Kemurkaan Ayah

1360 Words
Two days later .... Tubuh yang bergetar hebat akibat tangisan yang berusaha ditahannya agar tidak kembali menguar itu, menghadirkan rasa perih tak terhingga. Apalagi saat netranya mengerling, menangkap seonggok benda pipih dengan ukiran dua garis berwarna merah di atas nakas sisi bed-nya. Ariena sesak. Tangannya meremas kuat selimut yang sedari tadi menutupi tubuh ringkih dalam balutan piama satin hitam tersebut. Ia benci di saat-saat begini harus mengingat Radit Aldynata. Ariena pastikan itu karena bawaan janin yang di kandungnya, buka kehendak hatinya sendiri. Ariena bertaruh jika hatinya sudah terlalu bebal untuk menerima Radit di dalam ruang hatinya yang memang sudah dipenuhi Juan Sandyaga. Mengingat lelaki yang dicintainya itu, bulir-bulir hangat itu pun tak mampu terbendung lebih lama. Luruh seketika, bersamaan dengan rasa sakit yang menusuk di hatinya yang penuh luka. "Aku sangat mencintaimu, kak Juan. Tapi sekarang ... lihatlah aku yang lemah dan sekotor ini. Harusnya, aku bisa semakin sadar diri untuk tidak mengharapkan takdir indah untuk kita. Aku akan menyerah, kak. Ada Radit dan Calista yang membuatnya semakin nyata. Kalau aku dan kakak ... sampai kapan pun tidak akan bisa bersama." Ariena semakin terisak dalam keperihan hatinya. Pundak yang bergetar, bersamaan dengan d**a yang bergemuruh hebat itu seakan mengisyaratkan bahwa hatinya berulang kali dipatahkan dengan cara yang berbeda. Ariena benci harus mengingat semuanya. Bagaimana sekarang ia semakin menggigil tanpa ia sangka, pun gigi yang bergemeretak menahan rasa sakit yang tiba-tiba menghujam di bawah sana. "Ke-kenapa rasanya sakit sekali?" gumamnya parau, dengan tangan semakin keras meremas selimut light grey yang membentang memenuhi kasur king size-nya. Tiba-tiba ada gejolak lain ia rasakan mengaduk-aduk lambungnya. Memaksa keluar. Ariena segera bangkit, turun dengan cepat menegakkan torso setelah memakai sandal karet berwarna mocca yang tergeletak pasrah di kaki tempat tidurnya. Lantas, Ariena berlari cepat ke dalam kamar mandi yang berada di sudut kamarnya. Ia mengeratkan tangan pada wastafel saat cairan kental itu keluar dari mulut dan memencar memenuhi wadah wastafel di depannya. Ariena lemas seketika. Ada rasa lega saat ia berhasil memuntahkkan semuanya. Namun, tidak berakhir di sana. Nyatanya sekarang gejolak yang sama kembali datang, Ariena siap memuntahkan kembali isi perutnya. Ia bergetar. Rasa perih menjalar sampai ke ulu hatinya. Menghidupkan keran hingga air bersih pun dingin itu keluar membersihkan semuanya. Ariena membasuh wajah pucat mulusnya itu, kemudian memandangi pantulan diri di cermin depannya tersebut. Begitu sendu. Ada rasa yang sulit dipahami dan datang semenjak dua hari terakhir tanpa ia duga. Bagaimana sekarang tangannya itu menyentuh perut rata di bawah sana, mengelus lembut dengan kasih sayang yang memuai debar. Aerina menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. "Bunda sayang kamu, Nak," tuturnya parau dengan buliran bening yang melesat cepat di kedua sisi wajahnya. "Kita akan berjuang bersama-sama, kan?" sambungnya lagi. Sialnya, bayangan Radit tiba-tiba melintas cepat di benaknya. Ariena tidak mengerti kenapa. Yang jelas sekarang ia butuh sosok Radit untuk memeluknya. Benar-benar gila. Bagaimana bisa ia berpikir sebodoh itu. Apa yang terjadi pada dirinya sekarang? Kenapa ia begitu merindukan sosok lelaki jahat tersebut? Apa lagi-lagi karena kehamilannya? Ariena mencelos seketika. Ia kini mencoba memejamkan netra dan menghembuskan napas lelah berkali-kali. Berharap mampu membuang semua pikiran tidak berfaedah yang dirasa. Namun ia semakin sial, saat kelabat bayangan Radit yang memperlakukannya dengan lembut pun penuh perhatian sebelum merubah dunianya kembali hadir menyapa dalam benak. Seakan datang untuk menertawainya. Itu yang Ariena pikirkan. "Kenapa harus lelaki itu, Ya Tuhan ... aku sangat membencinya." Ariena menggerakkan tungkainya lunglai keluar dari kamar mandi bernuansa serba putih tersebut. Menutup sempurna pintu kamar mandi, Ariena kembali melangkah menuju tempat tidur. Sudah dua hari ini ia terus terbaring lemah di atas sana. Sulit mencerna asupan apa pun, karena setiap ada makanan yang lolos ke dalam perut, selalu berakhir dengan dimuntahkan kembali olehnya. Baru saja ia merebahkan tubuhnya yang menggigil dalam getar kepiluan, suara pintu yang dibuka perlahan langsung mengalihkan atensinya. Netranya menangkap presensi seorang wanita anggun yang sangat disayanginya. Ariena kembali bangkit hati-hati, dan duduk di pinggir kasur berbalut seprai berwarna light grey itu sembari teru memperhatikan sosok yang berjalan menghampirinya. "Kamu tambah pucat, Nak. Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja? Jangan terus menolak. Ibu tidak bisa melihat keadaan kamu yang terus melemah seperti sekarang." "Tidak, Bu. Ariena tidak mau. Ini tidak apa-apa. Ibu jangan khawatir. Aerien sudah browsing artikelnya. Bukankah biasa di trimester pertama mengalami hal ini, Bu?" terangnya parau. Mendadak netranya memanas. Ia buru-buru menarik napas dalam untuk menutupi semua perasaan hancur yang terus menderanya. Begitu menyedihkan tanpa asupan makanan seperti biasanya. Ariena hanya terus memaksa menelan semuanya, meskipun berakhir dimuntahkan. Sang ibu yang begitu sesak melihat keadaan putri cantiknya yang kini harus melewati masa-masa sulit di awal kehamilan tanpa didampingi seorang suami itu, terus menatap iba dengan selusur yang terus digerakkan lembut menyisiri surai halus anaknya. Jelas saja Kavita merasa hancur menyaksikan keadaan Ariena yang kian lemah setiap harinya. "Ada yang ingin bertemu denganmu, Nak. Mereka menunggumu di depan. Apa kamu kuat untuk menemui mereka? Atau sebaiknya Ibu bilang saja kalau kamu kurang enak badan? Bagaimana?" tanya Kavita kepada putrinya dengan tatapan sendu yang mengukir jelas tanpa mampu ia sembunyikan. "Huh? Siapa, Bu?" Ariena bertanya penasaran. "Sahabatmu Gaisa dan pacarnya. Ibu lupa siapa nama pemuda itu. Ramah sekali. Ia baru datang, tetapi sudah bisa membuat ayahmu terbahak." Ariena menarik sudut birainya. Ya, Ariena seharusnya bisa menebak. Siapa lagi di luar sana yang peduli kepadanya selain sahabatnya Gaisa dan juga kakak kelasnya yang absurd tetapi baik hati itu? Ariena seharusnya tidak bertanya. Mengharapkan seorang Juan Sandyaga datang ke rumahnya? Itu sungguh hal yang mustahil bisa terjadi. "Ariena akan menemui mereka, Bu. Sebentar, Ariena akan mengganti pakaian terlebih dahulu," tegasnya dengan senyuman yang terbingkai manis di bibirnya. "Kalau begitu Ibu tunggu di ruang tamu saja, menemani mereka." Kavita ikut tersenyum. Lantas ia kembali menggerakkan tungkai keluar dari kamar begitu meihat anggukan sang anak. Sepeninggal ibunya, Ariena langsung beralih bangkit menuju lemari. Ia akan mendapatkan outfit yang sederhana untuk menemui sahabat-sahabatnya. Mengingat kata 'sahabat', ia tiba-tiba mengingat Winona. Sahabat satunya lagi yang kini berubah tiba-tiba, menjauhinya. Satu hal yang kini Ariena yakini. Ada sesuatu antara Radit dan sahabatnya itu. Sebuah relationship yang terjadi di belakangnya. Ariena tidak bodoh untuk menyadari semua itu. Sekalipun benar kalau Radit mengatakan tidak pernah ada hubungan spesial dengan Winona, Ariena bisa melihat fakta lain dari netra sahabatnya itu. Memendar dalam saat menatap Radit. Persis seperti yang ia lihat saat makan bersama Juan belasan hari lalu. Ariena kembali mencelos. Sungguh, ia merindukan Radit sekarang. Lelaki yang dulu dianggap bisa menjadi sandaran untuknya, juga pernah diharapkan untuk bisa menjadi pengganti Juan. Namun, kejadian memuakkan sepanjang hidupnya. *** "Ariena ...!" Ia merasakan tubuhnya ditubruk lembut, dipeluk oleh sahabat setianya. Ariena membalas pelukan tersebut dengan tidak kalah eratnya. Bahagia. "Apa sudah lama? Maaf sudah membuat kalian menunggu." Ariena buka suara sembari melepaskan pelukannya. "Tidak. Kami baru saja sampai. Bagaimana bisa dikatakan sudah lama, hmm?" Gadis manis bernama Gaisa Listya itu menguar senyuman manis. "Kami sebenarnya terus merasa khawatir sejak kejadian dua hari lalu di kampus. Ternyata benar seperti yang kami pikirkan. Kamu sedang tidak baik-baik saja, Arien." Lelaki pemilik surai hitam tersebut ikut bersuara. Ariena buru-buru menatap kakak kelasnya itu. Memberi kode agar tidak meneruskan ucapannya. Namun sepertinya, sepupu Juan Sandyaga itu tidak paham kode Ariena. Terlihat bagaimana Ariena harus menggigit bibir karena mendengar penuturan yang sangat ia sesalkan terlantun di depan kedua orang tuanya. "Setelah kamu pingsan hari itu, kami terus mengkhawatirkanmu, Arien." Lelaki pemilik nama Madava itu berucap kembali. Ariena merutuk di dalam hati. Kodenya tidak dipahami dengan baik oleh Madava. Kalau itu Gaisa, pasti ia sudah selamat dari tatapan ayahnya yang kini memicing ke arahnya. Ariena kepalang takut. "APA?! Pingsan?!" Benar seperti yang Ariena takutkan. Sang ayah kini melebarkan netra dengan suara yang sudah naik satu oktaf. "Iya, Om. Arien sempat pingsan saat sedang mengikuti ujian kemarin," tambah Madava. Ingin sekali Ariena menimpuknya dengan sandal sekarang juga. Kenapa kekasih sahabatnya itu tidak juga peka. Okay, Ariena seharusnya tahu jika lelaki itu sering tidak peka. "Astaga! Jadi ... kamu tidak mengikuti ujiannya sampai selesai, Arien?" Ariena tercekat di tempat. Ia sudah mengecewakan kedua orang tuanya untuk kesekian kalinya. Ia kembali mengerjap saat suara lantang sang ayah kembali mengudara dalam emosi yang terpendar jelas. "INI SEMUA KARENA LELAKI BERNAMA RADIT ITU!! AYAH AKAN MENEMUKANNYA ... HARI INI JUGA!" *** To be continued...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD