Bukan Mimpi Indah

1302 Words
Ariena terjebak dalam situasi tak menguntungkan, saat pertanyaan Juan membuat ia harus memaksa salivanya yang tersangkut turun dengan cepat melewati tenggorokan. Ia terdiam beberapa sekon dengan debaran kacau. Mengingat Radit sama halnya mengoyak luka yang sudah tergores terlalu dalam di dasar hatinya. Radit pergi meninggalkannya seorang diri setelah merenggut semua miliknya. Rasanya ingin berteriak saat rasa sakit terus mengikis kewarasan. Sungguh, Ariena sama sekali tidak menyangka jika ia bisa tertipu sedemikian rupa. Banyak kata manis yang terucap dari birai pendusta itu sampai akhirnya ia jengah. Bahkan untuk sekedar mengingat namanya. Kebaikan-kebaikan Radit yang mengalir bersama kekecewaan itu sudah tidak ada artinya. Bagi Ariena itu semua hanyalah manipulasi yang digencarkan lelaki jahat itu untuk menjeratnya. Membuat Ariena menatap dunia begitu muram, seolah menyadari kepedihan yang dirasakan. Saat matanya kembali memanas, Ariena langung melengos. Berharap tidak ada yang menyadari rasa sakit yang tengah ia pendam dalam kesesakan sekarang ini. Ia menghembuskan napas gusar seketika. Saat tangannya ditarik lalu digenggam lembut oleh sosok wanita yang sejak tadi berdiri anggun di sampingnya. "Ariena ... Tante senang sekali bisa kenal denganmu. Jadi, kamu sudah punya pacar ya? Wah, Tante jadi sedih. Padahal tadinya Tante berharap kalau kamu yang jadi kekasih Juan." "Ma ..." Juan terlihat berdehem kecil setelah mendengar penuturan ibunya tersebut. Ariena pun terkejut. Penuturan tante Diandra dan ekspresi putranya terlihat kontras. Apa yang Ariena harapkan? Ia lantas mengingat tentang Calista yang merupakan kekasih Juan. Sampai ia berpikir tentang kemungkinan kalau sebenarnya tante Diandra tidak mengetahui hubungan Juan dan Calista. Ariena mengerjap cepat saat sadar jika ia terlalu larut dalam overthinking-nya. Mencoba mengenyahkan semua perasaan yang membelit hati tersebut, ia pun menatap wanita pemilik nama Diandra Pratama di sampingnya. "Tidak, Tante. Saya tidak memikirkan tentang kekasih dulu untuk sekarang, karena ..." Ariena menggantung kalimatnya. "Karena saya ingin fokus untuk melanjutkan studi terlebih dahulu, Tante," gumam Ariena kemudian. Saat ia menatap Juan, tidak sengaja pandangan keduanya beradu. Ariena kembali berdesir. Tatapan Juan yang begitu tajam, sukses menusuk teoat di hatinya. Tidak bohong, kalau dalam kenyataannya ia masih menyimpan sebongkah cinta untuk lelaki bersurai kecoklatan di depannya itu. Terlalu mencintai sekalipun sudah tahu tidak punya harapan pun alasan untuk mempertahankan perasaan. Sakit sekali. Rasanya seperti terjatuh ke jurang dan menghancurkan seluruh hatinya. "Bagus sekali, Ariena. Tante senang mendengarnya. Zaman sekarang jarang ada seorang gadis yang berpikiran terbuka seperti kamu. Biasanya mereka itu larut dalam kisah cinta. Bahkan sebagian sampai salah pergaulan dan melupakan pendidikan mereka. Kamu semangat terus ya. Raih mimpimu setinggi-tingginya. Apa pun yang terjadi, jangan patah semangat." "Iya, Tante. Terima kasih atas nasihat dan support-nya. Sungguh, hal ini sangat berharga untuk saya," ucap Ariena dengan menguar senyuman manisnya. "Ma ... apa kita akan terus berdiri di sini? Juan sudah sangat lapar," Juan kembali bersuara. "Iya, Juan benar, Tante. Ayo kita cari tempat makan sekarang yang tidak jauh dari bandara. Setelah itu bisa kita lanjutkan pembicaraannya." Madava bersemangat. Ariena merasa kepalang resah. Ia tidak mungkin ikut dengan mereka. Sudah ia katakan sebelumnya bukan? Pergi dari sana adalah hal terbaik yang akan dilakukan—jika bisa memilih. Namun, seolah ini menjadi mimpi buruk yang memalukan saat tangannya kembali ditarik. Bukan tante Diandra, kali ini Madava pelakunya. Ariena yang terperangah hanya busa mengikuti dengan langkah berat dalam keperihannya. Tungkai kokok Madava berikut langkah besarnya membuat Ariena kesulitan mengimbangi saat rasa sakit dan ngilu terus menyerangnya di bawah sana. "Kak Madav ... aku tidak mau ikut. Aku akan pulang sekarang. Kakak ikut kak Juan dan tante Diandra, lalu aku akan naik taksi pulang ke rumah," pinta Ariena, memelas saat menyadari Juan tertinggal beberapa kaki di belakang sana. "Tidak bisa begitu, Arien. Kakak yang membawamu tadi. Jadi Kakak juga yang bertanggung jawab mengantarmu. Tapi tidak sekarang. Karena kita akan makan terlebih dahulu. Biar aku tebak. Kamu pasti belum makan sejak pagi tadi, kan? Apa semalam kamu makan dengan baik bersama Radit di kelab? Atau ...?" Ariena harus menggigit bibir bawahnya saat perkataan Madava membuatnya kembali teringat tentang semalam. Di mana ia berada di bawah kukungan Radit yang tidak berhenti menghancurkannya. Ia lantas mengeraskan rahang. Sakita hatinya semakin besar setiap mengingat lelaki bermata sipit pemilik nama Radit Aldynata tersebut. "Terserah Kakak saja." Akhirnya hanya kata tersebut yang keluar dari birainya. Mendadak malas untuk menolak kesekian kalinya. Ariena yang tahu seberapa keras kepalanya Madava hanya pasrah saat tungkainya yang terseret penuh beban itu berakhir di parkiran kemudian masuk ke dalam mobil sedan putih kakak kelasnya itu. Nyalinya semakin menciut gusar menyadari Juan Sandyaga ikut masuk dan duduk di jok depan. Jadilah Ariena memaksakan senyuman manis melihat tante Diandra ikut masuk dan duduk tepat di sampingnya pada jok belakang. Ariena bukannya tidak senang bisa bergabung bersama keluarga Juan seperti ini. Sungguh seperti mimpi yang tidak pernah terprediksi sebelumnya, semua terjadi saat ia tengah merasa remuk redam dalam perasaan hancur yang menggetatkan atmanya. Terlalu sulit membayangkan ia akan berada di situasi secanggung pun sehangat ini. Mobil yang dijalankan Madava dengan cepat memecah jalanan, membuat jantung Ariena berdetak sama cepat setiap detiknya. Seakan ia merasa kotor untuk berada bersama orang-orang sebaik mereka. Tapi ... tunggu. Bukankah Juan juga punya hubungan dengan Calista sebelumnya? Masih hangat di ingatan Ariena saat ia mendengar perkataan Calista di taman belaka sekolah setahun yang lalu. "Juan ... aku positif." Sayu kalimat yang membuat Ariena berbalik arah hingga jatuh ke pelukan Radit yang gila dan terobsesi padanya. Ariena begitu yakin kalau terjadi sesuatu antara Calista dan Radit. Seperti asmara terlarang. Tanpa ada yang mengetahui. Mungkin termasuk tabte Diandra yang tidak tahu menahu soal. Ini. Saat Ariena terus larut dalam overthinking-nya, sebuah selusur hangat dari tangan ringkih di sampingnya, meruntuhkan semuanya dalam sekejap. Berikut perkataan yang mencuat pelan di depannya, membuat Ariena seperti ingin berlari lalu meledakkan dirinya. "Mungkin Ariena sedang memikirkan kekasihnya, Ma. Makanya tidak mendengar perkataan Mama dari tadi." Ucapan Juan tepat menusuk pada hatinya yang terluka. Ariena merasa malu untuk sekedar menatap sosok tampan yang kini memakai topi hitam di depannya. Akankah ia tertangkap basah karena sejal tadi menatap terang-terangan melalui kaca spion tengah mobil? Astaga. Ariena ingin gila saja kalau begini. Malu sekali. "Ya ampun ... benar begitu, Nak Ariena? Kamu sedang memikirkan kekasihmu? Bukannya kamu bilang sebelumnya sedang tidak ingin memikirkan soal pasangan? Lalu siapa yang kamu pikirkan?" Rentetan pertanyaan yang terus menguar dari birai tersapu lipstick matte peach itu membuat Ariena mengerjap, lagi. Ia masih mencerna dengan baik semuanya, namun lidahnya merasa kelu untuk sekedar berucap. Semuanya tertahan tanpa mmalu disuarakan. "Ariena masih memikirkan Radit, Tante." Perkataan Madava pun sama, membuat Ariena tak berkutik dalam genggaman hangat tangan tante Diandra. Rasa ingin bersembunyi pun semakin kentara. Sampai perkataan Madava selanjutnya membuat ia mendongak lanjut menatap keluar kaca. "Kita sampai. Ayo, aku sudah sangat lapar. Sejak pagi belum sarapan." Ternyata tanpa diduga oleh Ariena, mereka sudah sampai di depan sebuah restoran kecil. Cukup menarik atensi saat Ariena menyadari pilihan tempat makan tersebut. Bukan tempat mewah yang biasa terpikirkan bagi orang-orang berstatus sosial tinggi seperti tante Diandra dn keluarganya ini. Ariena akhirnya tahu, seberapa sederhananya keluarga Pratama saat mendengar perkataan tante Diandra setelahnya. "Ayo Ariena. Ini rumah makan langganan tante dan papanya Juan sejak masih pacaran dulu. Sampai sekarang, menjadi tempat favorit keluarga besar Pratama. Tante pastikan kamu akan suka dengan tempatnya. Memang sederhana. Namun, cita rasanya tidak bisa diragukan. Iya kan, Juan?" Ariena sukses mendelik. Atensinya pun teralihkan pada sosok jangkung daam outfit serba hitam yang sudah ikut keluar dari mobil dna menatapnya terang-terangan. "Iya, Ma. Benar sekali. Kesederhanaan bisa saja terlihat dari luar, namun keistimewaan bisa dirasakan saat kita melihatnya lebih dekat, tanpa batasan." Kenapa perkataan Juan barusan membuatnya semakin berdesir dalam gejolak cinta yang mendorong kuat untuk segera membuatnya sadar kalau ini adalah mimpi indah yang ia tidak pernah mau dibangunkan. Sekalipun jam pasir harus menghisapnya untuk melihat kenyataan pahit di depan sana. Di mana sosok berengsek yang menghancurkannya, tengah berjalan bersama seorang wanita yang sangat ia kenal. "K-kak Radit? Winona?" *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD