Bab 15. Mencoba Mengerti

1301 Words
Elena dan Alan sedang duduk di sebuah sofa kecil yang lumayan panjang. Bukan hanya mereka yang duduk di sana, tapi ada beberapa pasangan lain, di mana perempuannya juga sedang hamil. Sesuai janji Alan, ia mengantar Elena untuk memeriksakan kandungannya ke dokter. Dari tadi, Alan dan Elena hanya saling diam. Selama di perjalanan, maupun saat ketika baru masuk, keduanya tidak berbicara. Menjadikan suasana di antara mereka menjadi canggung. "Ibu Elena Akira?" Suara seorang perempuan dari bagian resepsionis memanggil Elena. Membuat Elena terhenyak sesaat. Elena lalu menoleh ke arah Alan. "Aku, masuk dulu, ya," ijin Elena pada Alan. "Hm!" jawab Alan sambil menganggukkan kepalanya kecil. Elena pun berdiri dan berjalan menuju pintu masuk ruang pemeriksaan. Ia berjalan sendirian sampai di dekat pintu, bertemu dengan asisten dokter kandungan tersebut. Asisten itu melihat Elena masuk sendirian. "Maaf, apa suaminya tidak ikut masuk?" tanya asisten tersebut pada Elena. Membuat Elena terhenyak sesaat. Elena menoleh ke arah Alan yang masih duduk dan tidak tahu apa-apa. "Mana mungkin Pak Alan mau masuk menemaniku?" gumam Elena dalam hati. "Sebaiknya ikut masuk juga. Supaya tahu kondisi istrinya," tambah asisten dokter tadi. Elena pun menjawab asisten tersebut. "Ah, tidak apa-apa. Saya bisa —," "Ayo masuk," Tiba-tiba Alan sudah berdiri di samping Elena. Membuat Elena terhenyak merasakan kehadirannya. "Apa lagi yang kamu tunggu?" ujar Alan lagi membalas tatapan bingung Elena. "Silahkan masuk," kata asisten dokter sekali lagi. "I ... iya," jawab Elena terbata. Elena dan Alan pun masuk ke dalam ruang periksa dokter. Mereka duduk dan menemui seorang dokter perempuan. Setelah duduk, dokter bertanya-tanya sedikit soal kehamilan Elena. "Baik, kalau begitu silahkan berbaring untuk pemeriksaan USG," kata dokter tersebut. Elena terhenyak mendengarnya. Tentu saja saat diperiksa nanti, dokter akan membuka bagian perutnya. Ia melihat ke arah Alan dengan tatapan cemas. Sedangkan Alan, hanya diam tanpa ekspresi. "Dasar! Tidakkah dia mengerti, pemeriksaan USG itu apa?" gumam Elena lagi dalam hati. "Elena? Silahkan," pinta dokter sekali lagi. "Aaah ... tidak apa-apa, Dok. Saya tidak perlu di USG. Perut saya masih kecil. Masih belum kelihatan," tolak Elena dengan canggung. Dokter pun jadi menautkan kedua alisnya mendengar penolakan Elena. "Baru kali ini, saya dapat pasien yang menolak USG? Sayangnya, untuk bisa tahu pasti usia kandungan kamu, saya tetap harus melakukan USG," ujar dokter sabar. Dengan berat hati pun, Elena menuruti perintah dokter itu. Ia berjalan ke arah brankar untuk melakukan USG. Alan yang saat itu masih duduk, tentu saja hanya diam sambil melihat ke arah lain. Ketika Elena melihat Alan tidak melihatnya, ia merasa lega. "Untung saja dia tahu diri," gumam Elena lagi dalam hati. "Pak. Silahkan ke sini dan temani istri Bapak," ujar dokter tersebut pada Alan. Elena kembali dibuat jantungan akan perintah dokter itu. Padahal Alan sudah susah-susah menolehkan kepala ke arah lain. Kenapa bisa-bisanya dokter malah menyuruh untuk menemaninya?! Alan masih hanya diam dan tidak menjawab sang dokter. "Supaya jelas, saya ingin sekalian menerangkan. Karena biasanya saya harus menjelaskan dua kali pada suami yang tidak ikut melihat," kata dokter lagi. "Jangan ke sini! Jangan ke sini!" seru Elena berharap terus dalam hati. Namun, sayangnya harapan Elena tidak terwujud. Alan justru berdiri dan berjalan ke arahnya. Meski Elena tahu jika Alan terpaksa, namun tetap saja ia merasa seharusnya ini tidak terjadi! "Nah, saya periksa, ya," kata dokter itu setelah Alan sudah berdiri di sampingnya. Dokter mulai membuka perut Elena. Elena bahkan tidak melihat ke arah Alan. Ia hanya ingin alat yang dipegang dokter itu rusak, sehingga ia tidak jadi diperiksa. *** Elena dan Alan sudah ada di dalam perjalanan pulang. Mereka berdua duduk di mobil Alan yang sedang berjalan. Jika tadi ketika berangkat keduanya diam dan saling canggung, sekarang mereka lebih canggung lagi. Elena terus menundukkan kepalanya. Ia serasa terus mengumpat dalam hati karena malu. Alan meliriknya diam-diam sembari terus menyetir. "Ngomong-ngomong, tadi apa kata dokter?" tanya Alan tiba-tiba. Membuat Elena terhenyak akan pertanyaannya. "Hah?" Elena justru balik memasang wajah tanya. "Tadi, dokter bilang apa saja?" Alan mengulangi pertanyaannya. Elena jadi menoleh ke arah Alan dengan ekspresi bingungnya. "Kenapa dia bertanya? Bukankah tadi dokter sudah jelas mengatakannya?" gumam Elena bertanya sendiri dalam hati. "Apa Pak Alan lupa? Padahal kita belum sampai satu jam keluar dari sana," kata Elena. "Aku tadi membaca pesan dari Satria. Sama sekali tidak mendengar apa kata dokter," jawab Alan. Mendengar hal itu, Elena jadi berpikir sejenak. "Apa Pak Alan juga membaca pesan saat aku di USG?" tanya Elena sekali lagi. "Tentu saja! Aku bahkan tidak sadar kalau dokter sudah selesai, tadi," jawab Alan. Mendengar hal itu, Elena nampak berpikir sejenak. Elena tidak tahu jika tadi Alan sedang melihat ponselnya, karena ia sama sekali tidak melihat ke arah Alan, karena malu. Begitu mendengar Alan yang melihat ponsel saat pemeriksaan, Elena nampak sangat lega. Alan bisa melihat dari ekspresi Elena yang lega. "Kata dokter, tadi usia kandunganku sudah berjalan tiga Minggu. Jadi ...." "Jadi sudah sepatutnya kalau mual-mual dan muntah. Melihat kondisi kandungan kamu yang lemah, sepertinya kamu jarang makan. Coba kamu makan-makanan yang bergizi yang dianjurkan. Pilih makanan yang membuatmu tidak mual juga." Alan mengingat semua kata dokter tadi, selagi Elena menerangkan padanya. Tentu saja, Alan tadi bisa mendengar dengan jelas saat dokter menerangkan padanya. Bahkan, ia juga mencatat semua permintaan dokter. Alan memang melihat ponselnya saat Elena diperiksa, namun telinganya fokus mendengar kata dokter. Alan bertanya pada Elena hanya supaya Elena menghilangkan rasa tidak nyamannya. "Begitu, Pak," ujar Elena setelah menjelaskan. "Hhmm ...." Alan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan beberapa kali. Elena jadi menautkan kedua alisnya heran melihatnya. Kenapa Alan hanya berekpresi seperti itu? Tidakkah ia seharusnya memberi tanggapan pada Elena? "Karena kehilangan ibu yang sangat dicintainya itulah, mungkin yang membuat tuan kesusahan mengekspresikan dirinya. Tapi, sebenarnya tuan perhatian, kok." Tiba-tiba saja, Elena teringat kalimat bi Siti waktu di kamar Alan. Membuat Elena jadi diam dan berpikir. Benar juga. Paling tidak, Alan sudah mengantarnya ke dokter, di jam kerja seperti ini. Bukankah itu sudah cukup membuktikan jika memang Alan tidak seburuk yang Elena pikirkan? Elena lalu diam-diam kembali melirik lagi ke arah Alan. Ia jadi penasaran dan ingin bertanya sesuatu pada Alan. "Pak Alan, setelah ini apa mau kembali ke kantor?" tanya Elena tiba-tiba. "Hm!" "Kalau begitu, aku akan turun di sini saja. Aku bisa naik taksi. Jadi, Pak Alan tidak perlu mengantarku pulang ke rumah," kata Elena. Alan pun menautkan kedua alisnya melihat ke arah Elena. "Kenapa? Apa kamu merasa tidak nyaman?" "Aku hanya merasa tidak enak sudah mengganggu waktu Pak Alan." "Tidak masalah. Lagi pula, rumahku dan kantor searah." Elena mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan begitu, Elena pikir ia sudah bisa mengajak Alan berbicara. Sepertinya, Alan memang tidak berbicara kalau tidak diajak duluan. "Ngomong-ngomong, apa dokter Neo teman Pak Alan itu, sangat dekat dengan Pak Alan?" tanya Elena lagi yang kembali membuat bahan obrolan. "Hm." "Apa, Pak Alan juga bercerita tentang semua hal pada dokter Neo?" "Tidak semuanya. Kenapa kamu ingin tahu?" "Aku hanya merasa, Pak Alan yang sangat sibuk, tidak memiliki waktu bersama teman untuk berbicara. Jadi, aku pasti membayangkan betapa kesepiannya orang yang tidak memiliki tempat untuk berbagi," kata Elena. Alan tercekat sesaat mendengar kalimat Elena. Apa yang dikatakan Elena memang benar. Alan hanya diam dan tidak menanggapi apapun kalimat Elena. "Karena kita tinggal satu rumah untuk saat ini, mungkin Pak Alan bisa bercerita padaku," kata Elena lagi. Alan menautkan kedua alisnya heran mendengar ungkapan Elena. "Kalau Pak Alan butuh teman, atau orang yang sekedar ingin diajak berbicara. Aku bisa mendengarkan keluhan Pak Alan. Dengan begitu, Pak Alan tidak akan merasa kesepian," kata Elena lagi. Ia lalu melihat ke arah Alan untuk menunggu jawabannya. "Pasti, setelah ini ia hanya menanggapinya dengan 'Hm' saja," batin Elena dalam hati. "Hm." Tepat sesuai dugaan Elena. Elena pun jadi menahan senyumnya memperhatikan Alan. Elena jadi berpikir, selama ini Alan adalah orang yang susah dimengerti, karena ia tidak mengerti dirinya sendiri. Mungkin, sebagai balas jasa karena Alan sudah mencukupi semua kebutuhannya, ia akan menjadi orang yang akan mengerti dan memahami Alan ke depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD