“Kau sudah tidur, Sayang?” tanya Carl dengan nada begitu lembut. Panggilan teleponnya tertuju pada seseorang yang akan ia kunjungi malam ini. rencananya membawa sang wanita ke rumah utama dan menjadikan ratu di sana. menggeser wanita sialan yang ia beri tenggat sehari lagi, benar …. Cukup satu hari lagi ia beri kelonggaran waktu tinggal. Menikmati sisa hidup nyaman sebelum kembali ke tempat asalnya berada dulu.
Carl terlihat kejam serta tak memiliki hati mengusir Ruby tanpa belas kasih. Tapi pria itu mana mau peduli. Baginya, Ruby seperti benalu yang harus ia tebas dan singkirkan. Sejak awal ia meyakini kalua kehadiran Ruby tak ubahnya serupa beban; yang menggegoroti keluarga mereka perlahan.
“Tapi, Papa,” Carl mendelik tak percaya. Saat foto Ruby disodorkan sang ayah di meja kerjanya. Carl baru saja kembali dari New York sebagai pengganti ketidakhadiran ayahnya menjalankan bisnis. Jangan sampai nama Unique Entreprise tak lagi memiliki taring menghadapi perkembangan zaman yang ada.
“Papa hanya meminta pernikahan ini ada, Carl.”
Carl menggeram kesal. Mengusap wajahnya penuh frustasi dan membanting tubuh di kursi kebesarannya. Sang ayah duduk di depannya dengan tenang. Tak ada kekhawatiran serta keraguan kalau putranya menolak. Pria paruh baya itu yakin, sang anak akan menyetujuinya.
“Aku mencintai wanita lain, Pa. Aku rasa kau tahu siapa wanita itu.” Carl berusaha menjaga nada bicaranya. Meski emosinya mulai naik, tapi ia tak bisa berkata kasar pada sang ayah. Sosok Charles Dominique tengah berjuang melawan sakit.
Banyak dokter mengatakan kalau usia pria paruh baya yang menatapnya ini tak akan lama lagi. Kanker yang menggerogoti sudah ada di tahap mengkhawatirkan.
“Entahlah,” Charles tertawa. Matanya terfokus pada jendela besar yang menampilkan landskap kota Bagian Barat yang riuh ramai. Dari ketinggian lantai dua puluh lima ini, semuanya terlihat indah serta tertata apik. “Sejak awal aku melihat Ruby, aku yakin, dia lah wanita yang bisa mengimbangimu.”
Carl berdecap. “Yang mau menikah itu aku, kan, Pa? Seharusnya aku yang memiliki pemikiran itu, bukan Papa.”
“Karena kau belum pernah bertemu dengannya, Carl.” Charles belum mau menurunkan tawanya. Tawa renyah serta penuh kehangatan yang masih bisa Carl nikmati.
“Pa, kumohon untuk hal ini jangan mencampuri. Aku bisa mencari jodohku sendiri. Aku dan Freya berniat menikah tahun ini. Freya hanya ting—“
“Aku tak pernah menyetujui pernikahan kalian, Carl. Kalau kau bersikeras, aku bisa membuatmu tak bisa berbuat apa pun lagi.”
Carl melotot tak percaya.
“Siapa tahu ini menjadi permintaan terakhir Papa, Carl.”
Tangan Carl terkepal kuat.
“Cinta ada karena terbiasa.”
Tak ada yang menanggapi ucapan Charles barusan, kecuali detak jam di dinding saking sunyinya ruangan ini. Pikiran Carl berkecamuk. Batinnya perang. Sementara Charles menatap putranya penuh permohonan.
“Baiklah,” Carl menyerah. “Tapi aku ingin bertemu sebelum pernikahan ini berlangsung.”
Senyum di wajah Charles kembali timbul. “Aku yakin Mami sudah mengatur perjamuan malam ini di mana Ruby datang sebagai tamu spesial.”
Sialan! Maki Carl dalam hati. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh kedua orang tuanya. Setelah Charles pulang bersama pengawalan cukup ketat, Carl tak tinggal diam.
“Richard,” panggilnya setelah teleponnya terhubung.
“Apa ada? Kau sudah kembali? aku masih di jalan menuju kantormu, Carl. Mung—“
“Tak perlu,” sela Carl dengan cepat. “Aku butuh bantuanmu segera.”
“Ada apa?” tanya Richard dengan nada jauh lebih serius.
“Aku ingin semua informasi terkait gadis yang kukirimkan fotonya. Segera. Jangan ada yang terlewat, Rich. Aku beri waktu tiga jam.”
“Kau gila?” maki Richard dengan nada jengkel. “Kau pikir aku ini Lembaga Pencatatan Sipil Negara?”
Carl tak tertawa menanggapi candaan Richard yang sepertinya disadari oleh orang kepercayaannya itu.
“Oke. Akan segera kuberitahu, Carl. Tapi beri waktu lima jam. Aku baru tiba dari Singapura.”
“Oke.” Hanya itu yang Carl katakan dan tanpa basa basi, sambungan telepon itu dimatikan segera. Ia pun kembali bersandar pada kursi kebesarannya. Memijat pelipis sekadar untuk mengurangi pening yang mendadak menderanya. Meski sama sekali tak berkurang.
“Siapa gadis itu sebenarnya? Seenaknya muncul dan Papa memintaku menikahinya? Yang benar saja!”
“Sayang?”
Carl mengerjap pelan. “Ah … hallo, Sayang? Kau sudah tertidur?”
“Kamu sudah menanyakan hal itu tadi.” Terdengar suara tawa yang membuat Carl tersenyum tipis. “Kamu melamun?”
“Tidak,” tukas Carl dengan cepat. “Aku berkonsentrasi dengan setir dan luangnya jalanan malam ini.”
Tawa itu kembali terdengar. “Mana bisa aku tidur sebelum kamu pulang, Sayang.”
Senyum Carl makin lebar. “Tunggu aku, Freya.”
“Aku selalu menunggumu. Kau tahu itu, kan?”
Carl mengangguk samar. “Terima kasih untuk kesabaranmu, Sayang. Persiapkan dirimu. Aku menuju apartement.”
Terdengar tawa renyah serta satu bisik yang membuat pria itu menekan gas sedikit lebih kuat.
“Selalu, Carl. Ehm ... sepertinya merah menjadi pilihan bagus malam ini? Kamu suka aku mengenakan lingerie merah, kan?”
***
Meletakkan ponsel yang baru saja ia gunakan, lantas kembali meneruskan kegiatan yang sempat tertunda. Asap mengepul pekat namun segera menghilang ditelan angin malam. Rambut hitam panjangnya berkibaran mengikuti arah angin. Matanya sesekali terpejam menikmati embus yang menyapa permukaan kulitnya. Cardigan sutra sebagai pelapis terluar dari pakaian tidurnya yang mahal.
Seperti yang ia katakan tadi; lingerie merah.
Freya tak pernah absen mengenakan pakaian tipis itu di malam hari karena ia tahu, Carlton pasti kembali ke pelukannya. Seringai tipis tanpa sadar ia ciptakan. Melirik sekitar pada jam di tangan kirinya, ia pun segera mematikan rokok yang baru dinikmatinya itu.
“Penantianku segera berakhir,” gumamnya pelan. Langkahnya anggun meninggalkan balkon. Ditutupnya pintu kaca yang sejak tadi ia buka dengan rapat. Pun gorden besar yang tersingkap hingga ujung lainnya. Di sudut ruang, ia nyalakan aroma terapi lembut yang menenangkan.
Sengaja.
Wanita itu sudah hafal di luar kepala apa saja yang bisa menyenangkan Carlton Dominique. Kekasihnya. Diambilnya salah satu koleksi anggur mahal yang ada di rak penyimpanan. Lengkap dengan gelas serta beberapa iris lemon, juga tempat khusus agar anggur tersebut bisa dinikmati mereka nantinya.
Senyumnya lebar terkembang. “Persiapan beres.” Lantas matanya tertuju pada satu pigura besar di mana sosoknya ada di sana. Pun Carl yang berdiri di belakangnya. Potret yang seharusnya juga ada di rumah utama Dominique. Sayangnya ... foto itu hanya bisa mendiami ruang tamu apartemennya saja.
“Kali ini tak akan aku lepaskan lagi.” Tangannya terkepal kuat. “Pak Tua Sialan itu sudah mati. Tak akan ada yang bisa menghalangiku ada di sisi Carl.”
Matanya berkobar ambisi lengkap dengan dendam yang membesar.
“Dan kupastikan ... tak ada yang bisa lari dari keinginanku termasuk kau, Katherine Dominique.”