6. Overthinking

2259 Words
"Pergi adalah kata yang tidak pernah ikhlas aku pahami, namun tetap harus aku lalui. Meski butuh tempat kembali, namun ku pastikan bukan ke tempat yang sama lagi." ----- Angin berembus pelan melewati celah jendela kayu. Sinar mentari yang awalnya terang kini berubah menjadi sayu menandakan hari mulai beranjak malam. Rasa takut dan cemas yang timbul akibat kejadian sebelumnya masih sesekali terasa menyiksa. Angin, tak bisakah kau bawa segala rasa yang menghantui ini bersamamu? Sambil menatap langit-langit kamar, Nathania kembali teringat memori kejadian belasan tahun silam. Di mana saat itu ia dan ibunya harus terjebak didalam sebuah kamar saat kebakaran besar sedang melanda rumah mereka. "Ma, gelap. Natha takut. Apa kita berdua akan mati?" Nathania menangis ketakutan. Ibu Nathania menangkup wajah anaknya dengan kedua tangannya. "Lihat Mama sayang," pinta ibu Nathania. "Kita berdua akan selamat. Sekarang Natha berdoa, semoga petugas pemadam kebakaran segera membantu kita." Nathania mengangguk setelah mendengar ucapan ibunya. Tak berselang lama, terdengar teriakan dari luar jendela yang berasal dari petugas penyelamat. Ada perasaan lega menyertai mereka berdua. Namun, belum lagi sempat diselamatkan, tembok kamar yang awalnya kokoh tiba-tiba roboh dan menimpa ibu dan anak tersebut. Setelah itu semuanya berubah gelap. Seingat Nathania, saat membuka mata ia sudah berada di rumah sakit setelah mengalami koma selama beberapa hari. Bukan itu saja, Nathania juga harus menerima kenyataan bahwa ternyata ibunya telah tiada. Luka bakar serius karena melindungi Nathania dari reruntuhan tembok, penyebab utama Ibunya meregang nyawa. Nathania mengusap air matanya yang jatuh tanpa ia minta. Bila mengingat kejadian itu, seketika dadanya merasa sesak. Sudah belasan tahun, tapi rasanya tetap sama. Menyakitkan. Masih dalam keadaan memegangi dadanya yang sesak, suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Di liriknya nama yang muncul dibalik layar, nama Keyra tercetak jelas di sana. "Halo..." "Nathaaaaa!" pekik wanita disebrang sana. Nathania refleks menjauhkan ponsel dari telinganya. "Key! Aku tidak tuli. So, please tidak perlu triak-triak. Bisa, kan?" Terdengar Keyra tertawa keras dari balik telepon. "Sorry, aku hanya ingin bertanya kabarmu. Bagaimana? sudah membaik?" Nathania menarik napas sekali. "Sudah jauh lebih baik, besok aku mulai bekerja lagi seperti biasa." "Syukurlah kalau begitu, maaf kalau aku dan Alex belum sempat menjengukmu. Btw, aku ada info penting." Nathania tanpa sadar menaikkan salah satu alisnya. "Info penting apa?" tanyanya penasaran. "Kau benar-benar ingin tahu?" tanya Keyra mempermainkan perasaan Nathania. "Key! Aku serius." Keyra kembali terdengar tertawa namun tak berapa lama ia kembali berbicara. "Mr.Cool memintaku untuk memberitahu nomor handphone-mu." "Lalu?" "Aku langsung memberi apa yang ia pinta. Sepertinya dia khawatir kenapa kau sampai tidak masuk kerja. By the way, memangnya Mr.Cool tidak tahu kalau kau sedang sakit?" tanya Keyra. Ah, kau saja yang tidak tahu kalau sebenarnya Mr.Richard yang membawaku ke rumah sakit. Keyra dan Alex sebelumnya memang sempat bertanya perihal Nathania yang tidak masuk kantor. Wanita itu hanya memberikan alasan tidak masuk kerja karena sedang tidak enak badan. Tak ada dari kedua sahabatnya yang tahu, kalau Nathania dibawa Richard Ke rumah sakit karena pingsan di gedung arsip. "Nath, halooo. Kau masih sadar, kan?" tanya Keyra ketika mendapati Nathania yang terdiam cukup lama. "Ya, aku mendengarmu. Lalu apalagi yang ingin kau informasikan? Hanya itu saja?" "Iya aku hanya ingin mengetahui kabarmu lalu memberikan informasi itu saja. Ya sudah sebaiknya kau istirahat sekarang , biar besok bisa fresh saat masuk kerja." "Sip, tenang saja. Sampai jumpa besok di kantor." ucap Nathania mengakhiri panggilan telpon dari Keyra. Baru saja ingin meletakkan ponsel ke atas nakas, tiba-tiba benda pipih itu kembali berdering. Sebuah nomor tanpa nama memaksa untuk segera diangkat. Dengan cepat Nathania menyentuh icon hijau di layarnya, sebagai tanda menerima panggilan. "Halo?" Hening, tak ada sahutan sama sekali disebrang sana. Nathania sempat merasa bingung apakah panggilan tersebut terputus. Cukup lama Nathania menunggu. Hingga merasa tidak ada yang menyahut, wanita itu memilih untuk mengakhiri panggilan. Namun, baru saja ia hendak menekan tanda merah, suara berat khas laki-laki terdengar di sana. "Bisa keluar? Aku ada di depan rumahmu sekarang." "Hah?" **** Richard meremas kertas bertuliskan nomor handphone serta alamat rumah Nathania. Pikirannya menerawang, sesekali ia juga tampak menimbang. Apakah ia perlu menelpon Nathania atau kah langsung menghampiri wanita itu ke kediamannya? Tidak..tidak Apa tidak berlebihan kalau aku menemuinya. Kami bisa saja bertemu besok di kantor, kan? Tapi.. Aku harus memastikan keadaannya benar-benar pulih. Richard meremas rambutnya asal. Merasa pusing dengan pikirannya sendiri. Ahh apa-apa ini, kenapa aku jadi begitu memperdulikannya? Oh ayolah Richard, jangan berlebihan seperti ini. Tapi, lihatlah sekarang. Setelah pergolakan batin yang begitu lama, pria itu akhirnya memutuskan untuk pergi. Maka di sinilah ia berada sekarang. Berdiri tepat di depan bangunan dua lantai minimalis bertuliskan "Kost Amanda" di depan pagarnya. Dasar plinplan. Richard meraih ponsel di saku jasnya. Sedikit ragu ia mendial nomor handphone yang baru saja ia simpan. Butuh keberanian lebih hingga akhirnya nomor itu ia hubungi. Cukup dua kali nada sambung, panggilan diseberang sana terangkat. "Halo..." Kata itu yang pertama kali ia dengar. Gugup dan bingung. Dua hal yang ia rasakan saat ini. Padahal apa susahnya tinggal menyahut kata 'hai' atau 'halo'. Apakah keberaniannya menciut seperti kerupuk? Tidak, Richard tidak cukup nyali kali ini. Entah ke mana meluapnya keberanian yang selama ini ia punya. Apakah ia terlalu penakut dengan sosok bernama wanita? Entahlah, hanya Richard yang tahu pasti jawabannya. Hening begitu lama, Richard membiarkan sosok di seberang sana menunggu dengan bingung. Hingga akhirnya keberanian itu terkumpul, ia pun menjawab. "Bisa keluar? Aku ada di depan rumahmu sekarang." "Hah?"Ada nada keterkejutan dibalik telepon. Namun Richard tak perduli. Memilih cepat memutus sambungan telepon dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku jas yang ia kenakan. Tak perlu menunggu lama, sosok wanita yang ia ingin temui kini telah berdiri sempurna di hadapannya. "Jadi kau tinggal di sini?" tanya Richard mencoba mengusir rasa canggung yang sedang menghampirinya. Nathania mengangguk. "Iya, saya sudah lama tinggal di sini." "Ku pikir kau tinggal bersama kedua orang tuamu." Kali ini Nathania menggelengkan kepalanya. "Saya yatim piatu, mister." jawab Nathania pelan. "Maaf kalau aku lancang." Ada perasaan bersalah meliputi diri Richard. Tidak seharusnya ia banyak berbicara seperti saat ini. Nathania tersenyum samar, lalu tak lama wanita itu kembali buka suara. "Mister, tahu dari mana rumah saya?" tanya Nathania bingung. "Aku rasa itu bukan hal yang penting. Aku kemari hanya ingin menanyakan alasan, kenapa kau keluar rumah sakit tanpa menungguku terlebih dahulu?" Astaga, Rich! Pertanyaan macam apa ini. Kau bertanya seolah-olah kau kekasihnya. Richard merutuk ucapannya sendiri. Sementara Nathania menarik wajahnya dalam, terlihat sedikit bingung dengan pertanyaan yang diajukan atasannya tersebut. "Maaf kalau saya pergi tanpa mengabari Mister terlebih dahulu. Saya hanya tidak ingin kembali merepotkan mister," ucap Nathania jujur. "Setidaknya kau mengabariku supaya aku tidak mencemaskanmu." "Hah? Apa?" Nathania terperanjat mendengar ucapan Richard. Merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. Yang benar saja tuan es batu itu tiba-tiba mencemaskannya. Haruskan ia bersorak gembira saat ini? Sementara Richard terlihat salah tingkah karena lagi-lagi salah mengucapkan kata. Entah apa yang merasuki pria itu hari ini. Hati dan mulutnya tidak bisa di ajak bekerja sama sebagaimana mestinya. "Lupakan ucapanku." Richard mengibaskan tangannya ke udara. "Yang penting keadaanmu saat ini sudah membaik. Kalau begitu aku pamit undur diri dulu." Secepat itukah? Jauh-jauh kemari ia hanya bersikap dan berucap basa-basi. Nathania tidak habis pikir dengan jalan pikiran pria yang berstatus bosnya itu. "Mister..." Panggilan Nathania menahan langkah Richard yang sebelumnya sudah bersiap untuk pergi. "Terima kasih atas segala bantuannya kemarin, maaf kalau saya merepotkan anda," ucap Nathania tulus. "Bukan masalah. Bukankah seorang atasan memang harus membantu bawahannya yang membutuhkan pertolongan?" Nathania mengangguk setuju dengan ucapan Richard. "Baiklah kalau begitu silahkan lanjutkan istirahatmu. Aku pamit pulang." **** Keyra dan Alex sudah sudah duduk cantik sambil memperhatikan Nathania yang tengah merapikan berkas-berkas yang ada di meja kerjanya. Pagi ini mereka berdua sengaja menyambangi Nathania yang baru saja turun kerja. "Well, jadi kesehatanmu sudah membaik?" tanya Alex membuka percakapan. "Aku baik-baik aja, kemarin hanya kelelahan. Itu sebabnya aku izin tidak masuk kerja." jawab Nathaia tanpa menoleh ke arah sahabatnya. Keyra memajukan tubuhnya mendekati Nathania. "Apa Mr.Cool kemarin ada menghubungimu?" Nathania mengangguk. "Ada, dia menelpon tidak lama setelah kau mengubungiku." jawab Nathania jujur. Alex dan Keyra kompak terkesiap mendengar ucapan Nathania. Mereka berdua menunjukkan ekspresi begitu penasaran. "Lalu, apa yang pria itu bicarakan?" "Hanya bertanya alasanku kenapa tidak masuk kerja." "Cuma itu?" Alex memicingkan matanya seakan tidak percaya. Nathania mengangguk. "Hanya itu. Memang kalian maunya bagaimana?" "Ya siapa tahu Mr.Cool mau menyusul atau menjengukmu. Aku hanya penasaran untuk apa dia meminta alamatmu kalau bukan ingin menemuimu." Nathania terkekeh. Sebenarnya apa yang diucapkan Keyra ada benarnya. Tapi wanita itu sengaja tidak ingin kedua sahabatnya tahu kalau Richard semalam memang benar mengunjunginya. Memilih topik pembicaraan lain, mereka bertiga larut dalam berbagai macam tema perbincangan. Saling melempar tawa hingga tidak menyadari kehadiran sosok pria yang memperhatikan kegiatan mereka. "Ehem." Sebuah dehaman menginterupsi kegiatan mereka bertiga. "Mr. Richard." Keyra dan Alex langsung berdiri ketika menyadari Richard tengah berada di depan meja kerja Nathania. "Sudah waktunya bekerja. Kembali ke ruangan kalian!" Keyra dan Alex menunduk lalu bergegas untuk segera pergi meninggalkan ruang kerja Nathania. Sementara Richard masuk ke dalam ruangannya, Nathania menyiapkan beberapa berkas untuk ia serahkan kepada atasannya. Mengetuk pintu sekali, wanita itu melenggang masuk ke dalam ruangan, lalu menaruh beberapa berkas di atas meja. "Itu beberapa berkas yang harus Mister tanda tangani hari ini. Untuk agenda rapat, siang nanti ada pertemuan bersama pihak advertising." Richard mengangguk kemudian membuka berkas yang ada di hadapannya. "Akan ku tanda tangani semuanya nanti. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu sekarang." "Tentu, mister." jawab Nathania. "Oh ya, Nath." "Iya, mister. Apa ada yang harus saya lakukan lagi?" Richard terdiam sesaat, lalu mengambil sebuah undangan berwarna silver yang ada di laci mejanya. "Akhir pekan nanti temani saya menghadiri pesta ulang tahun nyonya besar Winata." Nathania tertegun mendengar ajakan Richard. "Anda yakin meminta saya menemani anda pergi ke pesta tersebut?" ada keraguan terlihat di wajah Nathania. Richard mengangkat salah satu alisnya. "Bukannya memang tugasmu menemaniku pergi ke setiap jamuan atau pesta?" "Benar, tapi itu jamuan dan pesta dari rekanan atau kolega bisnis. Sedangkan ini semacam acara keluarga." "Apa bedanya? Kalau kau lupa, ini pesta ulang tahun ibu dari pemilik perusahaan. Jadi kurasa tidak salah aku mengajakmu, kan?" Nathania mengangguk pasrah lalu meraih undangan yang sedang Richard pegang. "Baiklah, saya akan menemani mister pergi ke acara tersebut akhir pekan nanti." Sepeninggalan Nathania keluar ruangan. Tanpa sadar Richard tersenyum. Entah apa arti senyumannya kali ini. *** Nathania menenggelamkan tubuhnya di atas kasur. Rasa penat kini tengah menyelimuti dirinya. Memilih berbaring sejenak ketimbang mandi. Padahal badannya terasa lengket saat ini. Teringat undangan yang di berikan Richard tadi siang. Nathania membuka tas kerjanya, lalu meraih undangan pesta ulang tahun yang didominasi warna silver tersebut. Harusnya aku senang, si Tuan Es Batu Itu memintaku menemaninya pergi ke pesta Nyonya besar Winata. Tapi, Kenapa aku merasa canggung seperti ini? Nathania terus membolak balik undangan yang ada di tangannya. Hingga sebuah dering pesan masuk mengalihkan pandagannya. Keyra : [Kau tadi menelponku? Ada apa?] Nathania : [Cuma ingin minta pendapat, kira-kira kalau pergi ke pesta ulang tahun bagusnya mengenakan baju apa?] Satu menit, dua menit, tiga menit, lima menit. Nathania menunggu Keyra membalas pesannya. Melihat tidak adanya tanda-tanda balasan, wanita itu memutuskan untuk mandi sejenak. Ketika ritual mandi selesai, ia kembali melirik ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Ada notifikasi dua pesan masuk di sana. Alis Nathania terangkat saat melihat nama Richard terpampang di salah satu pesan. Untuk apa si tuan es batu itu mengirim pesan. Cepat-cepat ia membuka kedua pesan tersebut. Mr.Richard : [Besok tolong turun lebih cepat. Ada rapat dadakan bersama tim audit dan advertising dari singapura.] Keyra : [Sorry, tadi aku mandi dulu. Tergantung pestanya bagaimana. Kalau resmi pake gaun saja seperti biasa. Tapi jangan pakai gaun yang sudah berkali-kali kau pakai, Nath. Malu!] Nathania tertegun dengan balasan yang Keyra berikan. Berpikir sejenak. Kalau ia harus memakai gaun ke pesta ulang tahun nyonya besar Winata, itu artinya ia harus membeli gaun baru. Sedangkan ini akhir bulan, ia belum memiliki uang lebih untuk membelinya. Ahh bikin repot saja. Kenapa menghadiri pesta seperti ini aku harus keluar uang lebih. Tapi mau bagaimana lagi, apa aku pinjam uang sama Keyra dulu untuk membeli gaun? Nathania mengembuskan napas gusar, berpikir apakah ia benar-benar harus meminjam uang kepada Keyra untuk membeli gaun baru? Memang ada pilihan lain? Sangat tidak mungkin juga kalau ia harus kasbon di kantor untuk urusan remeh temeh seperti ini. Bu Gladis pasti tidak akan menyetujui permohonan pinjamannya. Baiklah, aku akan meminjam uang pada Keyra. Toh minggu depan juga sudah gajian. Nathania menatap ponsel digenggamannya, kemudian mulai menulis kata-kata. Nathania : [Key, apa aku boleh minta tolong? Sabtu besok, aku harus menemani Mr.Richard menghadiri pesta ulang tahun. Apakah kau berkenan meminjamkan uang? Aku harus membeli gaun baru seperti yang kau sarankan. Aku janji setelah gajian akan langsung menggantinya.] Setelah mengetik panjang lebar, Nathania menekan tombol send yang ada di layar ponsel. Berharap Keyra menyetujui permintaanya. Ponsel Nathania tak lama kembali berbunyi. Wanita itu terkesiap karena bukan balasan Keyra yang ia dapat melainkan panggilan masuk yang berasal dari Richard. Dengan penuh tanya Nathania mengangkat panggilan tersebut. "Iya, halo?" "Nath, kau tidak salah mengirim pesan, kan?" Nathania mengerutkan alisnya. "Maksud mister?" "Iya, pesan yang kau kirim barusan benar kau tujukan untukku?" Tersadar, Nathania menepuk keras keningnya lantas dengan segera mengecek pesan keluar yang baru saja ia kirim. Ternyata benar, Nathania salah mengirim pesan. Yang harusnya dikirim ke Keyra ia kirim ke nomor Richard. Salahnya, mereka berdua mengirim pesan secara bersamaan. Eh, salah Nathania juga karena tidak fokus. "Maaf mister, saya salah mengirim pesan. Sekali lagi mohon maaf." "Baiklah kalau begitu." Setelah Richard memutus panggilan, Nathania menutup wajahnya dengan bantal. Berteriak sekuatnya karena perasaan malu sedang melandanya saat ini. Aarrgghhhhhh. Mau taruh dimana mukamu, Natha! Dasar ceroboh .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD