Bab 14. Sisi Lain Alan

1057 Words
Elena keluar kamar dan mencari bi Siti. Ia berjalan ke arah dapur dan terus mencarinya. Memang selain bi Siti, tidak ada lagi orang di dalam rumah besar itu. Namun, Elena tidak menemukan bi Siti di dapur. "Bi?!" panggil Elena dengan terus mencari. Bi Siti tidak menjawab. Elena pun berjalan ke arah luar rumah. Mungkin saja bi Siti ada di halaman rumah. Namun, tetap tidak menemukannya. Membuat Elena heran dan merasa aneh. "Apa mungkin bi Siti sedang keluar, ya?" gumam Elena berbicara sendiri. Tiba-tiba, terdengar suara seperti sesuatu yang terjatuh. Membuat Elena terkejut dibuatnya. Elena kembali ke dalam dan mencari asal suara itu. "Bi Siti?! panggil Elena lagi. Bi Siti tetap tidak menjawab. Lamat-lamat, Elena mendengar suara dari dalam, namun Elena masih belum menemukannya. Setelah Elena memasang telinganya lebih jelas, rupanya suara itu berasal dari dalam kamar Alan. Elena pun mendekati pintu kamar Alan. Elena yakin suaranya berasal dari sana. Alan sudah berangkat kerja dari pukul setengah delapan pagi tadi. Jadi tidak mungkin kalau Alan di kamar. Mungkin saja, bi Siti yang ada di dalam sana. Pikir Elena. Elena semakin mendekat dan membuka pintu kamar Alan dari luar. Begitu dibuka, ia terkejut melihat bi Siti berada di lantai dengan ditindih baju-baju yang berserakan. Elena pun segera berjalan cepat mendekati beliau. "Bi Siti?!" panggil Elena sembari berlari menolong bi Siti. "Bibi tidak apa-apa?" Elena membantunya berdiri. "Tidak, Non. Tadi, Bibi mau membersihkan lemari, eh malah terpeleset. Jadi, Bibi ingin berpegangan tapi malah jatuh," jelas bi Siti. "Apa Bibi terluka?" "Tidak, Non. Tidak apa-apa." "Syukurlah," ucap Elena lega. "Aku mencari Bibi ke mana-mana dari tadi." "Ada apa, Non?" "Apa Bibi tahu baju yang aku masukkan ke mesin cuci beberapa hari lalu? Aku cari kok tidak ada?" "Oh, Bibi sudah merapikannya, Non. Bibi taruh di dalam lemari kaca dekat ruang tengah." "Terima kasih, Bi. Nanti aku ambil." "Iya, Non." "Bibi, butuh bantuan?" "Tidak apa-apa, Non. Bibi mau membereskan kamar Tuan yang berantakan dulu, Non," kata bi Siti yang melanjutkan membereskan pakaian yang berserakan. Elena memperhatikannya. "Bi, apa pak Alan tidak marah Bibi masuk ke kamarnya seperti ini?" "Tidak, Non. Kenapa harus marah?" "Aku sering melihat di drama-drama, kamar orang kaya biasanya tidak boleh disentuh siapapun," kata Elena. Bi Siti tertawa sebentar. "Tuan tidak seperti itu kok, Nona," bela bi Siti untuk Alan. Elena jadi penasaran dan ingin bertanya sesuatu lagi. "Memangnya, Bi Siti sudah berapa lama bekerja di sini?" "Sekitar tiga puluh tahun, Non. Sejak tuan masih belum lahir, saya sudah di sini," jawab bi Siti. Elena terkejut mendengarnya. "Wah! Ternyata lama juga ya, Bi? Pasti ... sejak kecil pak Alan sangat dimanja dan apa yang dia mau, pasti akan dibelikan." "Saat kecil sampai usia lima tahun, tuan memang sangat disayangi, Non. Tuan sendiri juga sangat menyayangi bundanya." "Benar perkiraanku. Itulah kenapa sekarang dia jadi orang yang sangat galak dan angkuh. Bahkan menurutku, dia orang yang sangat membingungkan. Aku sama sekali tidak bisa mengerti maksudnya," ungkap Elena. Bi Siti kembali tersenyum. "Nona hanya belum kenal saja dengan tuan. Tuan memang kelihatannya tidak acuh, tapi sebenarnya tuan orang yang perhatian. Ingat, pertama kali saat Nona ikut sarapan dan langsung muntah begitu melihat nasi? Saat itu, tuan menyuruh Bibi untuk memenuhi semua kebutuhan yang Non Elena perlukan. Termasuk, buah-buahan." "Tapi ... bukannya buah memang harus selalu ada di rumah ini ya, Bi? Pak Alan sendiri yang bilang, dia harus selalu menyediakan buah untuk suguhan tamu." "Tidak, Nona. Buah sangat jarang ada di lemari es. Malah kadang tidak ada. Begitu mendengar Nona suka makan buah, tuan menyuruh Bibi untuk terus menyediakan buah di lemari es," terang bi Siti. Elena pun terhenyak mendengar penjelasan bi Siti. Apa jangan-jangan, saat Alan membelikan buah dengan paket express khusus malam-malam itu, memang untuknya? Pikir Elena. "Tuan Alan itu hanya tidak bisa mengungkapkan rasa perhatiannya, Non," kata bi Siti yang membuyarkan pikiran Elena sejenak. "Benarkah? Tapi menurutku, dia memang sulit dimengerti," ujar Elena tetap kukuh sambil menaikkan kedua bahunya. Bi Siti hanya kembali tersenyum dan menggelengkan kepala sabar. Saat itu, Elena tidak sengaja melihat di bagian baju yang berantakan itu, ada sebuah figura berisi foto yang juga terjatuh. Elena yang penasaran, mengambil dan melihatnya. Ada foto anak kecil dan seorang perempuan di sana. Elena memperhatikannya. Bi Siti melihat Elena yang memandangi foto tersebut. "Itu, Tuan Alan saat masih berusia lima tahun, Non," kata bi Siti yang melihat Elena menoleh ke arah bi Siti sebentar dan melihat foto itu lagi. "Lalu, siapa perempuan ini, Bi?" "Itu almarhum bunda tuan Alan," jawab bi Siti. Elena tercekat mendengar pernyataan bi siti tersebut. "Maksudnya ... ibu pak Alan, sudah meninggal." "Iya, Non. Tepat beberapa hari setelah foto itu diambil," jelas bi Siti. Elena semakin tercekat mendengarnya. "Mana ayah pak Alan?" "Tuan besar ada di luar negeri. Beliau mendirikan perusahaan di luar negeri. Sampai sekarang juga, beliau masih saja jarang pulang ke sini, Non." Elena mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Sepertinya, bisa dihitung kapan Tuan besar ke sini. Mungkin ada setiap lima tahun sekali. Dulu, saat Nyonya masih ada, rumah ini begitu hangat dan nyaman. Tuan besar juga setiap bulan pulang ke rumah. Tapi begitu Nyonya meninggal, rumah ini menjadi berubah seperti kuburan. Tuan besar juga jarang sekali pulang ke sini." "Saat bunda pak Alan meninggal, apa yang terjadi pada pak Alan waktu itu, Bi?" "Tentu saja, tuan sangat terguncang, Non. Tapi saat itu, tuan hanya seorang anak berusia lima tahun. Dia tidak bisa mengekspresikan ungkapan kesedihannya. Bibi tahu, tuan sangat sedih dan terpukul. Tapi bibi juga tahu, kalau tuan muda waktu itu terus menyembunyikan kesedihannya. Karena bibi mengenal tuan sejak kecil," jelas bi Siti lagi. Elena jadi diam memikirkan kalimat bi Siti tersebut. Kalau kembali ke masa waktu itu, Elena sendiri mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Alan kecil waktu itu. Elena pun juga merasa simpati pada Alan. "Itulah mungkin alasan kenapa sampai sekarang, tuan jadi orang yang pendiam dan tidak banyak bicara. Tuan juga kelihatan angkuh, padahal sebenarnya tidak," ungkap bi Siti kembali. Elena pun kembali memandangi foto tersebut. Di dalam foto itu, ia melihat Alan kecil yang tersenyum lebar. Sepertinya, di sana Alan sangat bahagia di foto itu. Siapa yang tahu, jika setelah itu Alan kehilangan orang yang sangat dicintainya? Elena jadi berpikir kembali. Mungkinkah, itu yang membuat Alan menjadi orang yang sulit dipahami sampai sekarang? Elena kembali mengamati foto Alan kecil bersama ibunya. Ia mengusap gambar wajah Alan yang tersenyum bahagia. Saat ini, rasanya Elena sedang melihat sisi lain dari Alan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD