Satu Hari Bersamamu

1735 Words
Acara makan siang bersama itu terus memendar rasa mencekam—bagi Ariena. Ia hanyut bersama ketegangan yang terua bertambah di setiap detiknya. Sekalipun perut terlilit rasa lapar yang terus meronta-ronta, nafsu makannya mendadak hilang. Ia frustasi di setiap tarikan napasnya. Bagaimana tatapan sepasang netra coklat di seberangnya itu begitu mengganggu, sekaligus merusak mood-nya. Bahkan tenderloin steak yang mengisi piring keramik putih perseginya itu terasa tidak nikmat, seta merta tertahan di tenggorokannya. "Kenapa tidak dihabiskan makanannya, Nak Ariena?" Diandra, ibu kandung Juan Sandyaga itu membuka suara. Berusaha meruntuhkan suasana mencekam pun tegang yang ikut dirasakan. Apalagi saat melihat Ariena yang kembali meletakkan garpu dan pisau makan stainless steel-nya. "Saya sudah kenyang, Tante," tutur Ariena akhirnya setelah terdiam beberapa sekon. Ia tersenyum asimetris menatap lawan bicaranya. "Baru dua suapan kok sudah kenyang? Steak-nya enak, kan?" Diandra kembali bertanya. "Enak kok, Tante. Enak sekali. Hanya saja, mendadak saya kenyang." Ariena berucap cepat lantas melirik kecil ke arah Radit dan Winona yang duduk berdekatan di seberangnya. Masih sempat penasaran dan terus memikirkan tentang hubungan keduanya. Seingat Ariena, sahabatnya itu pernah bercerita kalau menyukai seorang kakak kelas. Tetapi saat itu Winona tidak menjelaskan secara gamblang. Menghadirkan tanda tanya yang besar di dalam hatinya. "Apa itu Kak Radit yang dimaksud oleh Winona?" batin Ariena meronta. Sampai ritual makan tersebut selesai dan ditutup dengan tawa renyah Madava yang mengudara, Ariena masih menutup rapat birai. Hingga suara gelas pecah yang begitu nyaring menyapa gendang telinga, langsung menarik atensinya. Cukup terkesiap menatap Radit dan Winona yang bangkit dengan cepat dari kursi makan bercat coklat tua tersebut, dengan outfit yang dipenuhi bayang basah akibat jus jeruk milik Juan—yang duduk persis di sebelah Radit—tumpah dari gelas putih panjang transparant, yang berubah menjadi pecahan tajam berserakan di lantai restoran. "Astaga ... maaf, Radit. Aku tidak sengaja." Juan ikut berdiri dengan tatapan memelas—minta maaf di hadapan Radit dan Winona. "Iya, tidak apa-apa. Tidak sengaja bukan?" "Kak, dress-ku basah. Kita harus menggantinya. Aku merasa lengket sekali." Winona berujar cepat dengan tangan sibuk mengambil tissue, mengelap dress-nya yang basah tersebut. "Okay-okay." Radit yang terlihat patuh dengan ucapan Winona pun, kini sudah menggerakkan torso menghindar dari pecahan gelas yang berserakan di kakinya. "Kalian akan membersihkan pakaian di toilet?" Madava ikut bersuara setelah sebelumnya hanya diam mengamati kejadian menegangkan di depannya. "Tidak, Madav. Aku dan Winona langsung pulang saja. Ini tidak bisa dibersihkan dengan mudah. Kami harus berganti pakaian segera. Akan lebih baik jika langsung pulang," jelas Radit. "Pulang ke mana?" sergah Juan lagi. "Ke apartemenku?" jawab Radit tanpa beban. "Maksudmu ... Winona akan ikut bersamamu? Ke apartemen?" Kini Juan sudah mengernyit dalam. "iya. Maksudku ... tidak. Aku akan mengantarnya pulang terlebih dahulu. So, terima kasih banyak atas undangan makan siangnya ya. Aku harus pergi sekarang. Tante, aku permisi dulu." Radit berucap buru-buru lalu membungkuk dan meninggalkan meja begitu saja tanpa menunggu jawaban tante Diandra. "Astaga, kasihan sekali. Baju mereka sampai basah kuyup begitu." Diandra menggelengkan kepala pelan mengantar kepergian Radit dan Wilona. "Ya ... maaf, Ma. Juan kan ti—“ "Sebentar, handphone Mama. Sepertinya ada telepon masuk." Ariena memperhatikan dalam diam bagaimana tante Diandra merogoh handbag-nya buru-buru, lalu mengeluarkan sebuah benda pipih persegi panjang dengan case gold dari sana. Cukup menarik karena kata pertama yang didengar Ariena saat itu adalah .... "Halo ... Iya, Sayang. Aku sedang bersama Juan di restoran dekat airport. Huh? Apa? Sekarang? Oh, okay-okay. Aku akan segera ke sana. Iya, Madav juga sedang bersamaku. Iya, tidak akan lama. See you ...." Ariena tahu panggilan sudah berakhir, dan bisa menebak kalau yang menelepon barusan adalah pak Sandyaga Pratama, papanya Juan. Namun, perkataan tante Diandra selanjutnya membuat Ariena kebingungan. "Madav, kamu ikut tante ya. Om ingin bertemu denganmu, membicarakan project yang kemarin kamu pegang. Pak Dimaz akan menjemput kita," jelas Diandra kepada keponakannya, Madava Abinaya. "Aku ke kantor? Dan Ariena bagaimana, Tan?" tanya Madava. Ia menatap Ariena di sampingnya yang terpaku, diam. "Gampang. Ariena nanti pulang diantar Juan. Mobilmu biar dipakai Juan saja," timpal Diandra lagi. "Oh, okay kalau begitu. Juan, kamu antarkan Ariena ke rumahnya ya." Madava merogoh saku celana kain broken white-nya, mengambil kunci, lalu memberikannya kepada Juan yang hanya diam saja. Tidak langsung menolak atau sekedar mengiyakan. Namun selusurnya bergerak meraih kunci yang diberikan Madava. Ariena kian berdebar. Merasa kacau karena sekarang ia akan pulang diantar Juan? Seperti sebuah mimpi, di mana ia tidak pernah mau dibangunkan. Saat bayangan dari sosok yang mulai dibencinya tiba-tiba bermain-main di benak. Ariena mengerjap cepat. "Sebaiknya, saya pulang naik taksi saja, Tante, Kak Juan, Kak Madav. Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula, Kak Juan juga kelehan setelah perjalanan jauhnya. "Jangan. Tante tidak setuju, Nak Ariena. Juan juga tidak keberatan. Iya kan, Juan?' Ariena pun mengerling dengan ekor matanya, bagaimana sosok tampan yang memakai topi hitam di hadapannya itu hanya mengangguk pelan tanpa berniat untuk menjawab. Okay, Ariena paham seberapa dingin lelaki yang dicintainya tersebut. Ia kembali mengerjap. Merasa bodoh dengan perasaan sebelah pihak itu. Berharap ia bisa segera sadar, namun takdirnya membawanya terjebak pada keluarga Pratama seperti saat sekarang ini. "Juan sudah setuju. Ayo, Madav. Pak Dimaz pasti sudah datang menjemput. Orangnya selalu tepat waktu. Nak Ariena, Tante dan Madav duluan ya, Cantik. Semoga kita dipertemukan kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi." Ariena cukup berdesir mendengar kalimat tersebut. Fokusnya begitu mendalam pada kalimat terakhir. Ya, semoga ia dipertemukan lagi dengan keluarga Pratama dalam momen yang lebih baik, tidak seperti sekarang. Saat Ariena tengah kesakitan. Sentuhan lembut di pipinya oleh tangan ringkih tante Diandra, menghantarkan rasa hangat yang menjalari seluruh hatinya. Di saat itu juga Ariena mengiba pada semesta. Berharap ada takdir indah yang membuat ia menjadi bagian dari keluarga Pratama. Mengantarkan kepergian tante Diandra dan Madava, Ariena mendadak kaku. Sekarang ia hanya berdua saja dengan Juan Sandyaga. Satu hal yang paling sulit dipercaya. Juan tiba-tiba melambaikan tangannya—memanggil waiter. Ia merogoh saku celana kulit hitamnya dan mengeluarkan dompet kulit berwarna coklat. Tepat saat waiter itu datang, Juan memberikan lima lembar uang berwarna merah. "Tolong bereskan kekacauan ini ya," ucap Juan pelan. "Dan ini ... untuk bill-nya ya. Terima kasih," sambungnya. "Baik, Tuan." Waiter itu membungkuk sopan. Ariena tidak terperangah sama sekali saat Juan mengeluarkan selembar kartu berwarna hitam. Kartu kredit yang sangat eksklusif pun unlimited dan hanya diterbitkan untuk kalangan atas saja. Tentu, seperti keluarga Pratama. Ariena tidak heran. Sepertinya juga, restoran sederhana itu sudah terbiasa menerima pengunjung dari kalangan atas. Jadi sudah mengantisipasi segala jenis pembayaran dari pengunjung. Cukup. Ariena mulai tidak mengerti, bagaimana dengan tiba-tiba Juan menggenggam tangannya dan membawanya pergi, tepat setelah menyimpan kembali blackcard tersebut ke dalam dompet dan segera menyimpan kembali ke dalam saku celananya. "Ayo, kita pergi." *** "Lho, Kak? Kenapa kita berhenti di sini?" Ariena mengedarkan pandangan ke luar kaca mobil. Ia terkejut tentu saja, menyadari mobil putih milik Madava memarkir rapi di tempat parkiran sebuah mall besar pusat Kota Jakarta. "Aku mau membeli kamera dulu. Karena terburu-buru semalam, kameraku sampai tertinggal di Paris," terang Juan. "Buru-buru? Maaf, Kak. Aku jadi