Bertemu Kembali Setelah Sekian Lama

1687 Words
"Jangan. Jangan di sini. Aku tidak mau, Kak. Aku tidak mau turun pokoknya." Ariena meremas rok mini pleated-nya kuat. Ia terus bersikukuh tidak mau turun dari mobil Madava yang sejak belasan menit lalu sudah menjauhkannya dari tempat yang menyiksa batinnya tersebut. Netranya kembali menatap keluar, di mana sebuah butik besar tiga lantai berdiri kokoh tidak jauh dari jalan raya. Mobil Madava Abinaya tepat berdiri di halamannya. "Kenapa? Kita tinggal masuk, memilih pakaian, lalu segera keluar. Tidak akan lama, Arien. Ayo," bujuk Madava lagi, masih terus berjuang. Pasalnya ia sudah tidak punya banyak waktu untuk menjemput sepupunya, Juan Sandyaga, di bandara. Arien yang bersikukuh dan Madava yang tidak sabaran beradu seperti ini, sudah dipastikan siapa pemenangnya. Ya, wanita selalu menang. Madava merengut kesal. "Ya sudah, biar Kakak yang turun. Kamu tunggu di mobil. Apa pun yang Kakak pilihkan untukmu nantinya, wajib kamu pakai. Okay?!" Lelaki bersurai hitam legam itu melepaskan seatbelt dengan cepat kemudian bergegas keluar dari mobil. Ia masih mencoba menunduk menatap Ariena saat berdiri di pintu mobil yang terbuka tersebut. "Pokoknya wajib pakai apa pun pilihanku. Well, kamu tahu kan Arien selera fashionku? Tidak buruk. Sebentar, tidak akan lama." Ariena mengernyit dengan netra terus mengikuti pergerakan Madava. Hanya sebentar, karena setelah itu Ariena melengos, menatap white sling bag-nya. Selusurnya bergerak cepat saat mengingat sesuatu, merogoh tasnya tersebut lanjut mengeluarkan sebuah benda pipih persegi panjang dari dalam sana. "Astaga, handphone-ku mati. Pasti ayah dan ibu khawatir sekali karena aku tidak memberi kabar sejak semalam. Bagaimana ini? Tapi ... ya, sekalipun Gaisa sudah memberi tahu ayah kalau aku menginap di rumahnya, tetap saja perasaanku tidak enak. "Ayah, ibu ... maafkan Arien karena sudah mengecewakan kalian. Arien sudah tidak tahu bagaimana masa depan Arien nantinya. Semuanya hancur karena lelaki sialan itu. Arien tertipu, ayah, ibu ...." Ariena menyeka buliran bening yang mendadak kembali menuruni kedua pipinya. Sakit sekali rasanya. Ia telah kehilangan miliknya yang berharga, tepat saat ia baru mendapatkan kebahagiaan karena kelulusannya yang sangat memuaskan. Sekarang semuanya menjadi tidak jelas, masa depan abu-abu begitu suram dalam bayangannya. Ariena sesenggukan sampai tidak menyadari pintu mobil yang terbuka, dan seseorang masuk ke dalam. Ariena terhenyak saat ia melihat lembaran tissue yang dihempas di depan wajahnya. Ariena melongo seketika. "K-Kak Madav?" "Hapus air matamu itu. Ingusmu juga sekalian." Madava masih sempat menguar box smile sebelum akhirnya keluar lagi dari mobil. Bagaimana membuat Ariena kembali mengernyit karenanya. "Kakak mau kemana lagi?" tanya Ariena, penasaran. "Kakak menunggu di luar. Kamu cepatlah berganti pakaian. Pakaian ganti ada di dalam paper bag di jok belakang. Ganti di sana saja." Madava menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku berganti pakaian di mobil?" tanya Ariena, masih meragu saat ekor matanya cukup mampu menangkap paper bag yang tergeletak di jok belakang tersebut. "Di mana lagi? Kamu tadi tidak mau masuk ke dalam butik. Jadi ... tunggu apa lagi? Cepatlah. Jangan sampai Juan menunggu lama di airport." Ariena menghembuskan napas perlahan. 'Persis seperti yang dikatakan Gaisa, kalau Kak Madav itu memang terlihat aneh. Seperti punya duality. Tadi tersenyum ramah, sekarang mendadak datar. Memang pantas Gaisa memanggilnya 'alien'. Aneh sekali,' batin Ariena. "Kenapa malah melamun? Cepatlah berganti pakaian. Mata Kakak semakin sakit saja melihatmu seperti itu, Arien." Ariena mengerjap. Ia kemudian memicing, agak kesal. "Bagaimana aku bisa berganti baju kalau Kakak masih berdiri di situ?" sergah Ariena. "Ah, iya. Kakak tutup pintunya dan kamu bergegas. Dua menit cukup, kan?" timpal Madava lagi. Ariena menghela napas. Merasa pusing. "Lima menit?" tawarnya. "Okay, lima menit sudah cukup dan ... tidak lebih. Beri tahu kalau sudah selesai ya. Kita tidak punya banyak waktu." Ariena pun mengangguk pelan, bersamaan dengan Madava yang sudah menutup sempurna pintu mobil. Seperti janjinya, Madava bersandar di luar mobil menunggui Ariena. Empat menit berlalu dengan cepat saat Ariena mengetuk kaca mobil di jok belakang. Memberi tanda pada Madava kalau ia telah selesai dengan outfit barunya. Ada celana kulot berwarna putih yang membalut tungkai jenjangnya, pun atasan raffle blouse berwarna hijau army semakin menambah kesan elegan penampilan Ariena sekarang. "Woah ... ini terlihat sangat cocok untukmu, dari pada yang sebelumnya ... maaf, Kakak agak ternganggu kerenanya." Madava memeta penampilan Ariena dengan seksama. "Bilang saja kalau Kakak memuji pilihan Kakak, kan?" Ariena memutar bola mata malas. "This ..." Madava terkekeh lanjut menjalankan mobil mewah yang memang tidak dimatikan mesin sebelumnya. "Pakai kembali seat belt-mu, Arien. Kakak akan mengebut. Kakak tidak yakin kita bisa sampai ke airport tujuh menit dari sekarang. Bersiaplah menerima kemarahan Juan." *** Ariena mengedarkan pandangannya begitu berjalan masuk ke airport beriringan dengan Madava. Ia cukup kesusahan berjalan. Efek jeratan Radit semalam masih meninggalkan rasa sakit dan perih yang tak pernah terbayangkan olehnya. Ia berusaha menahan kesakitan tersebut di depan Madava. Sungguh, Ariena tidak mau ada yang menyadari keadaanya sekarang. Begitu miris dan ... memalukan. Seharusnya ia sekarang berada di kamar mandi rumahnya. Membersihkan semua noda sentuhan Radit yang terasa membekas secara permanent di tubuhnya. Ia cukup merasa jijik pada dirinya sendir sekarang. Ariena merasa kotor dan juga sial secara bersamaan. Kenapa kini ia harus terjebak bersama Madava untuk menjemput cinta pertamanya di bandara. Dengan tubuh yang ia rasa kotor, Ariena menghela napas berat. Merasa bodoh seketika. Ariena dengan cepat menyeka wajahnya yang tanpa sentuhan make up tersebut, saat buliran bening hangat kembali melesat di sana. Membuat ia merutuki Radit di setiap detiknya. Ariena yang sebelumnya begitu fokus pada kesedihannya, sampai tidak menyadari kalau ia sudah tidak lagi menemukan Madava di sampingnya. Ariena kelimpungan. Ia mencari kesana kemari, namun tidak mendapati Madava atau ... mungkin Juan yang sudah take off beberapa menit yang lalu. Ariena memang tidak pernah berada di airport. Wajar saja ia kebingungan. Membaca setiap papan nama yang tersampir rapi di dinding setiap terminal bandara, Ariena semakin di buat pusing, hingga ia menangkap pergerakan aneh dari seorang pemuda yang tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Ia mendelik begitu menyadari pemuda tersebut tengah berusaha mengambil dompet dari handbag seorang wanita paruh baya berpenampilan anggun nan elegan yang terlihat tengah fokus menatap ke depan. Perempuan yang hari ini menggerai rambut kecoklatannya akibat beberapa bekas merah keunguan di leher yang ia dapatkan dari lelaki sialan di kelab semalam itu, segera menunduk. Ia melepas sneakers putihnya dan melempar sekuat tenaga ke arah pemuda yang terus berusaha meraih dompet ibu malang tersebut. Pemuda itu terjerembab ke lantai dan segera menjadi pusat perhatian. Ariena tersenyum smirk melihat hasil dari aksi nekatnya barusan. Namun hanya sebentar, karena tepat saat ibu yang di tolongnya itu terus memperhatikannya. Ariena tersenyum kikuk. "Maaf, Tante. Tadi orang itu mau mengambil dompet Tante." Ariena pun tidak menunggu lama lagi untuk menghampiri wanita tersebut. Ia menunduk untuk menjangkau dompet berwarna mocca yang tergeletak pasrah di lantai marmer, kemudian dengan cergas memberikan kepada wanita di depannya itu. "I-iya ... benar, ini dompet saya. Terima kasih, Nak. Kalau tidak ada kamu, saya akan kehilangan dompet ini. Bukan masalah isinya yang memang tidak seberapa, tetapi kartu di dalamnya sangat berharga. Sekali lagi terima kasih ya, Nak." Ariena hanya melempar senyum manis, lalu melirik kembali ke arah pemuda yang kini diamankan oleh security bandara. Ia menghela napas pelan. "Sama-sama, Tante. Kita memang harus hati-hati. Banyak hal yang tidak terduga terjadi tanpa bisa kita hindari. Bahkan orang yang kita anggap baik, bisa memanfaatkan keadaan untuk menjatuhkan kita." "Kamu bijak sekali, Nak. Bijak dan juga ... sangat cantik. Siapa namamu?" Ariena menyadari kalimatnya barusan ditujukan kepada Radit Aldynata. Ia merasa geram sendiri mengingat kebaikan-kebaikan palsu lelaki itu. Bagaimana begitu banyak janji manis yang dihaturkan. Sampai selalu menggaungkan ingin melindunginya. Semuanya hanya dusta. Kenyataannya, Radit sendiri yang menghancurkannya. "Saya Ariena, Tante," ucapnya pelan. Masih menyunggingkan senyuman hangat. "Namanya sangat cantik, secantik orangnya. Oh iya, kamu sedang apa di bandara? Mau flight kemana? Atau sedang menjemput seseorang karena kita sekarang di Arrival Hall?" "I-iya, Tante. Saya tadinya bersama teman, mau menjemput sepupunya yang baru datang dari Paris," terang Ariena sembari menggosok tengkuknya. "Paris? Wah, sama. Tante juga sedang menunggu putra Tante, baru terbang dari Paris juga. Namanya Ju—" "Mama ...!" Ariena mengerutkan dahi saat sebuah suara bariton menyapa rungunya dan menghentikan ucapan wanita di hadapannya tersebut. Ia sukses tercekat. Seorang pemuda tampan bertubuh jangkung dalam balutan jaket kulit hitam dan backpack besar berwarna senada tengah memeluk erat wanita yang ditolongnya tadi. Ariena sangat mengenal siapa pemuda tersebut. Dialah lelaki yang dicintainya siang dan malam selama ini tanpa henti. Sungguh, setelah setahun lamanya tidak bertemu, getar cinta dalam ritme nyata itu membuatnya kacau seketika. "Ariena...?" "K-Kak Juan...?" "Ya Tuhan ... kalian sudah saling kenal?" "Sudah, Ma. Ariena adik kelas Juan saat di SMA Pratama." Lagi, Ariena sangat terkejut mendengar pengakuan Juan. Ia sempat berpikir, kalau kakak kelasnya itu tidak pernah mengenalnya. Ia agak kebingungan. Seingatnya Juan Sandyaga yang ia kenal begitu dingin. Tetapi ternyata begitu hangat. Apa mungkin hanya saat bersama keluarganya seperti sekarang? Seharusnya Ariena sadar diri dengan tidak menatap Juan secara terang-terangan. Ia mengerjap cepat. Rasa rindu yang menggebu terus bergejolak di dalam hatinya, Ariena berdebar dalam getar cinta yang telah lama ia coba kubur dalam, namun tidak mampu meruntuhkan apa pun. Nyatanya sekarang semakin berakar kuat sampai hati terdalam. "Ariena! Astaga ... Kakak mencarimu sejak tadi. Ya Tuhan ... lelah sekali rasanya berlari mengelilingi bandara sebesar ini mencarimu. Aku sempat berpikir kalau Radit menculikmu." Kedatangan Madava yang begitu histeris membuat ketiganya melongo. Tidak heran sebenarnya, mengingat Madava Abinaya adalah mood booster-nya SMA Pratama. Terkenal pintar, jenius, dan suka mengubah suasana tegang menjadi cair seketika. Seperti sekarang contohnya. Madava langsung memeluk sepupunya Juan dengan erat seraya menepuk punggung Juan dengan semangat. "Astaga, Bro. Setahun tidak bertemu, kamu sudah lebih tinggi dua centi dariku. Ini tidak adil. Padahal kita kan sama tinggi sebelumnya. Ah ya ..." Madava menggantung kalimatnya, lantas melepaskan pelukan dan menatap Ariena yang berdiri mematung di samping mama Juan Sandyaga. "Ariena, ini Tante Diandra, mamanya Juan. Pemilik Purple Boutique yang kita datangi tadi." Mendadak Ariena ingin menghilang setelah mendengar perkataan Madava. Seharusnya Madava tidak mengatakan itu di depan Juan dan mamanya. Ariena sekarang harus menahan malu dan mencari alasan tentang kedatangan mereka tadi ke butik tante Diandra. "I-iya, Kak." Ariena jelas kelimpungan, namun mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja. "Ariena ...." "Iya, Kak Juan ...?" Lututnya melemas saat lelaki yang disanjungnya itu memanggilnya tiba-tiba. "Kamu masih bersama Radit, kan??" *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD