Gisha sibuk memberikan les bahasa Indonesia.
Pagi ini, sebelum berangkat ke Bali untuk bulan madu Gisha menyiapkan makanan untuk Xander dan Ibel. Tetapi usahanya tidak dihargai, pria itu hanya sibuk dengan ponsel dan mengumbar makanan begitu saja. "Ibel harus makan ya, nanti sakit perut!"
"Iya," Ibel mengangguk sambil bermain boneka tangan kesukaannya. "Ibel juga udah laper Ma, biasanya Ibel jarang sarapan."
"Loh, emangnya Mbak Iska nggak siapin makanan buat Ibel?" tanya Gisha menyuapi sesendok nasi merah kepada Ibel.
"Bukan Mbak Iska nya yang salah, tapi… Aku males makan." jawab Ibel lantang.
"Ya udah, mulai sekarang harus makan tepat waktu ya! Biar Mama yang suapin." Gisha membelai rambut panjang Ibel.
Atas sikap itu dari dalam sana, Xander memperhatikan. Kemudian dia teringat akan Adhisti yang sudah meninggalkan putri mereka selama 6 Bulan. "Apa kamu nggak kangen sama Ibel kita? Kapan kamu berubah Adhisti?"
Justru kini Xander merasa iri, andai saja sikap lembut itu menjadi tabiat Adhisti. Tidak akan seperti ini. Gumam Xander dengan dirinya sendiri, tetapi dia malas bergabung sekadar untuk menghabiskan makanan buatan Gisha. Tidak sudi.
"Papa…,"
Sial. Xander kepergok sedang melamun di ambang pintu dapur, dia pura-pura tidak tahu dan hanya memberikan kode jika masih mendapat panggilan dari seseorang. Xander pun segera ke ruang tengah, dia mencoba menghubungi nomor Adhisti dan mendapat jawaban.
"Halo," Xander terlihat bersemangat. "Sayang, kamu kenapa nggak pernah balas email ku? Kenapa baru sekarang kamu angkat teleponnya? Ibel rindu sama kamu, kenapa kamu sama sekali nggak ada rasa ingin pulang sih? Kasian Ibel!"
Sepi. Yang terdengar hanya suara angin, Xander terus menunggu jawaban sambil berjalan kesana-kemari. "Adhisti, kamu dengerin aku nggak sih?"
Tiba-tiba sambungan telepon terputus. Sialan. Rasanya Xander ingin membanting ponselnya, sudah beberapa kali dia melakukan panggilan tetapi Adhisti hanya mengabaikan. "Memang aku ini laki-laki nggak ada harganya, berani dia memperlakukan aku seperti ini!"
Ocehan Xander didengar oleh Gisha yang tidak sengaja melintas, ini membuat pria itu merasa diusik. "Kamu, nggak usah alasan mondar-mandir segala dan ingin tahu urusan orang!"
Gisha terkejut, dia menatap ke belakang juga sekitarnya. "Aku? Nggak juga kok, kan memang kamar Ibel ada di ujung dan harus lewat ruang tengah."
Memang benar. Tidak ada jawaban apapun Xander berlalu begitu saja, rasa kesal ini membuatnya berpikir bodoh. Dia tidak bisa bertindak waras, padahal jika diusut lagi Gisha memang tidak salah apapun. Kamar Ibel dekat dengan kamarnya.
[...]
Segala yang telah ditentukan selalu ditolak oleh Xander, terutama mengenai bulan madu. Dia tidak memilih tempat paling sempurna seperti Hawai atau Paris melainkan hanya pantai di Bali. Jauh lebih baik, daripada Xander akan membuang-buang waktu bersama wanita itu.
Selama beberapa jam perjalanan hingga sampai di Bandara Ngurah Rai, Xander hanya diam dan sibuk mencari tahu di mana tempat tinggal Adhisti. Sekitar 80 kilometer dilalui menuju vila pribadi keluarga, barulah Xander mengajak Ibel menikmati pemandangan di Kintamani. Bali.
Kesejukan terasa begitu mendalami kegelisahan Xander mengenai Adhisti dan segudang pekerjaan, walau segala urusan itu akan diselesaikan oleh Gio, tetapi Xander kurang yakin cara kerja adiknya itu efisien.
"Pa, kenapa kita nggak ajak Mama Gisha jalan-jalan?"
Xander melepas kacamata hitamnya. "Ya, kan kemarin Papa janji mau ajak Ibel jalan-jalan. Jadi, kita berdua aja!"
"Tapi kasian Mama Pa," Ibel yang awalnya senang menjadi murung. "Ibel ajak Mama ke sini ya?"
Huh. Xander mendengus kesal. "Iya, Papa tunggu di sini ya!"
"Yeay." Ibel langsung berlari, dia menaiki anak tangga di jalan setapak demi cepat sampai ke vila.
Tidak penting sebenarnya Xander harus tahu apakah Gisha butuh liburan ini atau tidak, dan hasratnya untuk menenangkan pikiran tiba-tiba buyar saat mendapati Ibel dan Gisha mendekat ke arahnya. Pemandangan indah akan alam gunung Batur yang berada di timur laut pulau Bali, menjadi suatu objek wisata tidak menyenangkan bagi Xander.
Ingin dia segera menyingkir tetapi Ibel akan bertanya lagi dan lagi, di mana Xander akhirnya tetap tinggal dan mengawasi dari belakang saat anaknya membimbing ke danau. "Ibel, jangan lari-lari, nanti jatuh!"
"Iya Pa," jawab Ibel hampir tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
Sekitar desa Penelokan itulah Xander memuaskan sisa hari dalam seharian ini untuk menikmati pemandangan, Ibel terlihat antusias sampai berkali-kali terpeleset tetapi sama sekali tidak manja dan menangis. Xander tertawa melihat semua itu, sejenak dia melupakan pertentangannya dengan Nathan.
"Papa, ajak Mama ke sana dong!" Ibel menunjukkan tempat berupa restoran.
"Hei, kamu laper ya?" sambar Gisha menggoda Ibel.
Ibel tertawa karena geli saat tangan Gisha berada di caruk lehernya. "Nggak kok, kan biar Papa sama Mama bisa barengan terus!"
Ungkapan itu terlalu polos, Gisha hanya pura-pura tidak mendengar dan menunjukkan puncak gunung berapi itu mulai berkabut. Tetapi kemudian Xander merampas tangan Ibel, dan hal itu membuat Gisha terkejut. Kenapa? Gisha hanya bisa mengekor di belakang menuju mobil.
Tak lama, mereka sampai di restoran yang memiliki panorama indah dari puncak Kintamani. Xander hanya mengajak Ibel turun dan menuju restoran tetapi Gisha tetap mengikuti langkah itu, walau dia tak dianggap tetapi janji akan selalu ada di samping Ibel setiap jam makan akan dipenuhi.
Gisha terkejut ketika Xander mendekatinya. "Aku sudah mengantarmu sampai ke sini, tolong jaga Ibel sebentar!"
"Memangnya Anda akan ke mana?" Gisha terbelalak, dia menatap gusar ketika menanyakan hal yang telah mengganggu urusan Xander.
Xander hanya menarik napas dalam-dalam. "Aku ini bukan suamimu yang harus ditanya segala macem, bisa kan berhenti selalu ingin tahu?"
"Maaf," Gisha menghindari tatapan Xander yang bengis. "Aku kan cuma… Mau tau aja. Karena… Kalau Ibel tanya aku bisa cari alasan yang tepat. Takutnya, aku berbicara lain dengan Anda saat ditanya nanti."
"Cari udara segar, di sini panas!" jawab Xander asal, dia pun pergi begitu saja.
Gisha mengepalkan tangan ke arah pria itu, dan tanpa sengaja Xander menoleh. Seketika Gisha gugup, kemudian segera menghampiri Ibel yang sedang asyik mengambil gambar dengan ponsel. Gisha tidak lagi coba-coba menoleh, karena wajah memiliki mata abu-abu itu sangat mengerikan.
[...]
Kesenangan Ibel pada sebuah ayunan yang merupakan fasilitas restoran tersebut membuatnya lupa, begitu dengan Gisha layaknya anak kecil yang mendapat mainan baru. Gisha merentangkan kedua tangan menikmati angin sejuk di sana, dia membiarkan rambutnya berantakan dengan terus memuji betapa alam ini sangatlah indah. Wujud ciptaan Tuhan yang bisa membuatnya terpesona.
"Mama…,"
"Ya sayang," jawab Gisha singkat.
Teriakan Ibel membuat Gisha menoleh, dia pun langsung menjerit karena anak itu berdiri di pinggiran. "Ibel, turun! Sayang, sini! Bahaya itu!"
Ibel langsung menuruti perkataan Gisha, tetapi tampaknya kain yang dilalui sedikit goyang hingga membuat kaki mungil itu terpeleset. Gisha dengan cepat meraih tangan Ibel, tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk menopang tubuh itu.
Seketika para pengunjung berteriak, hal itu membuat Ibel pun menangis. "Mama… Nanti Ibel jatuh, tolong!"
Sekuat tenaga Gisha mengangkat Ibel, tetapi hasil itu sama saja. Namun, dari kepanikan semua orang membuat Xander segera datang, dia menangkap lengan kemudian sedikit pada bagian ketiak Ibel. Dengan demikian, Xander berhasil membawa putrinya keluar dari maut.
Tangis Ibel membuat semua orang merasa tenang karena bocah itu selamat, tetapi Xander justru menatap tidak suka atas keberadaan Gisha. "Pergi kamu, jangan deket-deket Ibel lagi!"
Gisha merasa sesak, dia pun menjaga jarak saat Xander membawa Ibel keluar dari restoran. Tetapi karena rasa khawatir yang sangat besar terhadap Ibel, akhirnya Gisha tetap mengikuti ke mana Xander pergi. "Maaf, aku… Udah lalai jagain Ibel."
Xander tidak memperdulikan permintaan maaf Gisha, dia tetap membawa putrinya sejauh mungkin dari restoran. Setelah sampai di mobil, Xander langsung mencekal tangan Gisha. "Jangan pernah ada di samping putriku lagi!"
"Maaf, tapi…,"
"Tidak ada tapi, atau aku akan melaporkan kamu ke polisi!" ancam Xander mendorong tubuh Gisha agar menjauh darinya.
Gisha menolak atas tuduhan itu juga berusaha mengikuti, tetapi sial dan malang tidak bisa dihindari. Mobil seketika melaju cepat dan pergi dari area tersebut. Gisha pun mencoba mencari di mana ponselnya untuk mencari taksi atau jasa tumpang di sekitar sana, tetapi dia baru ingat jika Ibel yang memegang untuk mengambil banyak gambar di puncak tadi.
Merasa tidak memiliki apapun lagi termasuk uang, Gisha mencoba menemui salah satu pengunjung di sana. Akhirnya Gisha mendapat pertolongan dari sepasang suami istri paruh baya, dia hanya memberikan arahan menuju vila milik keluarga Ivanska.
"Mbak ini siapa di keluarga Ivanska?" tanya pria yang mengemudi mobil jenis SUV.
"Saya…," Gisha bingung harus mengakui dirinya sebagai siapa. "Pengasuh di sana Pak."
Betapa bodohnya Gisha walau merasa itu jawaban yang dianggap sesuai, dia tidak ingin menjadikan namanya dikenal sebagai istri sah pemilik vila tersebut. "Memangnya Bapak kenal ya sama keluarga itu?"
"Kenal Nak, kan mereka sering mengadakan bakti sosial buat para anak jalanan di desa ini." jawab pria itu lagi dengan lantang.
Gisha terdiam sesaat menatap ke arah jalan, dia menunggu jawaban lain seperti apa siapa keluarga Ivanska itu. Tetapi yang terdengar hanya suara mobil, Gisha mendapati kedua orang tua itu juga merasa asyik menikmati pemandangan.
Area yang dimaksud sudah dekat, hingga memasuki sebuah gerbang rumah besar mempunyai 2 lantai. Yang membuat kedua orang asing itu yakin, mereka melihat papan nama Ivanska di bawah nomor rumah.
Gisha mengajak dua orang yang sudah berbaik hati padanya itu sekadar mampir. Namun, mereka menolak dengan alasan akan menghadiri acara penting. Gisha yang masih memiliki perasaan takut terhadap kemarahan Xander akhirnya tetap nekat, dia berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Bagi Gisha ini bukan mengenai betapa Xander akan berprasangka, melainkan dia ingin tahu bagaimana kabar Ibel.
Saat Gisha hendak masuk, tiba-tiba seorang pria yang merupakan tangan kanan Xander mencegah. "Aku ingin ketemu sama Ibel, gimana keadaannya?"
"Maaf Nona, tapi Tuan muda melarang saya untuk…,"
"Kamu tenang aja, nggak akan ada yang salahin kamu kalau aku masuk. Biar aku tanggung sendiri!" jawab Gisha langsung berlari, dia mencari-cari kamar Gisha.
Ruangan besar itu baru pertama kali dimasuki, Gisha mencari kamar Ibel hingga ke lantai atas. Tidak ada. Sambil melawan seorang pria yang berusaha menghalangi. "Lepas! Aku cuma mau ketemu sama Ibel!"
"Tapi… Tuan muda melarang, ini adalah…,"
"Biarin dia masuk!"
Suara Xander membuat orangnya menundukkan kepala, Gisha merasa was-was jika pria itu akan memarahi. Setelah orang suruhan Xander pergi, barulah Gisha melihat pintu kamar setengah terbuka dan di sana Ibel tidur.
"Maaf." hanya itu saja yang bisa Gisha katakan pada Xander.
"Tidak cukup ketika kamu membahayakan anakku!" ucap Xander berat hati memaafkan Gisha.
"Iya, aku lalai menjaganya. Tapi… Aku tidak tahu saat Ibel mulai naik ke atas, dia…,"
Rasanya Gisha tidak sanggup menjelaskan, ini terlalu mengerikan memang. Dia pun hanya bisa menatap Ibel dari luar, sedang memberi alasan kepada Xander rasanya itu tidaklah mudah. "Ya udah, aku… Tunggu dia sampai bangun!"
Tidak disangka saat Gisha akan pergi, Xander telah membuka pintu kamar Ibel. Dan pada kesempatan inilah dia bergegas masuk, tetapi tangan Xander langsung mencekal lalu membawanya sedikit jauh dari pintu kamar.
"Pernikahan ini sudah membuatku sulit, jadi jangan pernah bertingkah lagi atau aku benar-benar akan membuatmu terkurung di penjara!" pekik Xander dengan tatapan serius.
Gisha enggan menatap mata itu, dia hanya diam melihat ke arah lain karena mendengarkan suara bass Xander telah membuatnya gemetar. Ini bukan kesalahan, tetapi Gisha merasa lalai dari tanggung jawab ketika menjaga Ibel. Kemudian saat Xander melepaskan tangannya, Gisha langsung masuk dan menutup pintu kamar Ibel.
Jantungnya berdebar-debar, tidak pernah dia mendapatkan ancaman dari seorang pria. Terutama orang asing yang menjadi suaminya dalam waktu kurang dari 1 bulan. "Huh, duda itu kenapa kolot banget sih? Aku udah bilang yang sebenarnya nggak percaya juga. Ngeselin!"
"Mama…,"
Suara kecil itu membangunkan lamunan Gisha, dia bergegas tidur di sebelah Ibel. "Hai sayang, gimana kabar kamu hm? Masih takut?"
"Udah nggak kok," Ibel langsung memeluk Gisha. "Maaf tadi Ibel bikin Mama dimarahin sama Papa." rintih Ibel dengan suaranya yang serak.
Gisha tersenyum setengah menahan tawa. "Nggak apa-apa sayang, Papa nggak marahin Mama kok. Cuma… Salah paham aja."
"Tapi hari ini dan besok Mama tidur di kamar Ibel ya?" Ibel memohon dengan raut polosnya.
"Iya malam Mama bakal tidur di sini sampai kita pulang ya!" jawab Gisha menyenangkan perasaan Ibel.
Ibel berterus terang pada rasa bahagianya, dia begitu antusias untuk menyelesaikan liburan kali ini. Dan yang membuatnya merasa sangat bahagia adalah, dia telah mendapatkan kasih sayang yang selama ini dirindukan dari sosok seorang Ibu.