Cinta Palsu Ariena dan Radit

1703 Words
Ariena melengos dalam pretensinya—tidak melihat Radit bersama Winona—meskipun jelas netranya menangkap bagaimana kedua sosok yang sebelumnya begitu dekat hubungan dengannya itu, kini tengah cekikikan sembari bergandengan. Ia pastikan kalau Radit dan Winona sempat melihatnya, namun seolah acuh. Memang benar, Ariena tidak memiliki perasaan mendalam pada Radit, walaupun sudah setahun terakhir ini menjalin kasih. Ya ... jalinan kasih palsu. Karena kini Ariena memahami, bukan hanya ia yang palsu, Radit juga sama halnya. Menipu Ariena sampai mendapatkan kepercayaan tinggi darinya. Sungguh, Ariena tidak merasa cemburu. Ia sudah melepas Radit. Akan tetapi, bolehkah sekarang ia maju lalu menampar lelaki yang kini tiba-tiba beralih memutar torso dan melihatnya terang-terangan? Muak sekali. Senyuman yang memendar manis itu membuat Ariena merasa mual seketika. Namun, sandiwara harus tetap berjalan bukan? Sekarang ia berada di tengah-tengah keluarga Pratama. Cukup kesusahan menelan saliva saat presensi Radit dan Winona kini semakin mendekat ke arahnya. Semakin dekat, hingga membuat Ariena menegang di tempatnya. "Hai semuanya, hai ... Ariena. Wah, ada Juan juga. How are you, Bro? Kapan landing?" 'Palsu,' batin Ariena. Muak. Bisa-biasanya lelaki di depannya itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Begitu sumringah tanpa dosa. Padahal semalam baru saja menghancurkan lalu meninggalkannya begitu saja. Melihat Radit memeluk Juan erat, Ariena diam-diam menghela napas berat. Kacau. Ingin sekali menimpuk lelaki bermata sipit itu dengan sneakers-nya. Persis seperti saat ia menimpuk pencopet di airport tadi. Ariena sudah membayangkan. "Aku baik, Dit. Aku baru saja landing. Kamu apa kabar? Sekarang kamu bersama Winona? Aku kira kamu berpacaran dengan Ariena." Juan bertutur sembari mengernyitkan dahinya. Sepertinya mulai penasaran melihat presensi Winona yang datang bersama Radit. "Haha ... Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Winona. Hanya kebetulan, tadi kami bertemu di outlet butik yang sama. Aku juga sedang berbelanja. Bukan begitu Winona?" Radit melirik ke arah perempuan cantik dengan tatanan rambut wavy bob di sampingnya. "Ah, ya. Tentu saja benar, Kak. Tidak disangka kita bertemu di butik itu ya?!" Wilona menunjuk satu outlet butik yang hanya dipisahkan oleh satu ruko dengan restoran yang akan dituju Ariena bersama keluarga Juan. Perempuan itu tersenyum anggun ke arah Ariena. Namun, bukannya percaya, Ariena malah mengernyit. Ada hal aneh yang dirasakan. Tiga tahun menjalin persahabatan membuat ia tahu bagaimana Winona. Kenapa ia melihat kalau itu adalah senyum palsu yang terbungkus manis dari birai sahabatnya itu. Ariena hanya menatap datar dengan tangannya yang terkepal erat sejurus mata memandang pada Radit yang terus menempel dengan Winona. Begitu kentara kalau Radit tidak memikiki hati. Setelah ia mendapatkan apa yang ia mau, dengan tidak punya hatinya meninggalkan Ariena tanpa pertanggungjawaban. Seakan Ariena hanyalah seonggok barang yang dibuang setelah selesai puas dipakai. "Soal hubunganku dan Ariena ..." Radit kembali berucap namun dengan sengaja menggantung kalimatnya. Ariena merasakan sakit. Mencoba mengotrol hatinya di depan Juan, tante Diandra dan Madava yang sejak tadi terdiam, Ariena pun buka suara. "Hubungan kami sudah berakhir, dan ... tidak ada yang tersisa," tegas Ariena. Netranya menyala kebencian saat memandang Radit. Pun hatinya ikut memanas saat menyadari lelaki itu hanya tersenyum, terlihat puas. Seperti tebakan Ariena sebenarnya. Namun saat suara itu kembali memendar, ia semakin terluka. "Tapi masih ada cinta, buktinya ... Ariena masih memakai kalung pemberianku," timpal Radit. Tolong, Ariena sudah tidak tahan. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah ... mengiba pada Madava. Orang yang membuatnya berada pada posisi sekarang. Lelaki yang tak bersuara sejak kemunculan Radit bersama Winona. Kini netranya mengunci tepat ke dalam obsidian Madava. Berharap lelaki itu dapat mendengar suara hatinya yang meronta minta pertolongan. Ariena sangat berharap Madava bisa membawanya pergi dari sana. Hening melanda. Ariena yang tengah sibuk merapal doa harapan, dan yang lain sibuk berkutat dalam pemikiran yang Ariena sendiri tidak mengerti harus menangkapnya bagaimana. Ia merasa frustasi sekarang. "Oh iya, Radit. Kami ke sini mau makan bersama. Jika kamu tidak keberatan atau mungkin tidak ada kesibukan, ayo ikut makan bersama kami. Ajak Winona juga. Bagaimana Winona?" Madava malah berujar dalam senyuman hangat, yang membuat Ariena mengerjap tidak percaya. Asanya runtuh, karena pada kenyataannya sosok yang selalu disanjung oleh sahabatnya, Gaisa, itu seolah tidak menangkap dengan baik maksudnya. Lebih parah, perempuan itu semakin terjebak bersama Radit sekarang. Ia benci harus mengakui kalau terlalu lama di sana hanya akan menimbulkan rasa sakit semakin dalam. "Oh, benarkah? Wah, undangan yang sangat menggiurkan. Pas sekali, aku juga belum makan, Madav. Bagaimana Winona? Apa kamu mau ikut serta?" Radit tampak tersenyum puas sebelum akhirnya mendaratkan pandangan pada Ariena di depannya. Ariena menghela napas berat begitu suara Winona kembali mengejutkannya. "Aku ... tentu mau. Apalagi di sini ada Ariena, sahabatku." Madava mengangguk kegirangan lalu kembali berucap, "Ayo cepat kalau begitu. Aku sudah sangat lapar. Juan, Tante dan Ariena juga sama pasti, kan?" "Ya ... kalau begitu tunggu apalagi?" Kini gantian tante Diandra yang bersuara setelah sedari tadi hanya terdiam di samping Ariena. Sungguh, Ariena tidak mengerti kenapa. Saat aura yang dirasakan sangat berbeda dari sebelum kedatangan Radit dan Winona. Dengan terpaksa, Ariena menyeret langkahnya mengikuti Madava dan Juan yang sudah bergerak di depannya, ia tertinggal karena cukup kesusahan menggerakkan tungkai. Di mana rasa perih di pusat tubuhnya membuat semuanya semakin berat. Ia terpaksa bertahan di sana untuk menghargai tante Diandra. Seandainya tidak ada wanita berhati lembut itu, dapat dipastikan kalau Ariena memilih pergi dari sana. Ia menatap Winona yang sudah bergerak masuk ke dalam restoran kecil tersebut. Namun, cukup terperanjat mendapati Radit yang malah mendekat ke arahnya, mengimbangi langkah. Suara kekehan dan genggaman tangan Radit membuat Ariena kembali menegang, antara kesakitan dan kebencian kini campur aduk di dalam hatinya. Ia tertinggal berdua di belakang bersama lelaki yang ingin ia enyahkan dari dalam hati dan pikirannya. "Apa masih sakit, Sayang? Terima kasih ya. Yang tadi malam itu indah. Aku merasa jadi lelaki paling beruntung, dan sangat bangga bisa mendapatkan pertamamu. Dan ... maaf telah meninggalkanmu semalam. Aku ada urusan mendesak yang tidak bisa aku tinggalkan. Jangan marah padaku. Kita ... belum berakhir, kan?" Seperti guntur yang menyambar di siang hari, seperti itulah Ariena saat mendengar perkataan Radit yang diiringi eyes smile tersebut. Muak sekali rasanya. Ariena yang terlanjur sakit hati segera menghentak tangan Radit yang dengan kurang ajar kembali menyentuhnya. "Lepas," tekan Ariena. Ia memicing tajam ke arah Radit yang kini hanya terdiam. Meskipun genggaman tangan Radit terasa hangat. Namun, yang dirasakan Ariena adalah kebencian memuncak. "Sayang, jangan terus bersikap seolah yang semalam itu tidak ada apa-apa," tambah Radit setelah sekian lama berkutat dalam pikiran yang tidak mampu terbaca dengan baik oleh Ariena. "Berhenti memanggilku begitu. Aku muak sekali, Radit Aldynata. Itu seharusnya kalimatku. Kamu yang dari tadi bersikap seolah tidak melakukan apa-apa sebelumnya padaku. Aku baru menyadari kamu ternyata sepicik itu. Yang barusan itu apa? Kamu dan Winona?" Ariena tidak tahan untuk meluapkan perasaan sakit yang ia rasakan hingga berakhir dengan menekan setiap kalimatnya. Benci sekali. "Sudah aku katakan, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Winona. Tidak lebih dari hubungan baik antara adik dan kakak kelasnya. Berbeda dengan kamu, Arien. Percayalah. Sejak semalam aku terus memikirkanmu. Aku