"Namun, dengan berpura-pura itulah, sebagai benteng pertahanan hati yang terlanjur dalam diserang Rindu."
-----
Ya, Richard sedang merindukan seseorang. Siapa? Claire? Entahlah, ia pun merasa bingung dengan apa yang ia rasakan saat ini. Sepanjang perjalanannya ke kantor, tiba-tiba perasaan rindu menyeruak begitu saja didalam dadanya.
Ada rasa kekosongan yang begitu nyata. Namun, siapa si penyebab rasa itu yang entah belum bisa ia pastikan. Ternyata selain plin-plan, Richard jadi pria yang aneh sekarang. Apa ia mulai tertular penyakit Kenzie?
****
Stiletto hitam mengkilap yang mengalasi kedua kaki jenjang itu mulai mengetuk ubin secara teratur. Mengenakan blouse berwarna dusty pink dipadu padankan dengan rok pensil hitam di atas lutut, penampilan Nathania tampak menawan hari ini.
Setiap kali mendapat sapaan dari sesama karyawan, wanita itu tersenyum hangat dan membalasnya dengan sopan.
"Selamat pagi, Nath," sapa pria bertubuh tinggi besar saat Nathania hendak memasuki lift direksi.
"Pagi, Mr.Edward," jawab Nathania. Sejurus kemudian ia memeriksa jam di pergelangan tangannya, lalu berucap. "Kenapa anda turun sepagi ini?"
Pria itu tersenyum.
"Pagi ini aku diminta mengikuti rapat bersama pihak advertising. Itu sebabnya aku turun lebih pagi."
Nathania mengangguk. Ketika pintu lift terbuka, mereka berdua berjalan bersamaan memasuki ruang rapat. Di sana sudah ada beberapa kepala divisi yang menduduki kursi masing-masing. Nathania mengambil posisi duduk di belakang kursi utama para peserta rapat.
Ketika Richard memasuki ruang rapat dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, Nathania menundukkan kepala. Malu? Jelas saja. Insiden salah kirim pesan tadi malam tidak hanya membuatnya malu. Mungkin harga dirinya pun sudah tidak ada lagi sekarang. Bahkan kalau bisa memilih tidak kerja atau tidak bertemu Richard sementara waktu, mungkin ia akan memilih pilihan itu. Sayangnya tadi pagi bos besarnya itu kembali memperingatkannya agar tidak lupa turun lebih pagi. Sial!
"Jadi, materi yang mana dulu harus kita bahas?" Richard membuka rapat pagi ini.
Seorang pria perwakilan dari pihak periklanan menyerahkan sebuah berkas untuk Richard baca terlebih dahulu, tak berselang lama pria yang belakangan diketahui bernama Robin itu mulai menjelaskan.
"Pembuatan iklan ini tujuannya sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat. Terkait dampak dari polusi udara serta berbagai kegiatan yang dapat dilakukan untuk menguranginya melalui iklan layanan dan informasi publik. Sebagai penarik audience, kita bisa menggunakan latar iklan di komplek hunian strategis yang baru saja dirampungkan oleh Blackhorse."
Richard dan Edward kompak mengangguk mendengar penjelasan Robin.
"Boleh jelaskan mekanisme dan eksekusi di lapangannya bagaimana?" Kini giliran Edward yang bertanya.
"Secara umum video iklan akan ditayangkan dalam waktu 60 detik, proses pengerjaan dari video ini diharapkan dapat selesai pada Bulan depan paling lama, mengingat kegiatan ini merupakan agenda yang harus terlaksana segera. Adapun proses pengerjaannya, pihak pengiklan bekerja sama dengan pihak ketiga sehingga diharapkan proses pengerjaan akan mencapai target dan tenggat waktu yang diberikan."
Edward mengangguk sekali seraya mengusap dagunya seperti sedang menimbang sesuatu.
"Aku rasa, kita juga harus fokus pada bagaimana video iklan ini dapat memicu gaya hidup sehat pada lingkungan. Nilai plus yang sudah ada didalam hunian tersebut tidak harus semuanya dipaksakan masuk dalam bentuk sesi yang terpisah. Melainkan menjadi bagian semiotik yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat mudah memahami dan diharapkan dapat mencontoh gaya hidup dalam iklan terutama yang ditampilkan hunian tersebut juga.
"Setuju, kalau begitu langsung eksekusi semuanya besok," sahut Richard. "Lalu apalagi yang akan kita bahas setelah iklan?" tanya Richard kemudian.
"Soal model iklan, Mister," jawab Robin.
Richard mengerutkan dahinya. "Kenapa dengan modelnya? Apa ada masalah?"
Robin menggeleng, "Bukan, mister. Kami membutuhkan persetujuan anda terlebih dahulu. Sebentar saya hubungi Modelnya untuk masuk ke ruang rapat."
Robin terlihat meraih ponsel di saku jasnya lalu mengirim pesan singkat kepada orang yang ia maksud. Tak berselang lama, terdengar ketukan pintu diikuti masuknya seorang wanita cantik mengenakan coctail dress dan langsung duduk bersisian dengan Robin.
"Mr. Richard dan Edward perkenalkan, ini Kimmy. Dia yang akan menjadi cast di iklan yang akan kita garap."
"Perkenalkan, saya Kimberly atau panggil saja saya Kimmy. Model yang akan mengisi scene di iklan kalian."
Wanita bernama Kimmy itu mengulurkan tangannya kearah Edward dan Richard. Sedang dari kejauhan Nathania menatap malas ketika Richard menyambut uluran tangan wanita cantik itu. Tampak jelas di wajahnya Kimmy memiliki ketertarikan kepada Richard.
Tolong kondisikan matamu Tuan Es Batu!
Sedingin-dinginnya dirimu,
aku yakin kau pasti tertarik bila disuguhi wanita cantik seperti itu.
Rapat yang harusnya selesai dalam waktu dua jam harus undur menjadi tiga jam karena banyaknya permintaan Kimmy yang harus disesuaikan. Nathania sempat terheran sendiri kenapa harus memakai cast dan model seperti Kimmy kalau wanita itu saja belum apa-apa sudah banyak maunya.
Bagaimana tidak, belum lagi proses pembuatan iklan berjalan, wanita itu sudah meminta fasilitas macam-macam hingga bayaran yang lumayan fantastis. Apa-apaan ini. Apakah dia seorang supermodel dunia?
Nathania mendesis kesal melihat semua tingkah laku model bernama Kimmy tersebut.
Apa di dunia ini model hanya dia saja?
Kalau soal cantik, ku rasa aku lebih cantik.
Kami berdua hanya beda nasib saja, kan?
Dengan serta merta Nathania mencebikkan bibirnya tak suka. Matanya memandang lurus ke arah Richard dan Kimmy yang masih terlibat pembicaraan di meja rapat. Hingga tiba-tiba tanpa sengaja pandangan Richard teralihkan sejenak ke arah di mana Nathania sedang duduk. Manik mata mereka saling bertemu. Entah kenapa, lagi-lagi Nathania merasa canggung lalu menundukkan kembali kepalanya.
Tahan Nathania tahan.
Kenapa aku jadi salah tingkah begini.
Tarik napas...hembuskan...
***
Matahari semakin tinggi menampakkan wujudnya. Memaksa peluh untuk berlomba keluar dari sela pori-pori kulit. Di jam seperti ini, tenggorokan akan mulai terasa kering dan sudah barang tentu perut pun akan mulai meminta diisi jatahnya.
Nathania tertunduk lesu di meja makan cafetaria seraya mendengar ocehan kedua sahabatnya. Setelah menceritakan kejadian memalukan semalam, Keyra dan Alex terus saja mengolok kecerobohannya. Sudah tidak heran bagi mereka berdua jika Nathania bersikap ceroboh. Namun, mereka tidak menyangka jika sahabatnya itu sampai melakukan kebodohan dengan salah mengirim pesan kepada bos besar perusahaan ini.
"Astaga Nath, mau taruh di mana mukamu?" tanya Keyra. Sedangkan Alex terlihat terus menertawakan Nathania.
Nathania mendengkus kesal.
"Ini semua salahmu Key! Aku kehilangan harga diriku sekarang."
"Untung aja isi pesannya hanya pinjam uang, aku bahkan sedang membayangkan kalau yang kau tulis soal taruhan membuat Mr.Richard jatuh cinta," ucap Alex
Nathania bergidik takut lalu menutup wajahnya frustrasi.
"Ya! Aku pasti langsung bunuh diri saat itu juga, Lex! Lagi pula kenapa mereka berdua mengirim pesan di saat bersamaan."
Keyra menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Nathania.
"Enak saja menyalahkanku. Salah kau tidak memeriksa trlebih dahulu nama receiver chatnya."
"Terus aku harus bagaimana? Mana pestanya besok. Aku malu! sumpah sangat malu. Rapat tadi saja aku lebih banyak menunduk," lirih Nathania.
Alex terlihat mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Ini, aku kasih uang."
Nathania menarik wajahnya dalam. "Uang? Buat apa?"
Alex melempar senyum, lalu menarik pergelangan tangan Nathania. Ia memaksa menaruh selembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah di telapak tangan wanita itu. "Simpanlah, untuk membeli penutup muka agar kau tidak malu."
"Sialan!" Nathania mengumpat sembari meninju lengan Alex yang sengaja mempermainkannya.
Sementara di tempat berbeda, dua orang pria sedang asik menyantap makan siang mereka di salah satu restoran.
"Bagaimana menurutmu model iklan kita tadi pagi?" tanya Richard seraya mengangkat gelas minuman berisi orange jus.
Edward si lawan bicara tampak asyik mengunyah makanan di hadapannya. "Lumayan." jawabnya tanpa minat.
Richard menaikkan salah satu alisnya. "Lumayan? Hanya itu?" Ada raut wajah heran yang Richard tunjukkan saat ini.
Melihat itu, Edward meletakkan sendok dan garpunya sesaat lalu menjawab. "Memangnya kau mau aku menjawab apa?"
"Aku pikir kau akan antusias dan menjawab wanita itu cantik."
Edward terkekeh mendengar ucapan Richard.
"Mungkin itu isi dalam hatimu? Jika cantik aku bilang cantik, jika lumayan aku akan bilang lumayan pun begitu bila wanita itu jelek aku akan serta merta menyebutnya jelek."
"Tapi kenapa kalau Nathania kau bilang cantik? Ku pikir model itu lebih cantik dibanding sekretarisku."
"Itu artinya kau hanya menilai seseorang dari tampilan luarnya saja, Rich. Aku yang baru mengenal Nathania saja bisa melihat kalau wanita itu memiliki aura yang lain," jawab Edward seraya melanjutkan kegiatan makannya.
Richard mencibir. "Omong kosong, Ed. Playboy sepertimu bukannya melihat wanita dari tampilan luar dan fisiknya saja?"
"Betul." Edward mengangguk "Untuk bersenang-senang mungkin aku akan melihat dari fisik dan tampilan luarnya saja. Tapi untuk menjalin hubungan serius, aku harus melihat attitudenya terlebih dahulu. Modelmu tadi pagi tidak masuk kriteria untuk menjadi pasangan yang serius. Apa kau tidak merasa jika wanita itu tadi pagi hanya memandangmu karena kau seorang bos?"
Richard tertegun sejenak. Mencoba mencerna penuturan Edward kepadanya. Untuk urusan wanita, Richard akui Edward yang paling paham dan mengerti. Karena pria itu memang menghabiskan hampir setengah hidupnya untuk bersenang-senang bersama dengan berbagai macam tipe wanita. Namun bukan berarti Richard sendiri tidak bisa membedakan mana wanita yang baik dan mana wanita buruk.
Nathania, nama wanita itu tiba-tiba memenuhi ruang di kepalanya. Sejak kejadian pingsan di gedung Arsip, Richard tanpa sadar sering memikirkan wanita itu. Namun untuk menyimpulkan ia suka atau tertarik, sepertinya itu masih sangat jauh.
****
Sinar mentari mulai meredup digantikan awan senja yang berkilau keemasan. Sedikit terburu-buru Nathania merapikan semua lembaran kertas yang terhambur di atas meja kerjanya. Melirik layar ponsel di atas printer, sudah ada dua pesan masuk dari para sahabatnya.
Keyra : [Cepat! Kalau kau lama, aku tinggal]
Alex : [Ayo, Nathania. Aku dan Keyra sudah menunggumu di mobil]
Nathania menarik napas dalam.
Ah sudah jam segini Tuan es batu belum juga pulang.
Jangan bilang dia lembur.
Tak lama berselang, pria yang sedari tadi ditunggu akhirnya menampakkan batang hidungya keluar ruangan. Cepat-cepat Nathania menghampiri.
"Mister, mau pulang?" tanya Nathania antusias
"Hmm ... "
"Baiklah kalau begitu, saja juga pamit undur diri. Sampai jumpa besok, Mister."
"Nath tung --- " secepat kilat Nathania meninggalkan Richard yang belum lagi menyelesaikan ucapannya. Pria itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku sekretarisnya.
Di sebuah butik salah satu pusat perbelanjaan, Nathania dibantu kedua sahabatnya begitu sibuk memilah dan memilih gaun yang akan ia kenakan besok. Mencoba satu persatu dengan antusias semua gaun yang di rekomendasikan penjaga toko.
Jangan berpikir bos gantengnya itu yang akan membelikan ia gaun setelah insiden salah kirim pesan kemarin. Hidup Nathania tidak seindah n****+-n****+ romantis yang sering kalian baca di platform online. Yang pemeran prianya diam-diam mengirim gaun cantik ke alamat si wanita.
Tidak, Richard tidak seperti yang kalian bayangkan. Perlu diingat juga, Richard bukan tipe pria yang 'peka' terhadap hal-hal remeh seperti itu. Sekali lagi di ulangi, ia bukan pria yang 'peka'.
"Nath, sepertinya gaun ini bagus," ucap Keyra sembari menunjuk salah satu Midi Dress tanpa lengan bermodel Balerina.
"Ini juga bagus, Nath." Sekarang giliran Alex memberikan off shoulder dress berwarna salem dengan bagian bawah berbentuk coctail.
"Agrhh kenapa sepusing ini?" sahut Nathania
"Kalau aku jadi Mr. Richard, harusnya aku yang membelikanmu gaun. Lebih-lebih ia sudah menerima pesanmu kalau kau sedang kesulitan membeli gaun," celoteh Alex.
"Gentleman harusnya begitu. Sayang tuan es batu itu tidak punya hati sepertinya," sahut Keyra.
Nathania kembali mendesah.
"Hentikan ocehan kalian, Aku akan coba semua baju yang sudah kalian berdua pilih."
Lima menit berada didalam bilik kamar ganti, Nathania keluar dengan mengenakan gaun yang sudah dipilihkan kedua sahabatnya. Sekarang mereka berdua tampak bingung harus memilih gaun yang mana untuk dikenakan besok. Dasar wanita.
"Aku pikir lebih bagus menggunakan off shoulder dress," ucap Alex memberikan saran.
Keyra menggeleng.
"Tapi itu terlalu mengekspose leher dan pundak Nathania, ia jadi terlalu seksi."
"Justru itu yang seharusnya di tonjolkan. Nathania bukan hanya terlihat seksi tapi anggun," balas Alex.
Sementara si pemeran utama lebih-lebih bingung menentukan pilihan karena kedua sahabatnya bukan membantu malah berdebat mempertahankan argumen masing-masing mengenai gaun yang pas untuk dikenakan besok.
"Jadi aku harus membeli yang mana?"
"Tentu saja bagus gaun yang kau kenakan sekarang, nona muda."
Sebuah suara berat menginterupsi kegiatan mereka bertiga. Nathania yang sangat hapal suara bariton itu mendesah malas bahkan sengaja tidak menanggapinya.
"Mau baju apapun yang kau kenakan, bukannya selalu bagus di tubuhmu?"
"Oh ayolah, Marco. Kenapa kau seperti setan yang selalu mengikuti ke mana aku pergi, hah?" decak Nathania.
Sebuah senyuman muncul di wajah pria itu. Entah apakah senyuman tulus atau mengejek.
"Bukannya kita memang di takdirkan Tuhan untuk selalu bertemu? Kau saja yang selama ini selalu menghindar, kan? Harus berapa lama lagi kita main kucing-kucingan seperti ini, Nathania Aurora?"
Nathania mengibaskan tangannya seakan menyuruh Marco untuk pergi dari hadapannya.
"Hentikan omong kosongmu, bilang saja pada opa. Sampai mati pun aku tidak akan pernah mau bertunangan denganmu. Lebih baik sekarang kau pergi dari hadapanku."
Kini pria itu bukan hanya tersenyum tapi juga tertawa. "Jangan sampai opa Arthur yang menemukan langsung keberadaanmu. Aku tidak jamin kau bisa bebas seperti ini."
"Maka dari itu, tutup mulutmu. Hentikan menggangguku. Kau cukup kaya untuk mendapatkan wanita yang lebih cantik dari pada aku, kan?"
Marco menggelengkan kepalanya dramatis.
"Sayangnya aku hanya menginginkanmu menjadi nyonya Adiatma."
"Hoah astaga, kau bermimpi terlalu tinggi. Sampai kapanpun aku tidak akan mau menikah denganmu. Sekarang ku mohon pergilah dari hadapanku."
"Baiklah aku pergi, suatu saat kau pasti akan mencari dan memohon pertolongan padaku. Aku yakinkan itu."
Menuruti permintaan Nathania sebelumnya, Marco akhirnya memilih pergi. Sudah tidak terhitung berapa kali Nathania menolak kehadiran pria itu. Namun tidak ada kata menyerah dalam diri Marco sebelum ia bisa membawa Nathania kembali pulang kerumahnya. Ya, rumah yang sesungguhnya.
"Aku sampai heran, kenapa kau tidak terima saja lamaran Marco. Padahal dia sangat tampan dan kaya raya," tanya Keyra.
Nathania berdecak. "Kalau suka, Kau saja yang menjadi kekasihnya!"
"Tentu saja aku mau, Nath. Kau boleh menjodohkanku dengan Marco." Alex menggelengkan kepala melihat kelakuan kedua sahabatnya.
"Jadi gaun mana yang harus aku beli?" Sekali lagi Nathania bertanya.
"Beli saja keduanya," sahut Alex
"Tapi uangku tidak cukup membeli keduanya, lex."
"Tenang saja, hari ini aku yang traktir. Hitung-hitung agar usahamu untuk mendekati Mr.Richard berjalan mulus."
Ucapan Alex yang terdengar begitu tulus berhasil membuat mata Nathania membulat sempurna. "Serius kau yang membayar gaunnya? Tidak ada maksud terselubung, kan?"
Alex mencibir, "Dasar tidak tahu terima kasih. Ya sudah cepat ke kasir. Setelah itu kita sekalian pergi makan malam."
"Siap bos!"
.
.
Aku nggak pernah bosan buat ingatin kalian semua. Semua Visual/Jadwal update/spoiller cerita/atau berita lainnya, aku info di story sss/ig story @novafhe. Silakan follow/add ya.
Atau gabung di grup sss khusus pembaca : Fhelicious
Grup wa khusus pembaca, bisa klik link nya di profile i********:.