Pertemuan Keluarga

1374 Words
"Maaf, Om Satya. Maksud kami me—“ "Tolong jangan berbelit-belit. Setiap waktu yang saya punya itu berharga." Pemuda bernama Madava itu seketika mendelik saat perkataannya dipotong begitu saja oleh pria paruh baya yang tampil classy dalam balutan jas berwarna grey, tengah berdiri angkuh di hadapannya. Ariena yang sedari tadi menunduk—terdiam—di atas sofa ruang tamu rumahnya itu segera mendongak mendengar jawaban pongah dari ayah Radit Aldynata tersebut. Ia menghela napas kasar lanjut melirik lelaki tampan bermata sipit di seberangnya yang masih setia menunduk sejak kedatangannya ke kediaman Aiden. "Silahkan duduk dulu Pak Satya. Kita bisa menyelesaikan masalah putra-putri kita secara kekeluargaan ... jika Bapak berkenan. Ini masalah besar, Pak. Maaf saya harus memanggil Anda ke tempat kami yang sederhana ini. Jujur saja, saya sudah mencari Radit selama dua hari ini, tetapi saya tidak bisa menemukannya. Sampai Nak Madav memberi tahu saya untuk menghubungi Bapak saja." Aiden pun buka suara. Ia menguar tatapan bersahabat pada pria yang masih kukuh berdiri sejak tiba di rumahnya. Aiden bisa bernapas lega. Setidaknya, pria yang terlihat seusia dengannya itu bisa membawa Radit ke hadapannya. Ayah dari Ariena itu kembali melirik lelaki muda yang duduk di seberangnya. Lelaki yang telah menghamili putri semata wayangnya. Meskipun ada rasa geram melihat Radit sekarang yang tepat berada di depan kedua matanya, Aiden tetap berusaha bersikap bijak. Semuanya harus diselasaikan dengan kepala dingin agar bisa ditemukan penyelesaian yang tepat. "Okay, tidak masalah, Pak Aiden. Saya pernah melihat Anda sebelumnya. Bukankah Anda yang bersama pak Sandyaga tempo hari? Saat menghadiri pertemuan dengan pemilik tender? Selamat ya. Perusahaan Anda bisa memenangkan tender besar itu. Selamat ya. Kalian memang vendor terbaik." Ayah dari Radit Aldynata itu pun berucap cepat ketika berhasil mendudukkan torsonya di sofa. Tepat di samping putranya. Aiden menghela napasnya, lagi. Agak lelah menghadapi Satya. Di saat genting seperti ini, masih sempat memikirkan tentang bisnis. Membuatnya paham, bahwa calon besannya—jika telah ditemukan kesepakatan baik antara kedua belah pihak—itu larut dalam pekerjaan dan tidak meluangkan waktu yang cukup bagi putranya. Pemikiran Ariena sekarang pun tidak jauh berbeda dengan sang ayah. Melihat tidak interaksi berarti antara Radit dan orang tuanya itu. Ariena yang tahu jika ibu kandung dan ibu sambung Radit—yang merupakan ibu kandung Calista—sudah meninggal, kini bisa mengerti bagaimana pergaulan Radit yang bebas itu jauh dari pantauan orang tuanya. "Ya, terima kasih, Pak Satya. Saya hanya karyawan biasa di Pratama Group, dan se—" "Tetapi presentasi Anda sangat memukau. Wajar jika Pratama menenangkan tendernya." Aiden mulai merasa jengah, saat perkataannya dipotong oleh ayah Radit. "Bisakah kita tidak membahas soal pekerjaan dulu, Pak Satya? Karena tujuan saya memanggil Anda dan putra Anda ke sini karena masalah putra-putri kita. Maaf Pak Satya, saya selaku orang tua Ariena merasa sangat kecewa atas perbuatan Radit. Putri saya ... disentuh setelah dijebak oleh putra Anda sebelumnya, hingga ... positif hamil." Aiden merasa sesak mengutarakan setiap kalimat yang tercetak dari dalam hatinya yang terluka. Ariena yang menyadari bagaimana ekspresi sang ayah tercinta setelah berhasil mengutarakan semua rasa sakit hatinya itu, hanya bisa menghembuskan napas frustasi. Ariena merasa muak melihat Radit yang terus menunduk tidak gentle seperti itu. "Hmm ... jadi hanya masalah itu?" timpal Satya tiba-tiba setelah terdiam beberapa waktu. Sungguh, Ariena menyayangi sikap ayah Radit. Lebih tepatnya merasa sangat kecewa. Pun bagaimana sekarang Radit mendongak sekejap menatapnya, kemudian kembali menunduk seperti sebelumnya membuat ia mengeraskan rahang. Menahan emosinya. "Apa Anda menganggap ini hanya masalah sederhana, Pak Satya? Ini menyangkut masa depan putri saya yang sudah dihancurkan oleh putra Bapak. Bagaimana bisa responnya tidak acuh begitu? Maaf, tolong posisikan diri Anda sebagai saya, Pak. Bagaimana putri saya dihancurkan hingga selemah sekarang ini? Bagaimana putri saya gagal mengikuti ujian masuk perguruan tinggi karena sempat tidak sadarkan diri karena kesehatannya menurun seketika. Ini bukan masalah sepele, Pak. Harga diri dan masa depan putri saya hancur karena ulah Radit." Aiden berucap cepat. Mulai gerah. "Ya sudah, nikahkan saja mereka. Selesai, kan?" enteng Satya kemudian. "Pa ..." Radit tiba-tiba mendongak ke arah ayahnya. "Apa? Kenapa kamu bersikap seceroboh itu? Seharusnya kalian memakai pengaman. Tidak sembrono begitu," ujar Satya santai. "PAK SATYA!" Aiden langsung bangkit dari sofa. Emosinya semakin tersulut mendengar penuturan ayah Radit yang semena-mena. Seolah menghalalkan hubungan terlarang sebelum pernikahan itu. "Ayah ... Ayah harus tenang." Beruntung ada Madava yang menenangkan Aiden, sehingga ia kembali mendaratkan tubuhnya di atas sofa, setelah menarik napas dalam. Mencoba menenangkan dirinya. "Bukankah mereka sudah sama-sama dewasa, Pak Aiden. Lalu apa yang kita takutkan. Itu sudah biasa terjadi pada hubungan anak muda zaman sekarang. Hanya saja bedanya mereka kebablasan tanpa pengaman," timpal Satya. "Cukup, Pak Satya! Anda berarti tidak mendengarkan dan tidak mengerti maksud perkataan saya sejak tadi. Putra Anda menjebak putri saya. Beruntung saya masih mau menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Sempat terpikirkan sebelumnya untuk membawa masalah ini ke jalur hukum. Yang dilakukan putra Anda itu adalah tindakan kriminal. Dan hal ini tidak bisa dipandang hanya berdasar urusan privat saja. Tapi ini adalah masalah publik karena perilaku yang tidak bermoral dan keji. Saya sangat kecewa. Sejak tadi saya sedang melawan pikiran saya untuk menghajar putra Anda. Hati saya sakit sekali, Pak." Aiden kembali meluapkan emosi aaat merasa ucapannya sebelumnya tidak dipahami dengan baik oleh Satya. "Ya sudah. Kenapa jadi emosi begini? Bukankah sudah saya jawab tadi? Nikahkan saja mereka, lalu urusannya selesai, kan? Saya itu harus meninggalkan pekerjaan saya untuk datang ke sini. Tolong lakukan penyelesaian secepatnya. Jangan berbelit-belit seperti yang saya katakan tadi." Ariena menahan amarah mendengar ucapan santai dari ayah Radit. Seakan menganggap kehamilannya itu masalah kecil. Ariena benar-benar murka, tetapi di waktu bersamaan harus tetap waras untuk tidak meledak. Beruntung saja, ibunya sedang bersama sahabatnya Gaisa di dalam kamar. Setidaknya, ibunya tidak semakin hancur mendapati calon besannya bersikap acuh tak acuh seperti sekarang. "Nak Radit, kenapa kamu hanya diam saja sejak tadi?! Apa tidak ada itikad baik atas perbuatanmu kepada Ariena? Sampai kamu menghilang setelah melakukan perbuatan terkutuk itu." Aiden pun harus menahan diri mati-matian untuk tidak melayangkan bogem mentahnya kepada pemuda itu. Terlihat sangat tidak bertanggung jawab setelah semua yang dilakukannya. "Tetapi ... Saya masih kuliah, Om. Saya juga tidak punya pekerjaan. Kami masih sama-sama muda. Bagaimana saya bisa menikahi Ariena?" "Seharusnya kamu pikirkan semua itu sebelum kamu menghancurkan putri saya," kesal Aiden. "Sekarang, kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatan kamu itu," sambungnya. "Tapi ..." Radit meragu. Sampai emosi Ariena dibuat semakin membuncah. Namun, tetap harus menahan diri sebelum semuanya berubah semakin runyam. Ariena banyak belajar sabar dari ayahnya. "Kamu bisa menghidupi istri dan anakmu dari perusahaan kita. Jangan seperti orang susah, Radit," celetuk Satya kepada putranya. Terlihat semakin pongah. Sebenarnya bukan itu yang dipikirkan Ariena. Bukan masalah harta. Ini masalah perbuatan keji Radit yang seolah dianggap sebagai hal wajar oleh orang tuanya. Ariena tidak habis pikir. Ia jadi semakin ragu dinikahi Radit hanya untuk menutupi aib. "Ya, aku akan menikahi Ariena, Pa. Secepatnya," terang Radit seraya menatap dalam Ariena di hadapannya. Membuat perempuan itu jengah. Namun, entah kenapa Ariena merasakan hal lain yang bertentangan dengan kewarasannya. Ia membutuhkan Radit. Ariena seperti sudah sangat merindukan lelaki itu. Tatapan lembut namun begitu mengintimidasinya membuat atensi Ariena terpaku pada sosok di hadapannya itu. Ia buru-buru menggeleng. Membuang perasaan yang datang tiba-tiba itu. Ariena pastikan itu merupakan bawaan kehamilannya, bukan perasaannya sendiri. "Okay. Semua clear ya. Masalah pernikahan mereka Pak Aiden tidak perlu khawatir. Saya yang akan menanggung semuanya. Sekarang tentukan saja, kapan waktunya?" "Maaf, Om. Saya tidak mau ada pesta atau semacamnya. Cukup pernikahan sederhana yang sah di mata hukum dan agama. Dan ... cukup penghulu, wali dan saksi saja," tegas Ariena, buka suara pada akhirnya. "Wah, sayang sekali. Padahal ini acara untuk sekali seumur hidup. Lalu ... kapan pernikahannya akan dilangsungkan?" Satya masih menatap calon menantunya. "Soal itu ..." Ariena terdiam. Keraguan yang menguasai hatinya sekarang, membuat lidahnya seakan kembali kelu untuk sekedar digerakkan. Ia lantas menatap sang ayah di sampingnya. Meminta bantuan. Berharap sang ayah memahaminya. Madava ikut melirik Ariena sekarang. Lelaki itu hanya diam memperhatikan, tidak mau ikut campur sedikit pun. Ini adalab rapat dua keluarga yang akan segera disatukan dalam pernikahan. "Minggu depan, Pa. Radit akan menikahi Ariena minggu depan." Kalimat Radit sukses membuat Ariena memicing tidak suka. Apalagi tatapan Radit yang seolah tengah mengancam kenyamanannya. Ia merasa akan masuk ke dalam bahaya. Dalam kukungan Radit Aldynata. *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD