Saran Anwar

1116 Words
Tidak seperti hari-hari sebelumnya di mana Mirna menghabiskan kampusnya hingga sore menjelang malam, hari ini Mirna bergegas pulang saat jam kuliah yang selesai pukul tiga. Mirna ingin membersihkan dan membereskan kamar kosnya, karena Anwar akan mengunjunginya sore ini. Jam lima lebih Om pastiin sudah di depan kamar kamu, sebuah pesan dari Anwar yang Mirna baca saat kuliah. Entah kenapa hari itu dia jadi semangat berkuliah dan presentasi kelompoknya berhasil meraih nilai tertinggi di kelas. Mirna puas melihat kamarnya bersih dan rapi. Dia harap Anwar mau masuk ke kamarnya dan merasa nyaman saat berada di dalamnya. Sudah ada cemilan seadanya dan botol tahan panas berisi teh panas, khusus untuk Anwar. Dengan perasaan senang, Mirna melangkah menuju kamar mandi. Mandi Mirna agak lama sore itu. Dia gosokkan tubuhnya dengan scrub. Padahal biasanya dia hanya memakai sabun cair. Entah kenapa dia menganggap kedatangan Anwar nanti adalah momen spesial. "Astagaaa. Mirnaaaa. Apa-apaan sih?" rutuknya saat membayangkan Anwar berada di dalam kamar kosnya. Mirna lagi-lagi menertawakan dirinya. Dia menyangka sahabat papanya itu menaruh hati kepadanya, sehingga mau menemuinya di kamar kosnya. Mirna yang terbuai membayangkan wajah dan tubuh seksi Anwar merasakan denyut-denyut di sekitar pangkal pahanya. Tubuh Anwar tanpa baju saat berenang masih terbayang jelas di benaknya. "Fokus, Mirnaaaa. Ampuuun," Mirna cepat-cepat menyelesaikan mandinya. Dia tidak mau terbuai lebih lama. Selesai mandi, Mirna keringkan rambutnya dengan mesin pengering rambut. Mirna ingin berdandan cantik tapi tidak terlalu berlebihan. Hanya bedak tipis dan lipbalm agar bibirnya terlihat lembab dan tidak kering. Mirna ikat rambut panjang tebalnya serapi mungkin. Dia tidak lupa memakai lotion di tubuhnya agar terasa lebih segar dan harum. Mirna juga memakai baju yang rapi. Mirna benar-benar ingin terlihat segar di mata Anwar sore ini. "Kenapa Om Anwar mau ke sini ya?" Mirna menghela napas panjang saat pertanyaan itu baru terlintas di benaknya di saat jarum pendek hampir mengenai angka lima. Mirna menggeleng tidak berani menebak alasan Anwar ingin bertemu dengannya. Dia juga menepis beragam dugaan yang mengarah bahwa Anwar ingin berdekatan dengannya. Tidak sampai lima menit Mirna duduk menunggu di atas lantai beralas karpet bambu, pintu kamarnya diketuk dari luar. Mirna bergegas menuju pintu kamarnya. Senyum Mirna langsung mengembang lebar saat melihat si pemilik tubuh indah dan wajah rupawan itu berdiri di hadapannya. Dia tarik napas panjang karena parfum dari tubuh Anwar sangat lembut dan nyaman singgah di pernapasannya. "Hai, Om nggak telat kan?" tanya Anwar sambil menyerahkan sebuah kantung kain berisi makanan. Mirna terkekeh. Dia buka pintu kamar kosnya lebar-lebar setelah meraih kantung berisi makanan dan membiarkan Anwar memasukinya. "Apa ini, Om?" tanya Mirna. "Martabak telur. Suka nggak?" Mirna mengangguk semangat. Kini aroma telur dari martabak sangat wangi tercium hidung Mirna. "Baru mandi?" tanya Anwar sambil melepas jas kerjanya dan meletakkannya di sampingnya. Anwar perlahan merebahkan tubuh tingginya dan duduk bersila di atas karpet bambu sambil mengamati sekeliling kamar Mirna. "Kok tau sih, Om?" tanya Mirna yang sedang menyiapkan minuman untuk Anwar. Kotak berbungkus Martabak sudah dia hidangkan di hadapan Anwar. "Kamar kamu bau sabun mandi," jawab Anwar yang mengamati tubuh Mirna yang terbalut kaos pink longgar dan celana selutut. Mirna memang sangat sopan. Mirna tertawa kecil. Baru menyadari kamarnya yang begitu kecil, sehingga bau dari kamar mandi yang bersatu dengan dapur dan tempat tidurnya bisa tercium hingga ke depan ruangan. Mirna juga meletakkan berbagai sabun dan wewangian di kamar mandinya. "Maaf, Om," ucap Mirna yang menduga Anwar tidak merasa nyaman dengan keadaan kamar kosnya. "Nggak papa," balas Anwar. Mirna duduk sopan di depan Anwar. "Gimana kuliah kamu?" tanya Anwar setelah menyeruput teh panas buatan Mirna. "Lancar. Hm ... Mirna senang kuliah di sini. Fasilitas yang Mirna harapkan semuanya ada di sini. Nyaman banget suasananya," "Pake apa kamu ke kampus?" "Angkot dulu. Trus baru pake ojek pas ke dalam kampusnya. Kalo jalan lumayan jauh," Anwar masih saja mengamati kamar Mirna. Kamar yang ditempati Mirna di rumahnya jauh lebih mewah dibanding kamar kos Mirna sekarang. "Betah kamu di sini?" tanya Anwar lagi. "Ya. Rame di sini. Ibu pemilik kos juga baik," "Kamu, nggak mau balik ke rumah Om?" Mirna menggeleng. Anwar tertawa kecil dengan pertanyaan konyolnya. Tentu Mirna tidak mau kembali ke rumahnya. Anwar yakin Mirna merasa lebih bebas di sini. Dia pernah kesal dengan Mirna yang pulang agak malam ke rumah. Mungkin Mirna kurang nyaman dengan sikapnya. "Apa kamu merasa nggak bebas di rumah karena Om yang terlalu ngawasin kamu, sampe kamu akhirnya pindah dan nggak mau balik atau main-main di rumah Om?" tanya Anwar ingin tahu. Selama pindah, Mirna memang tidak pernah mengabarkan keadaannya. Mirna bahkan memblok nomor kontak Anwar. Pandangan Mirna tertunduk. "Kayaknya ada yang kamu pendam. Boleh Om tau?" Mirna memberanikan diri menatap Anwar. "Paula, dia kan nggak suka Mirna," jawab Mirna. Anwar menghela napas panjang. Dia pikir setelah kejadian Paula memarahi Mirna yang memperhatikannya berenang, Paula tidak lagi kesal atau marah. Mirna bahkan rajin membuatkannya sarapan. Tapi dia sadari keduanya tidak dekat. Anwar pikir keduanya butuh waktu saling mengenal. "Kan bisa diatur. Paula memang Om manjakan. Dia nggak sungguh-sungguh marahi kamu waktu itu," Mulut Mirna bergerak-gerak seperti hendak menangis. Anwar tentu membela Paula. "Mulutnya jahat, Om," ujarnya pelan. Dia sebenarnya tidak mau menjelaskan lebih jauh perangai Paula kepada Anwar. Tapi dia pikir sekarang adalah saat yang tepat untuk menceritakannya. Anwar amati Mirna yang tertunduk. "Jahat gimana?" tanyanya. Mirna menggeleng. "Jelasin ke Om. Biar Om bisa ambil sikap," Mirna mengeratkan dua tangannya di atas pangkuannya. Duh, dia jadi teringat lagi saat-saat awal menginap di rumah Anwar. Sikap ketus Paula membuatnya sangat sedih. "Suruh-suruh Mirna. Kasar juga. Bilang Mirna t***l, kampungan, ganggu Mirna di kampus ... pas Mirna pindah ke sini, Paula nggak ganggu lagi," Anwar tersenyum hangat melihat wajah cemberut Mirna saat bercerita. Dia sadari Mirna adalah gadis yang sangat baik dan penuh tenggang rasa. Baru dia sadari Paula memang tidak menyukai kehadiran Mirna di rumahnya dan mengatakan bahwa Mirna hanya gadis kampungan. Tapi beberapa hari setelah Mirna menginap di rumahnya, Anwar pikir semua baik-baik saja. Paula bahkan menyukai sarapan buatan Mirna. "Kamu menyesal disuruh-suruh Paula? Buatin sarapan pagi untuk dia?" Mirna menggeleng. "Nggak. Malah senang dia mau habiskan sarapan. Tapi mulutnya Om. Kalo lagi marah sama Mirna ... pernah Mirna lagi makan di kampus, dia ganggu. Bilang Mirna miskinlah, nggak mampu beli makanan mahallah, kos murahlah," Akhirnya Mirna beranikan diri juga menceritakan apa yang dia alami selama di rumah Anwar. "Mirna senang di rumah Om Anwar. Tapi kalo dimarah-marahi dan dibentak, mana bisa Mirna betah," Anwar hela napas pendek. "Maafin dia ya, Mirna," Mirna mengangguk lemah. "Maafin Om juga," ucap Anwar kemudian. "Iya, Om. Mirna juga minta maaf ... seolah lupa kebaikan Om Anwar," Anwar lagi-lagi mengamati kamar kos Mirna. Tak sengaja dia melihat seorang laki-laki memasuki kamar kos yang berada tepat di sebelah kamar Mirna. "Kalo pindah ke tempat lain gimana?" ujarnya tiba-tiba. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD