Mirna terkesiap. Tidak menyangka ide Anwar bisa sejauh itu.
"Ha?" delik Mirna.
"Di sini nggak aman buat kamu, Mirna. Terlalu bebas. Tuh, barusan Om liat ada laki-laki masuk ke kamar sebelah dengan gampangnya. Ini kan kosan perempuan. Emang nggak ada peraturan gitu di sini?"
Mirna terdiam akan komentar Anwar mengenai keadaan kosnya. Dia benarkan dalam hati. Selama tinggal di kosan, beberapa kali Mirna mendengar suara-suara aneh di sebelah kamarnya, desahan perempuan dan lenguhan laki-laki, yang sedang memadu kasih.
Meski judulnya kosan perempuan, tetap saja siapapun bebas ke kamar. Padahal Ibu kos sudah menulis peraturan.
'Dulu pernah kita marahin yang suka masukin cowok ke kamar, eh malah kabur dan nunggak bayaran trus nyebarin gosip kalo ibu kosnya galak, berbulan-bulan kamar pada kosong. Yang parah lagi penduduk sekitarnya nih pada bilang ke ibu, udah, Bu, bebasin aja. Kalo kejadian kan tinggal lapor ke RT. Beres. Ternyata mereka tuh seneng kalo bebas, jadi rame ... dagangan mereka jadi pada laku'
Itu salah satu penjelasan Yuli kepada Mirna yang menanyakan kenapa kosan milik ibunya melonggarkan tamu laki-laki berkunjung. Dan ternyata penyewa kamar kos sebelah masih memiliki hubungan persaudaraan dengan pemilik kos. Apa boleh buat, pikir Mirna.
Dan sekarang dia tahu apa yang dikhawatirkan Anwar.
"Pindah ke mana, Om?" tanya Mirna sambil memainkan ujung baju kaosnya.
"Bagusnya pindah aja ke akomodasi on campus. Jadi kamu gampang ke kampus. Ada penjaganya. Kamu lebih aman di sana. Fasilitas juga wah. Pokoknya kamu tinggal belajar dengan fokus," jawab Anwar.
"Mahal biayanya," lirih Mirna pelan.
"Om yang bayarkan,"
Mirna memberanikan diri menatap Anwar yang terlihat sungguh-sungguh.
"Nggak usah, Om. Mirna nggak mau ngerepotin Om. Lagipula, Mirna sudah betah di sini," ujar Mirna. Sebenarnya dia segan berhubungan dengan Anwar, khawatir Paula mengetahuinya dan ujungnya pasti berwujud pertengkaran.
"Mirna nggak mau nanti Paula marahin Mirna lagi,"
"Yah ... Om nggak akan cerita ke dia,"
"Repot pindah-pindahin barang,"
"Om bantu. Om panggil orang yang akan angkat barang-barang kamu. Pokoknya kamu tau beres. Yang penting kamu nyaman,"
"Mirna udah nyaman di sini,"
Mirna masih merasa enggan menerima tawaran Anwar. Meski menggiurkan, tetap saja pikirannya terbebani. Mau tidak mau dia harus mengatur strategi agar terbebas dari amarah Paula. Dan itu pasti tidak mudah. Lebih baik dia tolak saja tawaran Anwar.
Anwar tatap wajah Mirna dengan perasaan agak kecewa. Dia tidak mau memaksakan kehendaknya.
Kepalanya memutar mengamati keseluruhan penjuru kamar Mirna.
"Ok ... senang bisa ketemu kamu sekarang. Om lega sudah tau di mana kamu tinggal," ucapnya seraya berdiri dari duduknya. Dia raih jas kerjanya dan memakaikannya ke tubuh besarnya. Anwar menduga Mirna tidak nyaman dirinya berlama-lama di kamarnya.
Mirna ikut berdiri. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. Rasanya cepat sekali Anwar mengunjungi kamarnya sore itu. Dengan perasaan kacau, dia biarkan Anwar melangkah menuju mulut pintu.
"Hm ... nanti kapan-kapan Om boleh ke sini lagi kan?" tanya Anwar yang dua kakinya sudah terbungkus sepasang sepatu.
Mirna mengangguk dengan wajah murung.
Anwar heran melihat sikap diam Mirna. Tidak ada sedikitpun senyuman di wajahnya.
"Ada apa, Mirna?" tanya Anwar.
Mirna menggeleng tidak mau menjawab. Matanya tampak menghindar dari wajah Anwar. Bibirnya terkatup rapat.
Anwar kebingungan. Tidak mungkin dia pergi meninggalkan Mirna yang cemberut.
"Hei. Ngomong dong. Ada apa nih?" tanya Anwar dengan tawa kecilnya. Dia merasa lucu dengan sikap Mirna yang cemberut. Menggemaskan.
Mirna lagi-lagi menggeleng.
"Please, Mirna. Ada apa. Om nggak bisa pergi ninggalin kamu cemberut begini," bujuk Anwar. Dia jadi tidak tega meninggalkan Mirna cemberut sendirian di kamar kosnya.
Mirna perlahan meraih tangan Anwar dan menariknya ke dalam kamarnya.
Anwar sedikit terperangah. Jantungnya seketika berdebar sangat keras. Apalagi saat berada di dalam kamar, Mirna menutup pintu kamar dan menguncinya. Mirna juga menutup gorden kamarnya.
Anwar tahan pikiran anehnya terhadap Mirna.
Mirna tarik Anwar menuju tempat tidurnya yang berada di balik sekat ruang depan.
"Mirnaaa," desah Anwar yang masih dilanda kebingungan.
Mirna duduk di atas dipan kasur tipisnya. Sementara Anwar berdiri di hadapannya.
"Maafin Mirna, Om. Mirna senang Om kemari. Mirna cuma salah sangka aja. Om jangan bilang siapa-siapa ya?" ujar Mirna setengah merengek.
Anwar tatap wajah Mirna yang matanya berkaca-kaca.
Ingin menenangkan perasaan Mirna yang sepertinya kacau, Anwar duduk bersimpuh di hadapan Mirna.
"Soal apa?" tanya Anwar dengan suara lembutnya.
"Perasaan Mirna sama Om," jawab Mirna. Dia mulai terisak.
"Maksudnya?" tanya Anwar yang semakin penasaran.
"Mirna suka Om Anwar," ucap Mirna memberanikan diri.
Anwar tertawa kecil. Tidak menyangka Mirna menyatakan rasa sukanya secepat ini.
"Rasanya aneh kalo Mirna menyukai laki-laki setua Papa. Mirna nggak tau kenapa ... Mirna ... suka sama Om Anwar. Om baik sama Mirna," aku Mirna. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Dia merasa sangat malu menyatakannya.
"Maaf, Om," ucap Mirna.
"Mirnaaa," desah Anwar. Dia usap-usap kedua lutut Mirna pelan-pelan sembari menatap wajah Mirna yang tampak berusaha menahan tangis.
Anwar bangkit dari simpuhnya dan duduk di samping Mirna.
Dia dekap bahu Mirna dan mengecup kepala Mirna dalam-dalam.
"Om juga suka kamu, Mirna," balas Anwar. Jantungnya berdegup-degup bahagia saat megucapkannya. Anwar merasakan kelegaan luar biasa. Tidak menyangka Mirna yang ternyata menaruh hati kepadanya.
"Om?" delik Mirna di tengah isaknya sembari menatap Anwar seolah tidak percaya.
"Ya."
Tangan Anwar merembet ke pinggang Mirna dan merekatkan ke sisi tubuhnya.
"Pindah ya, Sayang," ucap Anwar dengan nada membujuk.
"Om,"
"Di sini ... panas. Om kalo ketemu kamu panas-panas begini, Om nggak betah," ujar Anwar.
"Tapi kalo akomodasi on campus, Om nggak bisa semaunya ngunjungi Mirna seperti sekarang,"
Anwar menelan ludahnya membayangkan betapa sulit menemui Mirna di apartemen yang berada di dalam kampus.
"Atau kamu pindah ke apartemen yang ada di sebelah gedung kantor Om," usul Anwar kemudian.
Mirna mendelik.
"Tapi Mirna udah enam bulan bayar kosan ini,"
"Nggak papa. Itu malah lebih baik. Bilang aja kamu sedang pergi atau sibuk di luar. Jangan dulu ditempati. Jadi kamu nggak perlu bawa barang-barang kamu," ujar anwar sambil membelai rambut Mirna.
Mirna balas perlakuan Anwar dengan memeluk erat pinggang Anwar.
"Gimana. Mau? Kalo di sini panas. Om nggak bisa lama-lama. Kalo di apartemen yang Om bilang tadi, Om bisa lebih bebas mampir ke tempat kamu. Bisa tiap hari ketemu kamu. Pikiran Om juga lebih tenang."
Mirna sibukkan pikirannya dengan tawaran Anwar untuk pindah.
Ada keraguan yang menerpa pikirannya membayangkan seandainya Paula dan keduaorangtuanya yang berada di Semarang tahu hubungannya dengan Anwar. Pasti mereka semua kecewa.
Tapi Mirna juga tidak sanggup menahan keinginannya untuk lebih intens berdekatan dengan Anwar. Apalagi ternyata Anwar juga menyukainya.
"Iya, Om. Mirna mau," ujar Mirna saat melihat wajah Anwar yang berkeringat.
Anwar yang lega dengan jawaban Mirna, membimbing Mirna untuk berdiri bersamanya.
"Good girl," ucapnya.
Kini keduanya berdiri berhadap-hadapan saling tatap.
"Om pulang ya?" ujar Anwar yang melihat wajah Mirna yang sudah cerah.
Mirna mengangguk tersenyum.
Anwar perlahan mendekatkan tubuhnya ke tubuh Mirna, lalu memeluk tubuh ramping Mirna dalam-dalam.
"Oooh," desah Anwar yang merasakan kelegaan. Gadis yang selalu membayangi pikirannya baru-baru ini berada di dalam pelukannya. Kebahagiaannya lengkap saat Mirna membalas pelukannya, seolah Mirna tidak ingin dia pergi di sore yang mulai beranjak malam.
Anwar yang menginginkan kesempurnaan harinya perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Mirna. Dia kecup bibir mungil Mirna, lalu melumatnya dengan penuh kelembutan.
Mirna mendesah panjang saat bibirnya dilumat lembut bibir Anwar. Dia biarkan jantungnya berdegup-degup senang saat Anwar mengusap leher belakangnya dengan mengurutnya pelan. Anwar tampak piawai berciuman. Dia mainkan bibir Mirna yang bertaut dengan bibirnya tanpa membasahinya. Dia ingin Mirna merasa nyaman.
Keduanya tenggelam dalam kerinduan yang belum tuntas. Ingin merasakan sentuhan Anwar selanjutnya, Mirna biarkan Anwar membimbingnya rebah di atas kasur kecilnya.
"Sayang," ucap Anwar yang sudah menindih tubuh Mirna. Dia daratkan kepalanya ke leher Mirna dan memberinya kecupan-kecupan lembut di sana.
Mirna yang terbuai, meremas-remas rambut ikal Anwar tanpa pandu. Dia mendesah dan mengerang menikmati denyut-denyut bahagia yang dia rasakan di seputar bagian bawah tubuhnya.
Bersambung