Episode 5: Menikah demi Aleo

1989 Words
Seperti tau isi kepalaku, jam 5 pagi Gustian menelpon untuk menanyakan keberadaan kami.  "Kau dimana?" "Tentu saja dirumah" "Entah mengapa aku punya pirasat kau akan membawa Aleo pergi" "K ka kau gila" "Kenapa? Apa tebakanku benar?" Aku tergagap. Bagaimana mungkin laki-laki itu tau apa yang kupikirkan? "Dengar Nola, jika kau membawa Aleo pergi maka jangan salahkan aku jika mommy mencari tau segalanya. Saat itu mungkin sudah terlambat bagimu untuk menyadari kebodohanmu. Berterima kasihlah pada hasil tes DNA yang menyatakan kalau aku ayahnya, karna dengan begitu fokus mereka teralihkan dan tidak mencari tau apa kau ibu kandung Aleo atau bukan. Jadi jangan bertindak bodoh" Telpon diputus begitu saja. Aku langsung lemas dan terduduk dilantai dengan mata berkaca-kaca. Haruskah? Haruskah aku menikah dengan orang itu? Gustian Alexandro, CEO sekaligus pemilik hotel ternama dijantung kota jakarta. Bukan hanya itu, dari penelusuran google yang sempat kulakukan beberapa hari yang lalu dia juga pemilik beberapa gedung apartemen dan pusat perbelanjaan di kota yang sama. Meskipun malas untuk mengakuinya, Gustian adalah pria tampan yang baru memasuki usia 30an. Dengan tubuh tinggi dan rupa yang memikat, aku yakin Gustian adalah idaman semua wanita. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan laki-laki seperti itu? *** Hari belum terlalu siang saat orang itu, ibu Gustian, berdiri dengan angkuhnya didepan pintu apartemen kami. Kupersilahkan beliau masuk dengan sopan dan kuhidangkan beberapa cemilan dan buah untuk beliau. Dia mengabaikanku. Fokusnya hanya pada Aleo yang terus mengekor padaku karna takut pada neneknya sendiri. Kuraih tangan Aleo yang sedari tadi berpegangan pada ujung kemejaku dan kuajak dia duduk sedikit jauh dari neneknya. "Aku harus mengenalkan anda sebagai apa pada Aleo bu?" Aku memulai pembicaraan meskipun sedikit canggung. "Aleo ayo kemari" Dia mengabaikanku. Terlihat jelas kalau dia sama sekali tidak menyukaiku. Sedangkan Aleo, dia semakin erat mengenggam tanganku karna ibunya Tian terus saja menatap penuh cinta padanya "Tidak apa-apa sayang. Dia ibunya paman Tian jadi Aleo harus memanggil dia dengan sebutan nenek. Ayo cium tanganya dan ajak dia kenalan! Aleo mama kan anak pintar" Aleo anak yang berani dan cepat bergaul. Hanya saja dia sedikit sensitif pada orang yang bermuka garang. Salah sendiri neneknya selalu menunjukan muka tak bersahabat padaku. Aleo jadi salah mengartikan bahwa neneknya itu orang galak dan menakutkan. "Apa harus mama temani?" Aleo menggeleng dan perlahan melepaskan genggaman tangannya padaku. Meskipun masih takut dan ragu-ragu Aleo mendekati neneknya yang sedari tadi mengulurkan tangan ingin memeluk Aleo. "Cucunya nenek, Aleo sayang" Kulihat beliau terus mencium pucuk kepala Aleo setelah Aleo berada dipelukanya. Wanita yang sedari tadi menunjukan raut wajah tak bersahabat itu kini terlihat begitu penyayang dan penuh kasih. Matanya berkaca-kaca. Akupun memalingkan muka guna menyembunyikan air mata yang perlahan jatuh di pipiku. Tuhan semua ini salahku, harusnya aku segera mempertemukan mereka beberapa tahun yang lalu. "Bu aku akan memanaskan sayur kalau ibu tidak keberatan makan sianglah bersama kami." Beliau hanya mengangguk, tak sedikitpun punya niat untuk membalas ucapanku. Kutatap Aleo yang masih berada dipelukan neneknya. "Sayang mama mau masak dulu. Aleo temani nenek ya, main sama nenek dulu, mama janji tak akan lama" "Iya ma" Kutinggalkan mereka berdua untuk menghabiskan waktu bersama. Aleo yang sudah terbiasa ditinggal saat aku bekerja, perlahan-lahan menjadi sosok yang mudah bergaul dan tidak banyak menuntut. Entah itu sesuatu yang harus kusukuri atau malah menjadi bumerang untukku nantinya. Ada ketakutan menyusup secara pasti kerelung hatiku yang paling dalam. Aku takut Aleo segera terbiasa berpisah denganku. Lalu aku sanggupkah aku terbiasa tanpa Aleo? Dan hatiku semakin sakit saat menyadari Aleo berhak berada disisih keluarga kandungnya bukan bersamaku yang tak memiliki aliran darah denganya. "Berhenti menangis Nola. Air matamu bisa masuk kedalam sayur yang kau masak" Suara itu? Gustian? Sejak kapan dia ada disini? Apa dia datang karna tau ibunya akan kesini? Aku hanya diam dan terus memasak tanpa menoleh sama sekali ke arahnya. "Ada yang harus kubahas bersamamu kapan kau punya waktu?" "Sekarang aku pengangguran kapanpun aku punya waktu" "Selesai makan kita bicara dan biarkan Aleo bersama mommy agar kita bisa leluasa membahas tentang pernikahan kita" "Me menikah? Haruskah?" "Tak ada pilihan lain Nola atau kau mau aku menikah dengan orang lain dan sepenuhnya mengambil alih hak asuh atas Aleo?" Aku terdiam. Apa sebaiknya seperti itu ya? Jika seperti itu, aku tidak perlu hidup penuh dengan tekanan, aku tidak perlu hidup dengan kepura-puraan. Tapi bagaimana dengan Aleo? Apa Aleo akan baik-baik saja jika tanpaku? Kak Hilda apa yang sebaiknya kulakukan untuk putramu?  Haruskah aku tetap menepati janjiku padamu untuk terus menjaga Aleo meskipun itu semua mengorbankan masa depanku? Haruskah aku menikahi laki-laki yang sudah menelantarkanmu dan Aleo? Haruskah aku hidup satu rumah dengannya orang yang dulu mungkin begitu kau cintai?  Seratus kali berpikirpun percuma, karna aku sudah tau jawabanya sejak lama. Aku tau aku harus, aku tak bisa mundur. Air mata kembali mengalir saat kukatakan padanya aku bersedia menikah denganya. "Baiklah untuk Aleo apapun akan kulakukan" Gustian dan aku sama-sama menghela nafas berat pertanda bahwa kami sebenarnya sama-sama tak menginginkan pernikahan ini. *** Ibu Gustian tak henti-hentinya menatap Aleo yang makan dengan sangat lahap. Sesekali anak itu membersihkan pipinya yang belepotan terkena remahan nasi. Dia memaksa untuk makan sendiri walaupun masih sering berantakan. Beliau tersenyum, aku tau dari tatapanya dia pastilah sangat menyayangi Aleo. Sedang Gustian, dia hanya memakan makananya dalam diam. Sesekali dia melirik Aleo yang asik sendiri tanpa memperhatikan sekitarnya. Aku memilih tidak makan. Entah mengapa melihat mereka berkumpul dalam satu meja makan saja sudah membuatku kenyang karna bahagia. Selesai makan aku langsung membersihkan dapur dan meja makan sedang Aleo sudah asik bermain dengan Gustian dan ibunya. Mereka bersikap begitu hangat pada Aleo dan bersikap sangat dingin padaku seolah aku adalah kesalahan fatal yang tak bisa mereka hapuskan. "Aleo mama harus kerja Aleo tidak apa-apa kalau mama tinggal sama nenek?" Aku harus berbohong pada Aleo demi mencari waktu untuk membahas masalah pernikahanku dan Tian. Kami tidak mungkin membahasnya disini bersama ibunya Gustian yang mungkin saja ingin tau segalanya tentang rahasia yang sengaja kami sembunyikan. Aleo tampak tidak rela. Tapi seperti biasanya dia mengangguk dan langsung mencium tanganku. "Mama jangan lama-lama ya" "Iya sayang mama janji akan pulang lebih awal" Aku mencium Aleo dan menyerahkan botol susunya pada nenek Aleo. Sebentar lagi Aleo pasti mau minta s**u dan tidur siang. Aku yakin mengingat nenek Aleo bukanlah orang sembarangan neneknya pasti tak punya pengalaman membuatkan s**u untuk balita. *** Dan disinilah aku, diruang kerja Tian orang yang nantinya akan jadi suami sementaraku. "Siapa yang akan menjadi wali nikahmu?" Aku menggeleng, pertanda aku tidak tau siapa orang yang pantas mejadi wali dalam pernikahanku. Bukankah aku anak yatim yang dititipkan di panti asuhan? "Aku punya orang tua angkat, tapi sampai matipun aku tidak akan mempermalukan mereka dengan meminta mereka datang ke pernikahan anaknya yang bahkan sudah punya seorang balita" "Baik aku akan mencarikan wali hakim untukmu. Lalu kau punya KTP kan?" "Tentu saja" Aku menyerahkan kartu kependudukanku pada Tian. Dia tak banyak bicara. Orang kepercayaanya yang sejak tadi menemani kami sibuk mengurus dokumen2 yang diperlukan untuk pernikahan singkat kami. "Danu jika sudah selesai pergilah ke kantor KUA dan temui orang yang bernama Krisna, dia akan mengurus semuanya untukmu" "Baik pak. Kalau begitu saya permisi" Sepeninggal Danu, Tian mengeluarkan 2 buah surat perjanjian diatas materai. Aku yakin kedua surat ini hanya aku dan Tian yang boleh tau. "Yang satu surat perjanjian peraturan pernikahan antara kau dan aku dan yang satu adalah surat perceraian. Kau boleh menambahkan sarat apapun dalam kedua surat tersebut" Aku ternganga tak percaya. Kami bahkan belum menikah lalu bagaimana mungkin dia sudah memintaku menanda tangani surat perceraian kami? "Surat cerai ini hanya untuk berjaga-jaga, mana tau kau menjadi serakah dan lupa siapa dirimu" "Kau... beraninya kau merendahkanku? Kau takut aku tidak ingin berpisah denganmu setelah kita bersama? Jangan bermimpi, bahkan aku sangat bersyukur pernikahan ini dirahasiakan. Dengan begitu diluar sana aku masih memiliki kebebasan untuk mencari seorang suami" "Baguslah kalau begitu. Bacalah dan segera tanda tangani" Gustian meninggalkanku sendirian diruanganya. k****a poin demi poin yang dijanjikan Tian untukku maupun Aleo. Entahlah aku harus bahagia atau sedih dengan pernikahan ini. SURAT PERJANJIAN PRANIKAH Pihak pertama : Gustian Alexandro Pihak Kedua : Elian Winola 1. Setelah menikah pihak pertama dan pihak kedua akan tinggal dirumah pihak pertama. 2. Pihak kedua harus merahasiakan pernikahannya dari siapapun termaksud orang terdekat. 3. Pihak kedua dilarang dekat dengan pria manapun selagi berstatus istri pihak pertama. 4. Pihak pertama akan menjamin semua kebutuhan materi untuk pihak kedua. 5. Pihak kedua akan dikenakan sanksi sebesar 5 milyar jika memutuskan hubungan pernikahan secara sepihak. Sebelum menandatangani surat perjanjian pranikah aku langsung menambahkan poin ke 6 yang mungkin saja sengaja Gustian lupakan. 6. Tidak diperbolehkan adanya skinship antara kedua belah pihak kecuali dalam situasi terpaksa. Setelah menambahkan poin terakhir aku segera membubuhkan tanda tanganku pada lembar perjanjian sialan itu. Kubaca surat cerai beserta perjanjian yang ada didalamnya. Hatiku sedikit teriris saat membaca poin demi poin yang Gustian cantumkan disana. Bukan karna tidak iklas terhadap apa yang dia tulis, tapi lebih karna teringat apa yang dikatakanya beberapa saat lalu. Benar kata Tian. Siapa tau aku jadi serakah dan ingin hidup bahagia bersama mereka dan tak menginginkan perceraian. Cepat-cepat kutanda tangani surat cerai itu. Aku takut apa yang dikatakan Tian suatu hari nanti jadi kenyataan mengingat Tian adalah laki-laki dengan sejuta pesona dan kekayaanya yang luar biasa. Jika tidak sekarang, mungkin nanti aku sudah tak sanggup lagi menandatangani surat ini. Sebelum itu kucoret bagian pembagian harta dan uang kompensasi perceraian. Aku seperti menjual Aleoku pada mereka jika aku jadi serakah untuk memilikinya. Bagiku harta yang paling berharga adalah saat melihat Aleoku bahagia. Tepat setelah aku menandatangani kedua surat itu, Tian kembali. Kuserahkan kedua surat itu pada Tian untuk ditanda tanganinya juga. Tian hanya menanda tangani surat perjanjian pranikah dengan sedikit kerutan dikeningnya. "Surat cerai akan kutanda tangani saat kita telah sepakat untuk mengakhiri pernikahan kita. Dan juga untuk poin ke 6 yang sengaja kau tambahkan itu, kau tidak perlu takut, aku punya seseorang dan aku malah takut kaulah yang nantinya tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhku" "Jangan gila, aku juga punya seseorang..." "Kau ingat perjanjianya. Selama jadi istriku kau tidak boleh dekat dengan laki-laki manapun" "Jadi kalau mata dan tanganku lapar ingin melihat dan menyentuh sesuatu yang berkilau aku harus apa?" "Cukup pandang dan sentuh suamimu" Gustian tersenyum licik. Tentu saja aku benci keadaan dimana laki-laki bisa seenaknya dan perempuan tidak diperbolehkan untuk itu. "Jangan harap. Kita berdua tidak berhak ikut campur urusan pribadi masing-masing" Kutinggalkan kantor Gustian dengan perasaan kesal. Apa benar kak Hilda menyukai laki-laki seperti itu? Rasanya aku ingin kembali dan menuntut penjelasan panjang lebar darinya. Tapi kupikir setelah ini kami akan memiliki waktu yang sangat panjang untuk bicara. Saat itulah akan kutanyakan banyak hal tentang kakak yang sama sekali tidak kuketahui. *** Weding Day "Saya terima nikahnya Elian Winola binti Ginanjar Surya Adipati dengan mas kawin tersebut tunai" "Bagaimana saksi" "Sah" "Sah" Air mataku mengalir saat Gustian resmi menjadi suamiku. Secara agama dan secara hukum kini kami adalah pasangan suami istri. Aleo memelukku penuh cinta saat Gustian menyematkan cincin berlian merah muda dijariku dan mengecup keningku singkat sebagai tanda sudah sahnya kami sebagai suami istri. Akupun secara khidmat mencium punggung tangan Gustian. Sesaat aku benar-benar merasa seperti seorang pengantin. Tapi segera kutepis perasaan itu mengingat kami menikah hanya untuk membawa Aleo kembali kekeluarga kandungnya. Pernikahan kami benar-benar pernikahan tertutup yang hanya dihadiri beberapa orang kepercayaan Gustian saja. Bahkan ayah kandung Gustian tidak berada disana menyaksikan pernikahan putranya. Mungkin aku adalah aib yang tidak ingin beliau ketahui. Menurut kabar yang kudengar dari pembantu rumah tangga Gustian, Gustian dan ayahnya sempat bertengkar karna pernikahan yang akan dilangsungkan putranya. Aku dan Aleo sudah tinggal dirumah Gustian sejak beberapa hari sebelum pernikahan kami dilangsungkan. Selama itu pula tak sekalipun aku melihat ayah Gustian. Setelah hari ini hariku tak akan sama, tapi percayalah Aleo apapun akan mama lakukan demi membahagiakanmu. Mama hanya bisa berharap kau akan segera terbiasa dengan keluarga barumu agar mama juga bisa melanjutkan hidup mama... Mama hanya takut menjadi serakah sayang, maka cepatlah dekat dengan mereka agar mama tak terlalu kesulitan saat pergi nanti. to be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD