Elena membuka pintu kamarnya pada tengah malam. Saat dibuka, ia melihat Alan sedang berdiri di depan jendela yang menunjukkan pemandangan luar, dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Membuat Elena heran melihatnya. Dengan ragu-ragu, Elena pun berjalan mendekat ke arahnya.
"Pak?" sapa Elena ketika sudah dekat. Alan menoleh ke arah Elena sebentar, kemudian kembali berbalik melihat ke arah jendela.
"Hm? Kamu belum tidur?" Alan bertanya balik.
"Aku tidak bisa tidur. Pak Alan sendiri kenapa ada di sini? Apa Pak Alan juga tidak bisa tidur?" tanya Elena.
"Hmm!"
Alan memperhatikan pemandangan luar dengan setengah melamun. Seolah ada yang tengah dipikirkan. Membuat Elena menautkan kedua alisnya heran melihatnya.
"Maaf, aku ingin tanya, Pak. Kenapa Pak Alan memberitahu tentang aku pada teman Pak Alan yang dokter itu?" tanya Elena lagi.
"Dia adalah teman yang bisa aku percaya. Jadi, tidak perlu khawatir kalau dia akan menyebarkan tentang ini. Lagi pula, niat awalku mengajaknya ke sini karena dia bisa memeriksamu. Tapi, ternyata dia tidak bisa," jelas Alan. Elena pun mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Alan kemudian menoleh ke arah Elena.
"Elena?" panggil Alan membuat Elena melihat ke arah Alan.
"Iya, Pak?"
"Kamu jangan terlalu tertekan berada di rumah ini. Maksudku untuk tidak ketahuan adalah, kalau ada karyawan kantor yang ke sini saja. Tapi, kamu tetap boleh keluar rumah ini kalau kamu mau. Jangan khawatir soal tetangga, mereka terlalu sibuk mengurus urusan mereka masing-masing. Jadi, kalau kamu tetap ingin keluar, silahkan keluar sesukamu," jelas Alan.
"Besok, ikutlah denganku ke dokter. Kita harus memeriksakanmu," tambah Alan lagi.
Elena terdiam tertegun sejenak mendengar ungkapan Alan tersebut. Rasanya baru kali ini Alan berbicara seperti itu padanya. Sepertinya, Alan tidak sedingin yang dibayangkannya.
"Baik, Pak. Aku mengerti," kata Elena sambil menganggukkan kepalanya satu kali. Alan pun juga mengangguk sedikit. Kemudian, ia kembali melihat pemandangan luar lagi.
Elena jadi memperhatikan Alan dari samping. Mendadak, ia jadi terlintas sesuatu. Membuatnya penasaran dan ingin bertanya.
"Pak?" panggil Elena dengan ragu-ragu. Membuat Alan menoleh ke arahnya.
"Ada apa? Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?"
"Aku ingin bertanya sedikit."
"Katakanlah," pinta Alan.
"Pak, bagaimana dengan tunangan Pak Alan yang pernah aku temui di kantor waktu itu? Apa dia kemungkinan akan ke sini juga?" tanya Elena tiba-tiba. Alan tercekat sedikit mendengarnya. Namun, ia segera bisa mengontrol dirinya.
"Dia ada di luar negeri. Jadi, dia tidak akan ke sini," jelas Alan. Elena mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Baik, Pak. Tenang saja. Aku tidak akan mengacau dan akan menjaga rahasia ini rapat-rapat!" ujar Elena.
"Benarkah aku bisa mempercayaimu? Waktu di kantor itu, kamu mengancamku, bukan?" tanya Alan. Elena terhenyak sesaat.
"Ah! Waktu itu, aku hanya takut kalau Pak Alan tidak menerima permintaanku. Jadi, aku hanya asal bicara saja. Maafkan aku, Pak." Elena menundukkan setengah kepalanya. Alan melirik ke arahnya sebentar. Ia tersenyum tipis melihat sikapnya.
"Kamu sendiri bagaimana dengan pacarmu yang bernama Farel itu?" Alan gantian bertanya.
Elena segera terjingkat mendengar pertanyaan Alan. Ia mengangkat kepalanya dan melebarkan kedua matanya melihat Alan dengan mengerjapkan matanya cepat beberapa kali.
"Pak Alan ... tahu dari mana soal Farel?!"
"Aku mendengar nama itu saat kamu makan buah di dapur sendirian," jawab Alan tenang. Elena tercekat mendengarnya. Raut wajahnya mendadak berubah jadi pias.
"Jadi, dia benar-benar sudah mendengar semua olokanku?" gumam Elena dalam hati dengan panik.
Elena tidak menjawab Alan. Hanya berdiam dengan kebingungan sendiri, akan pikirannya. Membuat Alan heran dan akhirnya menoleh ke arah Elena. Alan melihat wajah Elena yang nampak panik dengan menundukkan setengah kepalanya.
"Elena?!" panggil Alan. Elena tercekat dan segera menoleh ke arah Alan.
"I ... iya, Pak?!" jawab Elena masih setengah panik.
"Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu jadi diam?" tanya Alan.
"Maaf, Pak. Jadi ... Pak Alan mendengarkan semua olokanku di meja makan waktu itu?" tanya Elena lagi.
"Ya. Aku cukup jelas mendengarmu saat menyumpahiku agar aku saja yang memiliki perut buncit," ungkap Alan santai. Elena mengangakan mulutnya kaget. Jantungnya berdebar hebat dan ia semakin panik. Ia bingung harus bagaimana?
"Maafkan aku, Pak. Aku hanya kesal saja dengan Pak Alan waktu itu," ungkap Elena sembari menundukkan kepalanya dalam. Alan kembali meliriknya diam-diam. Ia juga tersenyum melihat ke arah Elena.
"Apa kamu sudah puas setelah berkata begitu?" tanya Alan lagi.
"Untuk saat ini sudah, Pak," jawab Elena dengan masih menundukkan kepalanya. Alan kembali tertawa kecil, namun tidak ditunjukkannya pada Elena. Elena kemudian segera mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Alan.
"Aku janji, tidak akan mengolok Pak Alan lagi. Paling tidak, aku tidak akan melakukannya di depan Pak Alan," kata Elena nampak ragu-ragu.
"Hm!" jawab Alan singkat. Elena memperhatikan Alan dengan setengah menerka-nerka.
"Apa dia masih marah padaku?" gumam Elena dalam hati lagi.
"Kamu masih belum menjawab pertanyaanku," ujar Alan lagi. Elena tercekat mendengar Alan berbicara begitu padanya. Ia pun mengembalikan fokus pada Alan.
"Tentang pacar saya yang bernama Farel? Aku sudah putus dengannya," kata Elena. Alan tidak menyangka setelah mendengar jawaban Elena. Ia lalu menoleh ke arah Elena.
"Putus?"
"Ya. Aku memutuskannya tepat di hari ketika Pak Alan memecatku waktu itu."
"Kenapa?"
"Aku pikir aku tidak cocok dengannya. Dia lebih mementingkan waktunya untuk bersenang-senang dengan kehidupannya dibanding bersamaku. Jadi, kita memang tidak cocok," jelas Elena. Alan pun mengangguk-anggukkan kepalanya pelan tanda mengerti.
Elena kemudian menundukkan kepalanya dalam. Sejujurnya, ketika ia membicarakan soal Farel, Elena tidak munafik jika ia masih merindukan Farel. Alan yang berdiri di sampingnya itu, jadi heran melihatnya. Alan mencoba menebak apa yang sedang Elena pikirkan.
"Jadi, sekarang kamu menyesal sudah putus dengannya?" tanya Alan lagi. Membuat Elena terkejut mendengarnya. Elena lalu melihat ke arah Alan dengan setengah bingung.
"Entahlah? Antara iya dan tidak. Kami pacaran lumayan lama. Dulu, dia mengejarku sejak kita sudah sekolah SMA. Dulu, karena aku merasa kasihan, aku jadi menerimanya. Aku tidak tahu, jika ternyata aku yang justru lebih mencintainya," ungkap Elena.
"Tenang saja. Kamu bisa kembali kapan saja padanya saat bayi ini lahir," kata Alan.
Elena menautkan kedua alisnya mendengar ungkapan absurd Alan tersebut. Ia menoleh ke arah Alan dengan tatapan bingungnya.
"Apa maksudnya? Apa dia bermaksud ingin menghiburku? Atau dia ingin supaya aku segera pergi dari rumah ini? Benar-benar membingungkan?" gumam Elena dalam hati.
"Ini sudah malam. Tidak baik untuk terus terjaga," kata Alan kemudian. Membuyarkan lamunan Elena sejenak.
"Iya Pak. Saya ju —,"
Belum sempat Elena melanjutkan kalimatnya, Alan sudah berjalan menjauhinya. Alan berjalan menuju kamarnya meninggalkan Elena begitu saja. Membuat Elena pun semakin bingung.
"Apa yang sedang aku pikirkan? Ternyata dia berkata begitu untuk dirinya sendiri?" gumam Elena dalam hati. Elena pun akhirnya hanya menaikkan bahunya dan kembali melanjutkan melihat pemandangan luar.
"Elena?" panggil Alan yang membuat Elena melihat ke arahnya.
"Iya, Pak?"
"Apa kamu tidak dengar? Ini sudah malam. Besok kita harus ke dokter kandungan pagi!"
"I ... iya, Pak," jawab Elena dengan setengah kikuk dan bingung.
"Soal pacarmu ... aku pikir dia memang pantas mendapatkannya. Keputusanmu benar dan kamu juga pantas untuk mendapatkan yang lebih baik darinya," tambah Alan lagi.
Setelah mengatakan itu, Alan kembali berbalik dan berjalan menuju ke dalam kamarnya. Meninggalkan Elena dengan semua rasa bingungnya. Elena mengerjap-kerjapkan kedua matanya beberapa kali keheranan dengan sikap Alan.
Jadi, Alan memang menyuruhnya tidur? Dan ditambah lagi, Alan sedang berusaha menghiburnya soal mantan pacarnya tadi? Membuat Elena terus berpikir sambil menerka-nerka.
Tidak lama, Alan menutup pintunya dengan suara setengah kencang. Membuat Elena terkejut akan suara pintunya yang tertutup tersebut. Elena masih melihat kamar Alan dengan rasa penasaran.
"Ternyata ... Pak Alan itu, selain dingin, dia juga orang yang sulit untuk dipahami. Siapa yang bisa paham dengan kalimatnya?" kata Elena berbicara sendiri.