[1]
“Keluar kau!”
Ruby meringis kesakitan. Rambutnya ditarik dengan kekuatan penuh. Ia tak menyangka kalau tangan kekar itu tak main-main menjambaknya. “Carl ... sakit. Tolong lepaskan.”
“Sudah berapa kali aku bilang, Ruby! Keluar dari rumah ini.”
Satu dorongan Ruby terima. Hampir saja bahunya terkena ujung meja. Beruntung Carl, suaminya, tak terlalu kencang mendorongnya. Meski begitu, kepalanya berdenyut sakit. Ia rasa rambutnya banyak terlepas dari akar kepala. Mungkin juga tertinggal di tangan Carl yang kini mengepal kuat. Seolah siap memberi pukulan padanya.
Ruby menggigil ketakutan tapi berusaha untuk tetap tersenyum. Ia tak peduli dengan cake yang baru saja selesai dibuat demi menyambut kepulangan suaminya. Ruby pikir, tahun ini ada sedikit rasa peduli di hati Carlton Dominique, pria yang masih berstatus suaminya ini. Beberapa bulan belakangan, emosi Carl tak terlalu diperlihatkan. Tak seperti biasanya.
Makanya Ruby memberanikan diri siapa tahu, Carl memang sudah berubah.
“Batas toleransiku sudah habis, Ruby!” Carl menatap garang dan tanpa ampun pada sosok istrinya yang mungil ini. Ia tak peduli ketakutan yang Ruby perlihatkan di pelupuk matanya. Ia muak dengan kehadiran sosok wanita yang menjadi istrinya ini.
Pernikahan konyolnya harus berakhir hari ini juga. Apa yang membuatnya mempertahankan Ruby? Tak ada. Sang pemrakarsa utama; Charles Dominique, sang ayah, sebulan yang lalu mengembuskan napas terakhirnya. Pria yang menjadi panutannya menyerah pada kanker yang menggerogoti sejak lama. Jikalau bukan lantaran permintaan ayahnya, Carl tak akan sudi menerima Ruby menjadi istrinya.
“Maria!” Suara Carl menggelegar serupa petir. Membuat pilar-pilar di rumah mewah bernuansa putih dan emas itu bergetar saking kuatnya Carl berteriak. Tergopoh, wanita paruh baya yang menjadi kepala pelayan di rumah ini datang menghampiri.
“Y-ya, Tuan.” Maria segera menunduk lantaran takut, amukan sang tuan semakin jadi. Meski matanya menatap sendu pada wanita yang meringkuk di bawah meja. Inginnya menolong segera wanita berhati lembut itu tapi ketakutannya jauh lebih besar karena sang tuan, bisa menjadi pria paling mengerikan yang pernah ia temui di dunia.
“Bereskan pakaian wanita ini! Aku tak mau melihatnya masih berkeliaran di sini.”
“Carl,” Ruby segera bertindak. Ia pun berusaha untuk meraih kaki suaminya. “Kumohon, jangan usir aku. Aku ... aku minta maaf jika memilik salah denganmu. Aku rela kau hukum, Carl. Tolong ... jangan usir aku.”
Carl tak peduli. Kaki yang semula digelayuti, ia kibas segera. Ditambah satu tendangan cukup kuat ia beri pada lengan sang wanita. Matanya menatap penuh remeh sembari berkata, “Kesalahanmu hadir di hidupku. Ruby. Bodohnya kau terima tawaran ayahku lima tahun lalu.” Ia pun menyamankan posisi dengan wanita yang masih berstatus istrinya itu.
Ah ... tak sampai dua puluh empat jam status mereka pasti berganti. Uang bisa mempercepat urusannya apalagi sebatas akta perceraian. Sudah lama ia menanti moment di mana dirinya menceraikan Ruby. Andai bukan karena rasa sayang sang ayah serta ibunya pada wanita yang menatap penuh permohonan ini, Carl tak akan memberi kesempatan Ruby untuk menginjak rumah ini.
Apalagi menjadi bagian keluarga Dominique.
“Jangan pernah bermimpi masuk dalam hidupku, Ruby.” Carl mencengkeram pipi Ruby dengan penuh penekanan. Dilihat dari jarak sedekat ini, Carl akui kalau Ruby memilik wajah yang cukup menarik. Tapi Carl tipe pria setia. Hanya ada satu orang yang ia cintai di dunia ini selain ibunya.
“Hanya ada satu orang yang akan menjadi nyonya Dominique, Ruby. Dan itu bukan kau. Tapi Freya Hannah. Seharusnya kau tahu itu.”
Mata Ruby berkaca-kaca. Sudah sering ia dengar ucapan kasar dan menyakitkan dari Carl. Sayangnya, Ruby selalu bisa membuat pemakluman. Ia percaya, cinta akan hadir di hati Carl seiring waktu berjalan. Bahkan Carl yang terang-terangan menyelingkuhinya pun, Ruby maafkan. Ia yakin, suatu saat nanti Carl akan datang ke pelukannya.
“Sebelum kesabaranku habis, Ruby, pergilah.” Cengkeraman di pipi Ruby, Carl lepaskan. Tak ada belas kasih di hatinya meski Ruby menitikkan air mata. Sudah sering ia lihat Ruby menangis karena ucapan juga perbuatannya.
Apa ia peduli?
Sama sekali tidak.
Ia tak akan memaafkan gadis yang seenaknya memanfaatkan kebaikan orang tuanya hanya demi status dan hidup nyaman bergelimang harta. Berpura-pura menjadi sosok yang berhati mulia dan lembut demi menarik perhatian orang tuanya. Juga bersikap seperti seorang anak yang berbakti; merawat sang ayah selama menjalani proses kemoterapi hingga tutup usia.
Tidak.
Carl tak tersentuh sama sekali dengan semua perbuatan Ruby di rumah ini. Mata hatinya beku dan hanya mampu menatap satu wanita; kekasih dan pujaan hatinya. Yang akan ia jadikan nyonya di rumah ini begitu Ruby pergi.
“Beri aku waktu tiga hari untuk berkemas, Carl.” Ruby berusaha untuk bangkit. Ia usap air mata yang tak mau berhenti menetes. “Kumohon.”
Carl memejam kuat. Menghela dengan gemuruh di d**a lantas berkata penuh penekanan. Bahkan telunjuknya sudah tepat berada di ujung hidung Ruby. Carl menyadari kalau Ruby seketika itu berjengit ketakutan lantaran tingkahnya ini.
“Satu hari, Ruby. Aku tak ingin melihatmu lebih lama di sini.”