Patah Hati

1828 Words
Kali ini bukanlah badai. Lebih dari itu, saat kekuatannya mengoyak teramat dahsyat—membawa kehancuran. Bukan pula topan atau pusaran tornado yang mampu menjerat lalu menghancurkan fisik dengan kekuatan dahsyat. Lebih dari yang bisa dibayangkan, saat rasa sakit yang datang bersamaan dengan kehancuran hati dan seluruh dunianya. Fisik dan psikis-nya seakan diserang. Bagaimana rasa sakit itu menggerogoti atma dalam remang kepedihan teramat sangat. Seakan dunia berhenti berputar di tempatnya. Ariena seakan berat untuk sekedar berpijak. Ia seolah tergelincir dalam lubang ketakutan. "Aku membencimu, Radit Aldynata! Aku benci!!" monolognya tanpa henti. Ia tidak pernah berpikir akan merasakan kepahitan sebegininya dalam hidup. Kekurangan materi yang biasa dirasakan, sebenarnya tak pernah menyulutkan semangat. Justru menjadi pilar untuk terus bangkit mengapai masa depan yang lebih baik. Namun sekarang, masa depan yang telah direnda dan dipersiapkan sejak lama tiba-tiba hancur dalam sekejap. Ariena terus saja larut dalam kesenduan. Sosok yang dianggap sebagai penyelamat hati, justru beralih sebagai penghancur hatinya. Tungkainya bergetar saat menuruni tangga lantai dua kelab. Membawanya keluar dari kegelapan yang terus merongrong kebahagiaan yang memang tidak lagi dirasakan. Ariena meremas rambutnya kuat. Rasa pusing akibat pengaruh minuman yang disuguhkan semalam terus mendera. Meskipun telah berusaha menahan isakan, saat langkahnya menapaki lantai marmer dalam gedung minim cahaya itu, tetap saja tak mampu menghentikan buliran hangat yang terus melesat tanpa jeda. Ariena bergetar hebat. Ia tidak lagi mencari Radit. Persetan dengan lelaki berengsek itu. Fokusnya teralih pada rasa sakit dan ngilu yang menyerang fisik dan juga hatinya saat itu. Yang Ariena pikirkan hanyalah keluar secepatnya dari tempat yang ia anggap durjana, karena menggores luka trauma mendalam di hatinya. Menyeret langkah saat melewati pintu keluar kelab, Ariena harus menyipitkan netra. Cahaya sang surya pagi itu seakan begitu menusuk, tembus ke dasar hatinya yang penuh luka. Ia menghela napas berat. "Kemana aku akan pergi sekarang? Aku tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini. Ayah dan ibu tidak boleh melihatku begini. Mereka akan kecewa." Ia memeta penampilan dan kembali menghela napas gusar. "Penampilanku sekarang bahkan sekotor tubuhku," gumamnya diiringi kekehan frustasi—masih perih. Ariena mengerjap saat tiba-tiba ia menangkap siluet familiar yang tengah berjalan cepat ke arahnya. Selusurnya meremas jaket kulit berwarna hitam yang membalut tubuh ringkih itu—erat. Ia mendadak begitu gusar. Dadanya berdetak kacau. "K-Kak Madav ...?" Ia tidak mengerti kenapa air matanya kembali turun saat melihat sosok jangkung yang kini tepat berdiri di hadapannya. Menatapnya datar. Persis seperti seseorang yang Ariena rindukan. "Kakak mencarimu dari semalam, Arien. Gaisa bilang, Radit mengajakmu ke pesta dan ... kalian di sini??" Lelaki jangkung berkulit tan yang dipanggil Madav oleh Ariena itu tampak mengedarkan pandangan, memicing setelah tatapannya berakhir memeta penampilan Ariena. "Di mana Radit?" tanya Madava akhirnya. Ia mendadak tidak suka melihat penampilan Ariena yang terlalu minim dari biasanya. Bagaimana kaki jenjang putih mulus itu terekspos sempurna. Begitu mengganggu pandangan dan ... hatinya. Lelaki pemilik nama Madava Abinaya itu tengah dekat dengan sahabat Ariena, Gaisa Listya. Sungguh suatu kebetulan, karena Madava adalah sepupu dari Juan Sandyaga. Lelaki yang dicintai Ariena siang dan malam sejak tiga tahun lalu sampai dengan sekarang. "Jangan tanyakan dia, Kak," sahut Ariena, parau. Ia buru-buru menyeka air mata yang semakin kurang ajar mempermalukannya di depan Madava. Saat Ariena mendongak, ia mendapati Madava masih memicing ke arahnya. Perasaan Ariena mendadak tidak enak. Lututnya melemas dengan jari terus sibuk memilin ujung jaket yang dikenakan. "Kamu menghabiskan malam bersama Radit di sini?? Lalu ... menangis seperti ini untuk apa?? Ayo cepat. Kakak akan mengantarmu pulang." "A-aku tidak ... ah, lupakan." Ariena menunduk. Madava menarik pergelangan tangan Ariena lembut, namun gadis bersurai coklat itu bergeming di tempatnya. Ia ragu untuk melangkah pulang. Itu yang Ariena risaukan sejak ia keluar dari kelab beberapa menit lalu. "Kenapa? Masih mau di sini? Menunggu Radit keluar lalu kalian akan pulang bersama?" Madava menyerang Ariena dengan rentetan kalimat sarkasnya. Ia memikirkan sesuatu hal terjadi pada gadis tersebut. Raut wajah kacau dengan ujung hidung kemerahan? Madava benar-benar penasaran. "Dia pergi," guman Ariena kemudian. Ariena menyadari kalau kakak kelasnya saat di bangku SMA itu tengah mencurigai keberadaannya di kelab bersama Radit. Ia juga sadar jika Madava kini seolah memandangnya sebagai gadis nakal yang bermain di kelab malam bersama lelaki hingga pagi tiba. Ariena menghembuskan napas lelah, ia tidak peduli lagi bagaimana pandangan lelaki di depannya itu terhadapnya. Ariena semakin muak berada terlalu lama di tempat durjana tersebut. Berharap ada seseorang yang membawanya menghilang sekarang juga. Ariena tak bisa percaya, bagaimana kalimat Madava setelahnya membuat hatinya berguncang. "Ayo cepat, Kakak antarkan kamu pulang. Karena setelah itu Kakak harus ke bandara. Menjemput Juan." Reaksi berlebih yang dihadirkan Ariena membuat Madava mengernyit penasaran. "Kenapa masih diam? Ayo cepat. Juan itu paling benci orang yang tidak tepat waktu. Ia akan mengomel seharian. Kakak bisa sakit kepala jika mendengar bagaimana dia murka nantinya. Kamu juga pasti tidak akan kuat, kalau mendengarnya. Ah, sepupuku itu memang sulit ditebak." Mendengar secuil fakta tentang Juan membuat hatinya berdesir tiba-tiba. Ariena mencoba mengontrol diri. Tidak mau membuat Madava mengetahui perasaan terpendamnya pada Juan Sandyaga. Bahkan sahabatnya, Gaisa dan Winona tidak mengetahui apa pun. Yang semua orang tahu, betapa Ariena mencintai Radit, dan juga sebaliknya. Hubungan yang manis. Manis sekali memang, sampai Ariena dimabukkan oleh jeratannya lalu tidak sadar kalau Radit telah lama mengincar tubuhnya. Ariena sadari itu, terlalu banyak hal yang ia pikirkan di kamar kelab tersebut sebelumnya. Radit yang penasaran dengannya, menyebutnya 'gadisku'. Apalagi kalau bukan dibutakan obsesi padanya. "Kak, tolong antarkan aku ke rumah Gaisa saja. Aku ... ingin bertemu dengannya terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Ah, maksudnya aku akan pulang sendiri ke rumah nanti. Atau..." Ariena tidak paham apa yang sedang ia bicarakan. Kenapa kepalanya tidak berhenti berdenyut sejak tadi. "Apa kamu mau menemani Kakak menjemput Juan sekarang? Kita masih punya waktu 20 menit lagi sebelum dia take on. Bagaimana?" Ariena cukup terperanjat. Ajakan Madava sulit dipercaya. Tidak. Ariena tidak akan kemana-mana. Dengan penampilan se-minim sekarang ditambah rasa perih yang terus menyerang di pusat tubuhnya? Ariena akan gila jika menerima ajakan Madava sekarang. "Kalau Kakak buru-buru, aku bisa menunggu taksi. Tidak apa-apa. Jemput saja kak Juan dulu, Kak." "Huh? Meninggalkanmu di sini? Kamu mau membuat Gaisa menimpukku, Arien? Dari semalam Gaisa menyuruhku untuk mencarimu, sejak ayahmu meneleponnya, menanyakanmu. Dan ... Gaisa terpaksa berbohong dengan mengatakan kalau kamu menginap di rumahnya." Madava tidak berbohong mengatakan semua itu. Walau ada yang kurang, karena sebenarnya ia sendiri juga mengkhawatirkan Ariena. Ya, hanya khawatir. Sepertinya. "Bukankah Gaisa juga diundang semalam oleh ...?" Lidah Ariena seakan kelu untuk menyebut nama 'Radit'. Lebih tepatnya muak. Semakin menambah keperihan di dalam hatinya. "Maksudmu Radit? Tidak, Gaisa tidak mengatakan apa pun." Kali ini Madava semakin merasa tertarik untuk mengetahui permainan sahabatnya, Radit. Sepertinya ada konspirasi gila yang tidak ia ketahui. Terlepas bagaimana persahabatan ia dan Radit selama ini, keduanya tetap punya batasan dalam ranah pribadi. Dan Madava paham, kalau Radit menciptakan jarak besar dengannya selama satu tahun terakhir ini. Radit semakin berubah menjadi sosok misterius, menurutnya. "Apa Gaisa memang mengatakan sebelumnya berhalangan hadir ke acara semalam?" tanya Ariena lagi. Ariena juga tengah mengernyit dalam. Memikirkan tentang kata-kata Radit semalam bahwa Gaisa tidak bisa datang ke kelab karena berhalangan? Itu benar-benar bullshit. Kenapa Ariena bisa dengan mudah mempercayai semua ucapan lelaki berengsek itu? "Tidak. Dia memang tidak diundang. Gaisa tahu soal pesta itu setelah ayahmu meneleponnya. Kakak bersama Gaisa semalam. Membantunya memecahkan beberapa soal test SNMPTN yang akan kalian ikuti lima belas hari lagi. Kamu tidak lupa kan, Arien?" Ariena sudah ingin berteriak saja sekarang. Bagaimana ia terus merutuki Radit di dalam hati. Ariena diam-diam mengepalkan tangan. Seandainya saja sekarang Radit tepat berada di depannya, mungkin kepalan tangan itu akan mendarat tepat di sudut bibir lelaki itu. Bibir yang telah berani merenggut first kiss-nya, dan juga semua miliknya yang berharga. Mengingat tes masuk perguruan tinggi yang sudah di depan mata, dan keadaannya seperti sekarang karena ulah Radit, Ariena mendadak kehilangan semangat yang sudah dipupuknya dari jauh hari. Padahal ia sudah berencana dengan matang mengurus beasiswa untuk bisa berkuliah di universitas terkemuka ibu kota bersama Gaisa. Rasanya sekarang mood-nya menghilang. Hatinya yang hancur menjadi alasan. "A-aku tidak lupa, Kak," tegas Ariena dengan netra kembali berkaca-kaca. Madava tidak menyadari apa pun, saat ia tersenyum lalu kembali menarik pergelangan Ariena. Mengajak ke mobilnya. Sampai ia tersadar saat melihat langkah Ariena memberat. Langkah-langkah kecil itu membuat atensinya teralih pada raut wajah Ariena, seperti tengah kesakitan. "Arien ... are you okay?" tanyanya sembari memicing penasaran. "I'm okay ..." Ariena masih berpura-pura kuat. Padahal rasa nyeri yang menyiksa di bawah sana membuatnya ingin meledak seketika. "Ya sudah, ayo." Madava terlalu bersemangat menarik Ariena. Ia berfokus ke depan tanpa melihat raut wajah Ariena yang sudah memerah menahan sakit yang coba disembunyikan darinya. Keduanya sampai di depan sebuah mobil sedan mewah Mercedez Benz C-Class putih yang sebelumnya terparkir di seberang jalan. Madava mempersilahkan Ariena masuk ke dalam mobil setelah membukakan pintunya, lalu ia mengitari mobilnya itu, ikut masuk dan duduk di jok kemudi. "Kita jalan sekarang ya?" ucap Madava yang terdengar seperti sebuah pertanyaan di rungu Ariena. "Ke rumah Gaisa, kan?" "No. Kita ke butik dulu, membelikanmu outfit yang lebih sopan. Mata Kakak agak sakit melihat penampilanmu seperti itu." "Tapi a—" "Jangan membantah. Tidak mungkin kan kamu datang ke bandara untuk menjemput Juan dengan penampilan sekusut itu??" Madava terkekeh. Namun, Ariena malah melengos. Ia tidak mengharapkan bertemu siapa pun sekarang ini, selain menyendiri di dalam kamar sederhananya. Apalagi jika itu adalah Juan Sandyaga. Ia tidak siap. Baru semalam ia remuk, dihancurkan Radit. Dan sekarang ... haruskah ia kembali merasakan remuk, patah hati yang sama setelah bertemu Juan nantinya? Ariena menatap ke luar melalui kaca mobil gelap tersebut, ia menghembuskan napas berkali-kali. Masih terasa sakit. Kesakitan yang berkali lipat rasanya. Bertemu dengan Juan nantinya hanya akan menambah luka. Ariena pastikan itu. Ariena cukup tahu, seberapa keras kepalanya Madava Abinaya, sahabatnya Gaisa sudah sering bercerita, kalau lelaki di sebelahnya itu sukar menerima penolakan. Walau tidak memaksa kehendak, tetapi tetap saja tidak ada yang berani melawan saat netra dengan double eyelid itu menajam. Persis seperti yang ia lihat sekarang. Ariena mendadak kelimpungan—takut. Madava selalu memiliki sisi yang berbeda, dan dapat berubah dalam hitungan detik tanpa terduga. Bagaimana saat ini lelaki yang sering dipanggil 'alien' oleh sahabatnya, tengah menguar box smile andalan, meruntuhkan ketakutan Ariena dalam sekejap—mendadak lega. "Kita akan ke butik tante Diandra," ujar Madava lalu langsung menjalankan mobilnya cepat memecah jalanan, tanpa menunggu persetujuan dari Ariena. Gadis itu mengernyit penasaran. Merasa familiar dengan nama tersebut. Berusaha memutar ingatan, namun tidak ada hasil apa pun. Pikiran Ariena tengah kacau. Demi apa pun ia kesulitan untuk fokus, sampai penuturan Madava selanjutnya membuat ia tercekat di tempat. "Kamu pasti masih ingat kan dengan tante Diandra Pratama? Istri pemilik Yayasan Sekolah Pratama, sekolah kita, dan ... mama dari Juan Sandyaga." Maka, detik itu juga Ariena semakin sadar diri. Perbedaan status sosial yang seperti langit dan bumi antara ia dan cinta pertamanya, Juan Sandyaga, menghempaskan asanya ke dalam inti pusat bumi. Lenyap bersama magma yang terus mengendap tanpa mampu keluar menjadi lava, karena ia takut akan menjadi boomerang selamanya. *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD