Maya dan Azam melewati jalanan yang padat dan berdebu. Tapi semua ini terasa ringan karena Maya dapat menyandarkan kepalanya di punggung Azam. Sambil tersenyum dan tersipu malu, Maya melirik kan mata menuju langit dan terus mengucap syukur atas karunia yang telah Allah berikan kepadanya.
Sayang, Maya tidak tahu masalah besar yang tengah menantinya. Sesuatu yang buruk dan sangat mengerikan dari sosok makhluk yang memiliki kekuatan tertinggi di golongannya.
"Maya, aku pernah mendengar ucapan dari salah seorang ulama besar. Saat itu, aku melakukan pengajian bersama di pondok pesantren tidak jauh dari rumah," ucap Azam sambil menatap Maya dari kaca spion motornya.
"Apa itu?" sahut Maya sembari menegakkan kepala, namun masih menempelkan ujung bawah dagu pada pundak Azam.
"Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnya lah yang berlain-lainan menerimanya."
"Aku tidak mengerti maksudnya," tanya Maya sembari menela'ah perkataan dari suaminya.
"Begini, jika cinta itu jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia, budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji."
"Azam ... ." Maya mengucap nama suaminya dengan penuh rasa syukur, sambil tersenyum dan mengeratkan pelukannya pada lingkar pinggang Azam.
"Jadilah tanah yang subur, Maya!" pinta Azam, kemudian ia mengambil tangan kiri Maya dengan lembut dan menciumi nya.
MasyaAllah Azam ... tidak ada kebahagiaan lain selain sikap dan perlakuanmu padaku, ucap Maya tanpa suara. Ini benar-benar jauh dari ekspektasi Maya. Selama ini, Maya berpikir bahwa temannya yang bernama Azam adalah laki-laki pendiam dan dingin, tapi ternyata ia salah.
Memang benar pribahasa orang bijak yang mengatakan, "Dalam lautan dapat di ukur, tinggi gunung dapat diketahui, tapi hati manusia siapa yang tau? Selain Allah yang Maha Mengetahui segala isi bumi.
Mereka tiba di kampus tepat waktu. Langkah pertama sebagai istri, tanpa diketahui oleh mahasiswa dan dosen lainnya membuat Maya bingung untuk bersikap. Namun Azam mampu membuat Maya tidak kaku dalam melangkah.
"Ayo kita masuk sekarang!" perintah Azam sambil menarik tangan kanan Maya. Disisi lain, Maya melihat beberapa mahasiswa lainnya memperhatikan ke arahnya dan Azam. "Jangan pikirkan mereka!" kata Azam sekali lagi.
Seperti biasanya, Maya berjalan ke arah bangku belajar dan Azam juga duduk di bangku miliknya. Pada saat jam perkuliahan dimulai, Azam membalik tubuhnya dan menatap Maya. Lalu menanyakan apakah Maua membawa 2 pulpen dan ia menganggukkan kepalaku sambil mengantar salah satu pulpen yang ia miliki ke bangku belajar Azam.
Na'as, saat Maya berjalan sudah cukup dekat dengan Azam, tiba-tiba seseorang menekel kaki kiri Maya hingga ia hampir tersungkur dan terjatuh. Tapi Azam dengan cepat menangkapnya sehingga kepala Maya tidak menyentuh lantai.
Dengan wajah yang marah, Azam menatap ke arah Melisa yang duduk tepat di belakang Azam. Sepertinya Azam juga melihat apa yang ia lakukan kepada Maya, tanpa perlu Maya mengatakan kepada dirinya.
Sambil menegakkan tubuhku dan mengibas-ngibas sisa debu yang menempel di celana panjang yang Maya kenakan, Azam mengatakan sesuatu kepada Melisa, "Melisa, sifat burukmu itulah yang akan membawa dirimu ke dalam kehidupan buruk dan pahit."
"Hu ... ." ucap beberapa mahasiswa di kelas yang terlihat setuju dengan perkataan Azam.
"Azam ... jangan mengatakan hal-hal yang tidak baik!" pinta Maya.
"Ayo, aku antar ke bangkumu ,Maya."
"Iya, makasih Azam."
Jam istirahat di mulai, Azam menghampiri Maya dan mengatakan, "Maya, aku ke ruang dosen dulu ya. Ada yang harus aku lakukan agar kamu lebih aman," ucap Azam sambil memegang kepala Maya dan mengelusnya perlahan.
"Baik, kalau begitu, aku tunggu di sini ya Azam."
"Tidak, sebaiknya kamu di kantin saja. Ayo aku temani kesana."
"Baiklah ... ."
Maya dan Azam berjalan bersama ke kantin yang sama sekali tidak pernah Maya kunjungi sebelumnya. Azam berpesan kepada Maya untuk menunggunya di sini, tapi jika jam perkuliahan sudah dimulai, sebaiknya Maya kembali ke dalam kelas sendiri tanpa dirinya.
30 menit berlalu, tapi Azam tidak kunjung datang untuk menjemput Maya. Sementara jam istirahat akan berakhir dan Maya mengingat pesan Azam sebelumnya, lalu ia segera berjalan ke arah ruang kelas.
"Auh ... ." ucap Maya sedikit berteriak karena terkejut. Seseorang yang tidak ia lihat menarik pergelangan tangan kiri Maya hingga tubuhnya masuk ke dalam kamar mandi mahasiswa.
"Hai, anak panti. Jangan pernah lo merasa bangga ataupun berbesar hati cuma karena Azam sudah bersedia untuk membela lo. Dia melakukannya bukan karena suka, tapi karena kasihan. Apa lo nggak ngerti?" tanya Melisa sambil menatap penuh kebencian terhadap Maya.
"Sebenarnya apa masalah kalian terhadapku? Setahuku, selama ini aku sama sekali tidak pernah mengganggu siapa pun termasuk kalian bertiga," ucap Maya dengan nada suara yang tenang, namun tegas.
"Kamu memang nggak pernah ya ganggu kita, Itu menurut kamu. Tapi asal kamu tahu saja, siapa pun yang mendekati Azam, itu berarti dia akan berurusan dengan kita," ujar Andini dan Joya saling bersahutan.
"Jika kalian menyukai Azam, seharusnya kalian melakukannya dengan baik dan mengatakan kebenaran tentang isi hati kalian kepada Azam secara benar. Bukan dengan menyakiti orang lain yang tidak tahu perkara apapun."
"Suuut .... " ujar Melisa sambil meruncingkan mulutnya dan meletakkan jari telunjuk tangan kanan di ujung bibirnya. "Kalau lo ngak bisa diam, gue tutup mulut lo," sambar Melisa sambil memegang dan mencengkram kedua sisi mulut Maya dengan keras.
"Begini saja anak panti, kita juga jijik banget berurusan sama kamu. Jadi kita minta agar kamu jauhi aja Azam dan jangan lagi berpura-pura sok manis dan lemah dihadapannya! Tutup mata lemah palsu kamu itu di hadapan Azam!" ujar Andini sambil mendorong kepala Maya hingga terbentur dengan dinding kamar mandi.
Maya diam bukan karena lemah, tapi ia bukan tipe orang yang suka berkelahi. Dari dulu, ibu panti selalu mengajarkannya kedamaian. Karena mereka hidup dalam jumlah yang banyak, sehingga harus mampu menekan emosi sebaik mungkin.
Sakit rasanya kepala bagian belakang Maya. Tapi ia sama sekali tidak menangis karena hal ini sudah biasa ia terima dari Tia, teman satu pantinya.
"Bagaimana kalau kita memberi pelajaran lebih kepadanya?" tanya Joya pada kedua rekannya dan seketika perasaan Maya menjadi sangat tidak enak sekali.
"Bagaimana?" tanya Andini kembali kepada Melisa.
"Lepaskan jilbabnya!" jawab Melisa dengan senyum yang sinis dan mata yang melotot.
"Tidak!" sahut Maya dengan suara yang tinggi dan membentak. "Kalian boleh saja menyakitiku, tapi tidak melepaskan hijabku."
"Pegang dia!" ucap Melisa kepada dua orang rekannya. Saat itu ia merasa, jilbab itulah kelemahan Maya. "Kenapa? kepala lo botak? Sampai-sampai segitu takutnya."
"Jangan sentuh hijabku!"
Maya tidak diam saja kali ini. Ia terus melawan dan memberontak sambil berteriak. Tapi Maya kalah jumlah, Andini menutup mulutnya dengan sapu tangan, Joya memegang kedua tangannya ke belakang, dan Melisa menarik jilbab Maya dengan kuat.
Maya sangat marah kali ini, apalagi setelah jilbab dilepas paksa dari kepalanya. Maya membenturkan dahi pada hidung Melisa hingga mengeluarkan darah, ia menginjak ujung jari-jari kaki Joya sekuat tenaga hingga Joya meraung kesakitan, dan ia menampar dengan kuat pipi kanan Andini dengan punggung tangan kanannya.
"Jangan berani-beraninya kalian melepaskan hijabku!" bentak Maya sekali lagi, sambil menunjuk mereka semua dengan tangan kirinya.
Sambil mengatur napas, Maya berpikir bagaimana caranya agar ia bisa keluar dari kamar mandi ini? Sementara ia terpojok di sudut ruangan dan dihadang oleh 3 orang tersebut dengan jilbab yang sudah terlepas dari kepala Maya.
"Kembalikan jilbabku!"
"Tidak akan pernah!" jawab Melisa dengan darah yang mengucur dari lubang hidungnya. "Lo harus bayar mahal tentang ini." sambungnya sambil menunjuk ke arah hidungnya.
Bersambung.