Biasanya saat membuka mata sosok yang pertama kali kulihat adalah Aleo yang sedang tertidur lelap. Rasanya sedikit asing saat pemandangan itu tidak kulihat pagi ini. Gustian yang tidur menghadap kearahku membuatku tak segera bangkit seperti biasanya. Kupandangi wajah Tian begitu lama. Sedikit banyak aku menyadari alasan mengapa kak Hilda menyukai laki-laki ini. Dia berwibawa juga bertanggung jawab.
Aku langsung memalingkan mukaku dan segera berdiri saat kulihat pergerakan dari Gustian. Beruntung dia belum bangun dan memergokiku yang sedang menatap wajahnya. Akupun keluar dari kamar dan menuju kamar Aleo. Sebelum turun kedapur, kusempatkan diri mencium kening si kecil.
Pukul 07.10 saat Gustian dan Aleo turun ke meja makan. Tak seperti biasanya, hari ini sekali lagi kami berkumpul dimeja makan bersama ayah Gustian yang tak lain adalah kakek Aleo. Entah kapan beliau datang.
"Rani tolong ajak Aleo makan didepan ya"
Rani langsung mengangguk dan bersiap mengajak Aleo pergi.
"Biarkan saja dia makan disini"
Aku terkejut. Larangan ayah Gustian sangat membuatku takut mengingat beliau yang belum sepenuhnya menerima kehadiran Aleo dirumah ini dan mengingat kata-kata kasarnya waktu itu.
"Dad kumohon jangan mulai lagi"
Gustian angkat bicara seperti memahami kegelisahanku.
"Kenapa? Apa salahnya jika aku ingin makan dimeja yang sama dengan cucuku?"
Aku langsung menatap kearah ayah Gustian yang tersenyum sangat ramah pada Aleo. Gustian dan ibunya hanya saling pandang dengan perasaan heran.
"Jadi kau sudah mengakui kalau dia adalah cucumu?"
kali ini ibu Gustian lah yang berbicara
"Dia memang cucuku, hanya saja selama ini aku belum bisa menerima kehadiranya. Tapi untukmu maaf saja, kau tidak punya tempat dirumah ini"
Aku hanya mengangguk patuh. Bagiku mereka yang sudah bisa menerima kehadiran Aleo saja adalah kebahagiaan terindah yang kumiliki saat ini. Aku tidak mengharapkan apapun, sungguh.
Air mataku jatuh begitu saja karna bahagia. Tak ingin memperlihatkan air mataku pada Aleo aku memilih kedapur dengan alasan sudah selesai makan.
Aku bahagia, sungguh aku bahagia.
***
"Apa kau baru saja menang undian?"
Novi bertanya karna tak tahan melihatku yang sejak tadi terus menerus tersenyum.
"Lebih dari itu"
"Sudahlah kau pasti tak akan menceritakan apapun. Berita ini jauh lebih menarik. Hidupmu itu sungguh penuh dengan misteri. Sama seperti pemilik hotel ini"
"Memangnya ada berita apa?"
Aku sedikit penasaran dengan berita yang dimaksud oleh Novi.
"Pak Tian akan segera bertunangan dengan wanita kemarin"
"Maksudmu Kirana?"
"Iya siapa lagi"
Tiba-tiba dadaku terasa ngilu. Perkataan Novi seperti sebuah alarm yang kembali mengingatkanku waktuku bersama Aleo semakin sedikik. Dan juga apa ini alasan Tian akan kembali kerumah utama? Aku tau diri, aku tak berhak ikut campur.
"Tadi senyum sendiri, sekarang melamun lagi. Kenapa? Syok ya? Jangan-jangan kamu bukanya naksir Danu tapi malah naksir pak Tian"
Ucapan Novi langsung menyadarkanku.
"Kau memang paling pintar membuat spekulasi"
---
"Permisi, saya sudah pesan kamar dari.... kak Nola?"
Aku terkejut setengah mati saat melihat siapa yang ada didepanku ini.
"No Noah"
Aku langsung keluar dari meja resepsionis dan berlari memeluk Noah. Laki-laki ini, laki-laki yang tumbuh besar bersamaku, laki-laki yang dipercaya hadir dirahim ibu angkatku karna telah berbaik hati mengadopsiku. Laki-laki yang hanya terpaut usia 2 tahun denganku. Dia Noah, adik laki-lakiku tepatnya adik angkatku.
"Kak Nola"
Noah semakin erat memelukku dengan mata berkaca-kaca.
"Kakak aku merindukanmu, kami semua merindukanmu, kakak kemana saja?"
Suara Noah bergetar menahan tangis.
"Apa kau akan menginap disini? Apa kau sudah memesan kamar?"
Noah hanya mengangguk dan menyerahkan ponselnya sebagai bukti kalau dia sudah melakukan transaksi pemesanan kamar melalui situs online. Aku langsung menyeret Noah mengikutiku menuju kamar pesananya setelah mendapatkan persetujuan dari Novi. Kami perlu bicara setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
Setelah sampai dikamar aku kembali memeluk Noah dan menangis tersedu-sedu. Aku merindukan mereka, tapi sungguh aku sangat takut untuk pulang.
"Mengapa kakak tidak pernah memberi kabar pada kami? Mama sangat sedih karna kakak tidak pernah pulang"
"Kau pasti tidak akan percaya seperti apa hidup kakak beberapa tahun ini. Kakak bukanya tidak mau memberi kabar, tapi kakak kehilangan ponsel kakak sesaat setelah kakak tiba di Jakarta"
Noah langsung menarikku mendekatinya. Ternyata Noah sedang melakukan panggilan vidio dengan mama.
"Nola?"
Mama langsung berteriak dan menangis saat melihatku. Akupun tak bisa membendung kesedihanku saat menatap wajahnya yang terlihat lebih kurus dari sejak aku meminta izin padanya untuk meninggalkan rumah.
"Mama"
Tak ada yang bersuara. Kami bertiga hanya menangis, menangis untuk meluapkan perasaan rindu yang sudah bertahun-tahun ini kami pendam.
Setelah puas menangis dan bertanya kabar, akupun pamit pada Noah dan berjanji akan menemuinya kembali jika jam kerjaku sudah berakhir. Tak lupa kurapikan riasanku yang sudah tak berbentuk lagi karna air mata.
Sesampainya dimeja resepsionis Novi langsung menanyakan siapa Noah padaku. Aku hanya mengatakan bahwa Noah adalah kerabat dekatku yang tinggal diluar kota dan sudah lama tidak bertemu.
aku tidak ingin Novi atau siapapun mengetahui hubungan keluarga yang begitu rumit antara aku dan Noah.
***
"Ponselmu tidak bisa dihubungi jadi aku langsung datang kesini. Hm itu malam ini pulanglah kerumah itu, temanilah Aleo. Malam ini aku tidak akan pulang"
Gustian menatapku penuh selidik.
"Jadi malam ini kau akan tidur dimana?"
"Itu, aku akan tidur dirumah Novi"
Sebelum menemui Tian aku sudah memikirkan alasan apa yang akan kukatakan padanya.
"Katakan saja kalau aku mendapat sip malam jika Aleo menanyakan keberadaanku"
"Baiklah"
Aku langsung bernafas lega saat Gustian memberiku izin. Jujur aku tak pandai berbohong. Kalau Gustian bertanya lebih banyak lagi, aku yakin dia pasti akan mengetahui kegugupanku. Aku segera keluar dari ruang kerja Gustian setelah mendapatkan izin darinya.
Malam ini akan kuhabiskan waktu bersama Noah adik kesayanganku itu. Bertemu Noah entah mengapa seolah memberi ruang di dadaku untuk bernafas lebih leluasa. Benar kata orang, keluarga adalah obat yang paling baik saat hatimu terluka.
Aleo, hari ini adalah hari pertama kita berpisah dari pagi hingga ke pagi lagi. Mama tidak tau apakah kau akan baik-baik saja tanpa mama. Tapi sayang mama mohon tolonglah mama tolong cepatlah terbiasa. Mama takut jika lebih lama lagi mama lah yang mungkin tidak bisa terbiasa tanpa kehadiranmu.
***
Noah menceritakan banyak hal padaku, tentang mama, tentang papa dan juga tentang si bungsu Nancy yang sekarang sudah duduk di bangku SMA. Nancy tumbuh menjadi sosok gadis yang begitu cantik dan menggemaskan. Noah juga tumbuh menjadi laki-laki tampan yang luar biasa.
"Kak Nola harus pulang atau bagaimana kalau besok kita susul kak Noah ke Jakarta? Boleh ya ma?"
Nancy yang tengah melakukan panggilan vidio bersama kami langsung memohon kepada mama untuk segera menemuiku.
"Jangan Cici. Nanti kapan-kapan kak Nola akan pulang menemui kalian. Kakak janji"
Kami terus bercerita panjang lebar, mengocehkan ini dan itu seperti tidak akan ada hari esok. Menyadari hari sudah larut malam, kamipun segera mengakhiri obrolan. Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat bel kamar Noah berbunyi. Siapa? Apa Noah memesan sesuatu? Tapi inikan hampir jam 12 malam.
"Noah siapa yang datang?"
Aku hanya bertanya pada Noah yang sudah membukakan pintu tanpa berniat sama sekali untuk melihat siapa yang datang.
"Hei kau siapa? Ada apa ini?"
Noah sepertinya sedang mencegah seseorang masuk kekamar yang sudah dia pesan. Siapa? Aku yang penasaran langsung terkejut saat melihat Gustian yang sudah berdiri dengan wajah merah menahan marah dihadapanku.
"K ka kau?"
Tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu, Gustian langsung menarik tanganku dan melewati Noah begitu saja. Noah yang tidak mengerti apa-apa spontan langsung menghentikan tindakan Gustian yang menurutnya sangat kasar.
"Jangan ikut campur"
"Bagaimana mungkin aku tidak ikut campur dia..."
Sebelum sempat menyudahi ucapanya Gustian tanpa babibu lagi langsung melayangkan pukulan pada Noah berkali-kali.
"Tian hentikan berhenti Tian"
Aku berusaha memisahkan mereka yang sekarang malah saling memukul. Aku tau Noah pandai berkelahi, aku takut baik Noah maupun Tian akan terluka lebih parah jika mereka tidak segera dipisahkan.
"Noah hentikan, Noah berhenti kataku"
Noah langsung berhenti memukul Tian karna berada dalam pelukanku. Lain halnya dengan Tian, dia masih terus saja melayangkan pukulanya pada Noah.
Noah yang posisinya sedang membelakangi Tian sama sekali tidak tau kalau Tian sudah bersiap untuk memukulnya lagi. Saat itulah aku membalikan posisi kami dengan cepat dan saat itu pula kurasakan ngilu yang teramat sangat pada bagian belakang kepalaku.
"Nola"
Gustian langsung memegangi tubuhku yang terhuyung-huyung akibat pukulanya.
"Lepaskan tanganmu berengsek"
Aku langsung mencegah Noah yang sudah bersiap untuk memukul Tian lagi.
"Cukup Noah, aku tidak apa-apa"
Setelah bisa menguasai diri, akhirnya aku memutuskan untuk segera pulang bersama Tian.
"Tian ayo pergi, sepertinya ada sesuatu yang sangat mendesak sampai-sampai kau mencariku kemari"
Aku memegangi kepalaku yang masih terasa ngilu sambil berpamitan pada Noah.
"Besok akan kujelaskan semuanya padamu, untuk saat ini tolong rahasiakan semuanya untukku"
Noah ingin bertanya padaku, tapi aku segera menatapnya memohon agar dia membiarkanku pergi saja malam ini.
***
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Ini untuk pertama kalinya setelah menjadi suami istri aku dan Tian berada dalam satu mobil. Malam ini Tian memintaku pulang bersamanya mengingat akan sangat berbahaya bagiku jika menggunakan taksi ditengah malam seperti ini.
"Aleo sakit."
Aku sangat terkejut mendengar kabar yang Gustian bawa untukku.
"Aleo kenapa? Apa sakitnya parah?"
Aku tidak bisa menyembunyikan raut wajah khawatir saat menanyakan keadaan Aleo pada Gustian.
"Tidak Nola. Dia hanya demam. Tapi dia terus saja mengigau mencarimu. Aku sudah memanggil dokter sebelum pergi menjemputmu."
Aku bisa sedikit bernafas lega saat tau kalau Aleo hanya demam. Cuaca yang belakangan ini jadi sangat panas mungkin adalah alasan mengapa Aleo bisa jatuh sakit.
"Gustian kau berdarah"
Aku langsung memberikan tisu pada Tian untuk membersihkan sisa darah yang keluar dari sudut bibir Tian karna perkelahiannya dan Noah tadi.
"Kau melanggar poin ke 3 Nola"
"Jangan pikirkan soal itu, tapi apa kau tidak perlu kerumah sakit?"
"Tidak, ini hanya luka kecil"
"Lagipula siapa suruh kau berkelahi dengan Noah? Dia itu pandai berkelahi dan dia juga belajar...."
"Diam jangan sebut nama orang itu lagi"
Aku langsung terdiam saat Tian meninggikan suaranya padaku. Tak ada yang kembali membuka percakapan selama perjalanan pulang. Aku tau Tian marah, apalagi saat membuka ponselku yang sejak tadi kuabaikan dan masih dalam mode diam.
Ternyata Rani sudah puluhan kali menghubungiku. Baik menggunakan ponselnya maupun menggunakan telpon rumah. Kali ini aku yang salah, karna terlalu senang bertemu dengan Noah lagi, aku lupa bahwa ada seseorang yang mungkin mencariku untuk menemaninya tidur. Ya dia Aleo, Aleo putraku.
Sesampainya dirumah aku langsung mendapat tatapan tajam dan tidak suka dari ayah dan ibu Gustian yang entah mengapa masih belum tidur ditengah malam begini.
"Jadi kamu keluyuran kemana?"
"Sudahlah mom Nola harus segera bertemu Aleo. Naiklah ke atas Nola, Aleo pasti sangat membutuhkanmu"
Aku langsung berlari kekamar Aleo dan mengabaikan tatapan penuh selidik dari orang tua Gustian.
"Rani bagaimana keadaanya?"
"Sudah baikan nyonya, Aleo sudah tertidur pulas setelah meminum obatnya"
"Syukurlah"
Aku langsung bernafas lega dan mencium kening putraku.
"Maafkan mama sayang, maafkan mama"
Aku menangis sesunggukan, tak bisa lagi menahan kesedihanku saat melihat Aleo yang terbaring lemah.
"Kau bisa membangunkan Aleo jika terus-terusan menangis Nola."
Gustian menghampiriku dan langsung membawa Aleo dalam gendonganya.
"Malam ini Aleo akan tidur bersama kita. Aku dan kamu akan bergantian untuk memantau suhu tubuhnya jadi berhentilah menangis."
Aku hanya mengangguk meskipun tak dapat dengan segera menghentikan air mataku. Kuikuti Gustian yang sudah lebih dulu berjalan kearah kamar kami.
Sesampainya dikamar, Gustian membaringkan Aleo dengan sangat hati-hati. Mungkin dia takut Aleo akan terbangun mengingat dia yang tidak bisa tidur nyenyak karna sedang sakit.
"Tidurlah, aku akan berjaga lebih dulu"
"Tidak Tian sebaiknya kau segera tidur, biarkan aku yang menjaga Aleo"
"Jangan keras kepala Nola"
Aku sama sekali tidak menuruti keinginan Tian. Mana mungkin aku bisa tidur nyenyak? Bagaimana jika suhu tubuh Aleo tiba-tiba naik lagi? Tidak tidak, aku tidak boleh tertidur. Setelah memastikan Aleo tidak terbangun, aku segera kekamar mandi dan mencuci mukaku. Kepalaku yang masih terasa pusing mengingatkanku bahwa luka seseorang diluar sana perlu diobati segera.
Dengan sedikit ragu, kuhampiri Gustian yang sejak tadi sudah berbaring didekat Aleo.
"Kemarilah, akan kuobati lukamu"
"Tidak perlu Nola"
"Jangan keras kepala Tian. Jika kau terus mengajaku berdebat maka kau akan membangunkan Aleo yang baru saja tertidur"
Akhirnya Tian pun menurut dan langsung duduk ditepi ranjang menghadap kearahku. Ku oleskan salap anti memar yang mungkin saja akan berbekas keesokan harinya diwajah mulus Gustian. Dia hanya meringis dan sesekali memegangi tanganku yang sedang mengoleskan obat pada lukanya.
Gustian terus menatapku yang sedari tadi masih mengobati lukanya. Entahlah hanya perasaanku saja atau wajah Gustian memang semakin dekat dengan wajahku. Aku terkejut, mana mungkin? Tidak jangan bilang dia akan menciumku? Aku langsung memejamkan mata dan reflek tanganku menahan bahunya.
Ada apa dengan semua ini?? Mendapati gerakan Gustian yang semakin mendekat, jantungku. Rasanya jantungku mau keluar dari tempatnya.
to be continue...