penasaran, sebenarnya kenapa Kakak tiba-tiba pulang? Maksudku ... kenapa tidak bersama kak Calista?" Ariena akhirnya memberanikan diri untuk bertanya apa yang terus menyerang benaknya. "Calista? Aku rasa kepulanganku sekarang tidak ada hubungannya dengan Calista." Juan jadi kebingungan pun mengernyit dalam ke arah Ariena. "Bukannya Kakak dan kak Calista itu ..." Ariena menutup kembali birainya. Semuanya jadi terasa kelu seketika. "Sebenarnya, aku pulang karena ingin bertemu seseorang yang kabarnya sedang dalam bahaya besar. Tapi ... aku menyesal karena aku terlambat. Nyatanya, orang itu tidak dapat aku lindungi. Aku benar-benar terlambat." Ariena mengerjap, menatap Juan yang berada di balik setir dengan tatapan dalam ke arahnya. Ia jadi merasa kikuk sendiri, hingga berdehem kecil setelahnya. "Ya sudah, ayo turun. Kenapa jadi membahas tentangku sekarang. Ayo, Arien." Melihat Juan yang sudah melepas seat belt, Ariena pun mengikuti kemudian keluar dengan perlahan dari sana. Tungkainya kembali diseret paksa mengikuti langkah kaki Juan yang besar. Mencoba mengimbangi namun berakhir selalu tertinggal. Ariena jadi kesal sendiri. "Kenapa lama sekali? Apa yang salah dengan langkahmu? Kamu tidak sakit, kan?" "Ti-tidak, Kak." Ariena jadi gelagapan sendiri menanggapi pertanyaan Juan yang sebenarnya terlalu sulit untuk ia jawab. Karena semuanya berhubungan dengan Radit dan Ariena merasa sakit. Memasuki gedung mall tujuh lantai tersebut bersama Juan, Ariena merasakan hal berbeda. Entah mimpi apa ia sampai bisa sedekat ini dengan Juan sekarang. Benar-benar tak terduga. Sepertinya ia harus berterima kasih pada Madava setelah ini, seandainya bisa. "Maaf aku pegang tanganmu biar aku tidak kehilangan kamu di tempat seramai dan seluas ini. Tolong jangan hilang. Aku tidak mau kamu sampai hilang di sini." Ariena meremang dahsyat saat lagi-lagi Juan menarik tangannya dan menggenggam erat. Seolah tanpa mercusuar yang memberi tanda, hingga ia tersesat dalam lautan cintanya yang tak bertepi. Begitu dalam. Ariena tenggelam di dalam cinta terpendamnya seorang diri. Bagaimana ia begitu mabuk saat Juan terus menggengamnya erat. Menaiki elevator sampai akhirnya berada di lantai tiga di mana outlet yang ingin mereka tuju terlihat di sana. Juan terus menggerakkan tungkainya memasuki outlet yang menjual kamera digital. Ariena yang masih digandeng Juan, hanya pasrah mengikuti. Patuh. Hanya sebentar melihat-lihat, Juan langsung memilih kamera dengan warna hitam yang terlihat sangat elegan. Namun Ariena melongo saat mengetahui harga yang harus dibayar Juan untuk itu. Enam puluh dua juta lima ratus ribu rupiah. Ariena sampai melongo di tempatnya. "Kita pulang sekarang, Kak?" Ariena segera bertanya karena sudah tidak tahan dengan perasaannya sendiri. Bersama Juan seperti ini terlalu nyaman. Seperti dilindungi. Ariena sampai merasa ingin serakah seorang diri. Ia ingin waktu terhenti agar ia bisa terus bersama Juan menghabiskan hari. Walaupun ... itu hanya satu hari. "Aku haus, ayo beli ice cream," celetuk Juan tiba-tiba setelah terdiam lama. Keduanya kini duduk di spot sudut outlet ice cream. Ariena cukup jeli memperhatikan bagaimana dengan lucunya Juan menggabungkan tiga rasa ice cream yang berbeda, mengaduk hingga benar-benar tercampur rata. Pun yang membuat Ariena tidak berhenti tersenyum adalah saat Juan meniup-niup setiap suapan ice cream yang akan dimakan. Juan terlihat seperti anak kecil yang sangat bersemangat saat disuguhkan ice cream di depannya. Ariena berusaha mati-matian menahan tawanya. Ia sudah meledak di dalam. Juan-nya terlihat sangat manis sekarang. Jauh dari sosok dingin yang ia kenal selama ini. Bersama Juan, ia merasakan sebuah kelegaan juga kenyamanan yang tidak didapatnya saat bersama Radit. Ariena tahu sekarang, itu karena Radit tidak pernah tulus padanya. Cinta Radit tidak lebih dari sekedar obsesi gila yang membutakan. "Kenapa terus melihatku seperti itu? Makan es cream-mu sendiri, Arien. Cepatlah. Setelah ini ... temani aku memilih pakaian. Untukmu." "Huh?" *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD