Carl hanya berdiri menatap tiap langkah lunglai wanita yang masih berstatus istrinya. Tak ada niatnya untuk meminta maaf. Di mata Carl, Ruby adalah wanita pembawa sial. Kesialan itu sudah berlangsung lima tahun lamanya. Dirinya terjerat dalam pernikahan paling tak ia inginkan selama ini.
Andai bukan rasa hormat serta keinginan sang ayah, tak mungkin Carl berdiri di depan altar mengucap janji pernikahan mereka.
“Sialan,” desis Carl dengan tangan terkepal. “Kenapa harus mengingat masa lalu di saat seperti ini.” Dihelanya napas panjang dan mulai mengendalikan diri. “Maria,” panggilnya kemudian.
“Ya, Tuan.” Maria sejak tadi tak beranjak ke mana pun. Jikalau Carl dalam keadaan marah, hampir semua pelayan di rumah berlantai tiga ini tak berkutik dibuatnya. Inginnya berlari membantu sang Nyonya, apalah daya ketakutannya besar menghadapi kemarahan Carl.
“Ibuku sudah makan malam dan meminum obatnya?”
“Sudah, Tuan.”
Carl mengangguk pelan. “Jangan pernah lengah mengawasi ibuku, Maria.”
“Baik, Tuan.”
Pria itu berlalu dari ruang tamu. Meninggalkan pelayan rumah yang tampak bernapas lega karena kepergiannya. Tak ingin tinggal satu atap dengan Ruby, ia memilih ke luar rumah. Tujuannya sudah ia penuhi; mengusir Ruby dari kediaman utama Dominique. Tak ingin berlama-lama menjalani pernikahan yang menjebak hidupnya ini.
Lagi pula ... sosok yang memintanya menikahi Ruby sudah setahun lalu pergi selamanya. Setidaknya, keinginan terbesar ayahnya sudah ia penuhi. Sekarang ia bisa bebas mengakhiri semuanya. Tak perlu ada lagi pemikiran, bagaimana pandangan serta sakit yang diderita sang ayah.
Diambilnya ponsel yang selalu ada di saku. Mencari satu nama yang biasa Carl minta untuk mengurus banyak hal termasuk urusan pribadi. Richard namanya. Pengacara keluarga Dominique yang telah lama mengabdi padanya.
“Kau sudah persiapkan semua, Rich?”
Ada jeda agak lama sebelum pria di ujung sana membuka suara. “Kau yakin?”
Carl berdecap sebal. “Apa pernah aku bercanda mengenai urusan ini?”
“Aku hanya mempertimbangkan kondisi ibumu, Carl. Kau tahu, Nyonya Kate sangat menyayangi istrimu. Aku khawatir beliau drop karena sa—“
“Aku baru tahu kalau Richard Gultom menjelma menjadi Tuhan? Yang bisa mengetahui keadaan seseorang di masa depan?”
Richard menghela panjang. “Baiklah. Kau memang tak bisa ditahan lagi mengenai hal ini.”
Carl menyeringai. Sambungan telepon itu segera ia putus. Mobil Lexus hitamnya sudah ada di depan rumahnya. Siap untuk ia kendarai membelah malam yang kian pekat. Langit malam ini cerah, bintang yang bertaburan juga berpendar indah. Bukan itu saja, rembulan yang bersinar pun menampakkan dirinya secara utuh.
Ia menatap langit malam masih dengan senyuman tipis. Bergumam pelan sebelum melangkah masuk ke dalam mobilnya. “Andai kau tahu betapa tersiksanya menjadi aku, Rich. Kau tak akan pernah mengatakan hal ini.”
***
Berulang kali Ruby mengusap lelehan air matanya. Sesak di dadanya kian jadi tapi ia tak bisa melakukan apa pun selain berusaha untuk menenangkan diri. Dua koper besar sudah ada di sisinya. Siap untuk dipenuhi pakaian serta barang-barang miliknya. Sejak masuk ke dalam kamar bernuansa putih ini, ia tak tahu harus melakukan apa.
“Padahal malam ini aku membuat sesuatu yang spesial untukmu, Carl,” Ruby kembali menghapus jejak air matanya. “Apa tak ada sedikit saja dirimu untukku? Setelah dua tahun ini?”
Walau tampak buram, tapi pandangan Ruby tertuju pada satu titik. Agak lama ia pandangi potret yang terpasang megah di dinding. Membuatnya mendekat meski tiap langkahnya ia rasa semakin menekan dadanya. Sakit sekali.
“Kau begitu bodoh, Ruby,” katanya pelan. Kini ia ada di depan potret pernikahan mereka. Di mana senyum Ruby tercipta penuh bahagia serta tersimpan banyak harap. Senyum Carl masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu; memesona. Memerangkapnya dalam cinta semu penuh derita. Dan pada akhirnya Ruby menyadari, senyum itu palsu. Sepalsu wajah Carl yang bersikap manis hanya kala mereka di depan sang ayah mertua. Selebihnya?
Ruby dihujani banyak hujat serta tuduhan yang ia sendiri tak habis pikir, bagaimana bisa Carl mengatakan hal itu padanya. Betapa naif Ruby berpikir, Carl mencintainya. Seperti harapan sang ayah mertua setelah pernikahan mereka selesai terselenggara.
“Aku berharap kesembuhanku segera tiba, Ruby,” kata Charles Dominique, pria paruh baya yang duduk di kursi roda. Ayah dari Carl, mertua Ruby, yang binar wajahnya kala itu bahagia sekali. Dokter keluarga Dominique tak memercayai apa yang mereka lihat; Charles dalam keadaan sehat dan prima jelang pernikahan anaknya.
“Aku yakin Papa segera sembuh,” ucap Ruby setulus hati. Sejak awal, Ruby yakin kalau sosok Charles berhati lembut dan hangat. Pun ibu mertuanya yang selalu ada di sisi Charles. Senyum Kate, ibu mertuanya, tak pernah pudar. Katanya juga, ia beruntung memiliki Ruby sebagai menantu.
“Kau benar. Papa harus sembuh. Jangan kalah dengan sakit. Benar, kan, Sayang?”
Kate tersenyum lebar. “Aku yakin kau akan segera sembuh. Dokter Phillip sudah menjadwalkan operasimu.”
“Kalian jangan bicarakan hal yang membuat sedih?” tanya Carl dengan sorot sendu yang dibuat-buat. “Kita baru saja menyelesaikan acara yang membahagiakan. Bagaimana kalau menikmati saja kebahagiaan ini? Aku percaya, efek pernikahan ini bisa membuat Papa berangsur membaik.”
Pria itu mengusap bahu Ruby pelan. Mengecup singkat sisi kepala wanita yang baru resmi menjadi istrinya. “Kau bahagia, Sayang?”
Ruby tersipu. Rona di wajahnya semakin memerah seiring tindakan Carl memintanya berdansa di hall yang tersedia.
“Papa selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian berdua. Papa juga berusaha segera sehat. Tak sabar menanti kehadiran Dominique Junior dari kalian.”
Mereka semua tertawa menanggapi ucapan Charles.
“Bersabarlah, Papa. Akan kubuat Dominique Junior segera muncul di perut Ruby. Kau sudah siap, kan, Sayang?” Carl tergelak seolah ucapan itu menandakan kebahagiaan yang sungguh ia rasa. Sayangnya ... itu semua hanya kebohongan belaka.
“Duduk,” kata Carl begitu mereka memasuki kamar pengantin yang telah disediakan pihak hotel untuk mereka; mempelai yang berbahagia.
“Carl?” Ruby tampak heran dengan perubahan ekspresi dari pria yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya.
“Kubilang duduk!”
Ruby berjengit. Berusaha untuk menormalkan kerja jantung yang mendadak terpacu karena suara Carl yang meninggi. “Oke.” Ia juga harus bersusah payah menyeret gaun pengantin yang cukup panjang ekornya.
“Jangan pernah kau anggap pernikahan ini berujung bahagia, Ruby. Kau perlu camkan satu hal.” Carl bergerak mendekat di mana Ruby tak memperhitungkan kedatangan suaminya itu. Bukan karena sosoknya, tapi intimidasi yang Carl lakukan. Juga cengkeraman pada wajahnya yang masih terpulas make up. Ruby sampai meringis kesakitan karena tekanan jemari Carl di wajahnya.
“Jangan pernah mengharap apa pun dariku. Pernikahan ini hanya untuk menyenangkan ayahku.”
Lalu ... di malam pertamanya sebagai pengantin, Ruby ditinggalkan begitu saja. Dengan banyak tanya serta luka di hati yang kian dalam dari hari ke hari.
Diusap ujung hidung Ruby yang basah. Ditepuknya pelan pipinya berharap awal kesakitannya tak lagi muncul di ingatan. Napasnya mulai teratur. Air matanya tak lagi menetes. “Tanpa perlu kau minta, aku juga berniat pergi. Tapi sayang ... aku tak tega meninggalkan Mami Kate.” Ia pun mendongak memandangi langit-langit kamarnya. “Banyak yang kupikirkan sebelum meninggalkan rumah ini, tapi sepertinya tak ada yang memikirkan bagaimana perasaanku.” Ruby tertawa miris.
“Sialnya aku bertemu kamu, Carl.”