memikirkan bagaimana tadi kamu terbangun dan tidak menemukanku. Tolong jangan marah. Aku tidak bisa jika tanpamu. Setahun kebersamaan kita begitu berarti untukku. Aku mencintaimu, Arien." Radit terus bercerocos tanpa hati. Meyakinkan Ariena, lagi. "Kebersamaan kita selama setahun ini palsu. Kamu tidak mencintaiku, Radit. Kamu hanya terobsesi. Jangan berandiwara seolah kamu adalah malaikat. Padahal semalam kamu bersikap seperti iblis setelah menjebakku dengan minuman terkutuk itu." Ariena mengeraskan rahang. Kalau saja tidak ingat di mana keberadaannya sekarang, sudah pasti sebuah tanparan akan dilayangkan ke wajah Radit Aldynata yang terlihat semakin berani menyulut amarahnya. "Aku tidak bisa melupakan yang semalam terjadi antara kita, Arien. Indah sekali. Saat kamu menggeliat panas di bawahku, saat itu juga kamu membuatku ingin terus bersamamu. Kita akan terus bersama. Jangan khawatir, aku akan bertanggung jawab." "Bertanggung jawab? Bagaimana? Menikahiku?" Ariena malah terkekeh, mendadak gila mendengar setiap kalimat yang terkuar dari birai tebal plum milik Radit. "Menikah? Ya. Tapi mungkin tidak sekarang. Aku harus melanjutkan studiku. Setelah itu, baru aku akan menikahimu. Pegang janjiku, Sayang." Saat Radit mengusap surai Ariena, saat itu juga ia menampik keras tangan Radit. "Jangan sentuh aku. Kamu membuatku muak. Aku tidak akan melupakan kejadian semalam saat kamu menjebakku. Aku tahi kamu merencanakan semuanya. Menggiringku ke pesta yang tidak pernah ada. Kamu memanipulasi semuanya hanya untuk menjebakku. Aku tahu semuanya. Dan ... tentang Gaisa, kamu juga berbohong. Kenyataannya Gaisa tidak tahu apa-apa tentang pestanya." Ia kembali meluapkan perasaan hancur. Setiap kalimat yang meluncur dari birai Ariena memendar kesakitan yang menusuk tajam pun mengiris hatinya yang memang sudah terluka dalam. Rasa sakit secara fisik dan juga batin yang ia rasakan sekarang, sejatinya membuat ia semakin sadar kalau cinta yang selama ini digaungkan Radit tidak lebih dari cinta palsu. Menjerat Ariena dalam kebahagiaan semu. Tidak ada yang lebih menyakitkan saat ia kembali gagal membahagiakan orang tuanya. Semuanya sudah hancur berkeping-keping. Seperti kaca. Sekalipun disatukan tetap tidak akan sempurna. Pertanggungjawaban yang dirapal Radit di depannya hanya omong kosong yang membuat Ariena semakin yakin untuk mengakhiri segalanya. Tanpa memikirkan kehancuran jangka panjang yang disebakan Radit padanya, Ariena hanya ingin hidup dalam ketenangan. Setiap menatap Radit hanya menghadirkan rasa trauma. Ariena tidak mau lagi mengenal lelaki yang kini kembali menahan pergerakannya. Membuat Ariena melebarkan netra saat Radit dengan kurang ajarnya mendekat, memangkas jarak, lanjut berbisik sensual tepat di rungu kanannya. "Aku adalah pertamamu, dan itu akan mengikat hatimu padaku untuk selamanya. Kamu tidak akan bisa pergi Ariena. Kamu tahu? Aku semalam melepasnya di dalam. Bagaimana jika Radit junior hadir di tengah-tengah kita. Jadi ... jangan mencoba pergi saat kita sudah terikat sejauh ini. Semalam itu sangat berarti. Rasanya... aku ingin mengulanginya lagi." Ariena buru-buru menarik diri. Ia menatap nyalang. Sakit hati. Dianggap seperti barang tak berharga sama sekali di mata Radit. Itu memang pertamanya, tapi ia yakin jika itu bukan pertama bagi Radit. Lelaki di depannya ini terlalu berengsek untuk mendapat sertifikasi lelaki dengan loyalitas tinggi di mata Ariena. "Yang pertama memang sakit. Jangan takut, yang kedua kalinya kamu hanya akan merasakan surga, Arien." Radit masih belum berhenti melempar kalimat sarkas yang menusuk Ariena bertubi-tubi. Ariena yang kepalang emosi, sudah bersiap untuk mengangkat tangan tinggi-tinggi dan akan mendaratkannya di pipi putih Radit. Namun, niatnya harus terurung saat presensi laki-laki yang ia cintai tengah menatapnya sedari tadi, tanpa ia sadari. "Kalian kenapa belum masuk ke dalam? Yang lain sudah menunggu. Makanan harus segera dipesan." "K-Kak Juan ...." *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD