Tabiat Azam yang Sebenarnya

1001 Words
Matahari hadir dan berhasil menghangatkan hari. Maya yang tampak sibuk sejak pagi, sampai lupa menggeser hordeng jendela untuk membiarkan sinarnya menerangi setiap ruangan di rumah ukuran sedang tersebut. Sementara Azam, ia masih membersihkan diri akibat tertidur kembali setelah selesai melaksanakan shalat subuh bersama Maya. Biasanya Azam tidak seperti itu, tapi kali ini ia lalai dan mungkin semua itu terjadi akibat terlalu lelah. "Azam, ayo sarapan dulu! Aku sudah menyiapkan bubur ayam untukmu." Maya mengintip Azam dari pintu kamar sambil tersenyum. Suaminya tampak sedang melepaskan handuk dan meletakkannya di atas tempat tidur. "Kamu seperti anak kecil, Azam. Dimana letak rasa malumu itu?" "Apa?" "Dimana letak rasa malumu itu, Azam?" tanya Maya sekali lagi sambil tersenyum lebih lebar. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Maya? Bukannya kemaluanku sudah aku berikan untukmu?" "Dasar nakal. Ayo cepatan! Nanti terlambat dan bubur ayamnya jadi dingin." "Tinggal dipeluk saja kalau dingin," goda Azam dan Maya menggelengkan kepalanya dengan bibir yang terus tersenyum. Agaknya Maya tidak percaya bahwa Azam ternyata punya perilaku yang humoris dan romantis. "Apa bubur itu hanya untuk ku?" "Azam, itu terdengar kekanak-kanakan." "Maaf, Maya," ujar Azam sambil menatap mata Maya dari jarak yang sangat dekat. "Duduk dan nikmati sarapannya!" Azam menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Kenapa tidak mengenakan jilbab yang baru aku berikan kemarin?" tanya Azam sembari menarik dan merapikan ujung-ujung hijab tepat di wajah Maya. "Sayang." "Apa? Ulangi! Itu sapa'an terindah yang pernah aku dengar." "Tidak-tidak, bukan begitu," jawab Maya dengan wajah yang memerah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hemmmh, lalu apa?" "Maksudku, jilbabnya sangat bagus. Apalagi berbahan sutra seperti itu, jadi sayang kalau dipakai ke kampus." "Eemmmh, padahal aku sudah berharap kata sayang itu menjadi milikku. Tapi ternyata tidak." "Maaf Azam, aku ... ." "Aku sayang kamu, Maya," ujar Azam sambil memberikan kecupan hangat mulai dari dahi, pipi kiri dan pipi kanan Maya. Dilanjutkan dengan kedua kelopak mata, hidung, hingga dagu. "Azam ... ." "Katakan sesuatu?" "Aku juga sangat menyayangimu." "Bagaimana dengan cinta?" "Mulai nakal ya. Bukannya aku pernah mengatakan hal itu beberapa hari yang lalu?" "Tapi aku masih ingin mendengarkannya sekarang," ucap Azam dengan nada suara yang memelas. "Kamu, kenapa kamu selalu membuat aku malu?" "Aku ingin kamu terbiasa denganku, Maya. Mana boleh seorang istri malu berlama-lama dengan suaminya sendiri.'' "Azam ... ." kata Maya, lalu ia menyembunyikan wajah dan tubuhnya pada tubuh Azam yang jauh lebih besar dari pada tubuhnya sendiri. "Bagaimana kalau nanti malam kita pacaran, Maya?" "Azam iiih, usil banget." "Aku anggap jawabannya iya. Maya, sebaiknya kita segera sarapan dan berangkat ke kampus. Jika tidak, mungkin kita berdua tidak akan ke kampus lagi hari ini," kata Azam sambil terus memeluk tubuh Maya dan menggosok-gosok lembut punggungnya. "Kenapa? Apa ada masalah? Atau apa kamu sakit?" tanya Maya sambil menatap wajah Azam. "Tidak, bukan." "Terus?" "Aku mau kamu, Maya," bisik Azam. Kemudian dengan cepat, ia menyambar bibir Maya dan menikmatinya dengan lembut. Azam melakukannya dengan sangat baik hingga mampu membawa perasaan Maya sejajar dengan perasaannya. Tanpa memberikan Maya waktu dan kesempatan untuk bicara, Azam terus memainkan bibirnya dengan bibir Maya. Perasaan Azam tersampaikan, bahkan Maya sudah terpengaruh dan bergejolak. Maya ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi Azam masih terus melekatkan bibirnya pada bibir Maya. Nafas Maya mulai tersengal karena terlalu berat merasakan kemesraan yang barub ia nikmati bersama seorang laki-laki. "Aku mau kamu, Maya," ucap Azam sambil mengatur napasnya. "Tidak Azam ... ." sahut Maya sambil menunduk dan mengatur napasnya. "Jangan menolak ku! Aku tidak sanggup menahan diri hingga malam." "Azam, aku sedang datang bulan." "Apa? Aaagh, ini cobaan yang berat ya Allah ... sejak kapan, Maya?" "Setelah shalat subuh." "Seharusnya aku mengambil jatahku tadi malam atau subuh," kata Azam penuh sesal. "Katakan kepadaku! Berapa lama aku harus menunggunya?" "Sekitar satu minggu." "Maya, itu lama sekali. Benar-benar siksaan pengantin baru," ujar Azam sambil memegang kepalanya seperti seseorang yang tengah sakit kepala berat dan Maya malah merasa sangat lucu melihat ekspresi Azam saat ini. "Maya, jangan menertawakan aku!" "Maaf Azam, habis kamu lucu. Ayo kita ke kampus sekarang!" "Baiklah, tapi biarkan aku menenangkan diri dan seluruh tubuhku sejenak," jawab Azam yang mengisyaratkan bahwa dirinya dalam mode siap tempur. Perkataan dan perilaku Azam memancing tawa geli di hati Maya. Agar Azam tidak tersinggung, Maya menahan tawa dengan menggigit bibir bawah dan menutup mulut dengan tangan kanan. Ternyata laki-laki yang tampak dewasa dan tenang bisa berubah menjadi cacing kepanasan bila berurusan dengan keinginan. Azam membuat Maya merasa bahagia, walaupun di awalnya dia sudah membuat Maya kecewa dan menderita. Maya sangat ingin berakhir di awal pernikahannya, tapi setelah tau suaminya adalah Azam, Maya malah selalu berdo'a agar Allah memberikan umur dan jodoh yang panjang bersamanya. Setelah 10 menit berlalu, Azam meneguk teh hangat yang berada di atas meja makan, lalu ia menarik tangan Maya dan mengatakan, "Maya, ayo kita berangkat sekarang. Aku tidak sanggup lagi menelan sarapan pagi ini." "Baiklah, Azam." Mereka bergerak meninggalkan rumah, tapi Maya lupa membawa kunci pintunya sehingga ia kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambilnya. Dari arah luar, Maya sudah bisa melihat kunci tersebut ada di atas meja makan dan ia bergerak masuk ke dalam rumah untuk mengambilnya, sedangkan Azam sedang memanaskan motornya. Dengan senyum kecil, Maya mengambil kunci tersebut. Setelah kunci berada di dalam genggaman tangan Maya yang masih berada di atas meja makan, Maua segera memutar tubuh menghadap ke depan. Tapi pada saat Maya hendak menarik tangan kirinya, Maya merasa sesuatu menahan tangan tersebut dengan kuat sehingga ia tidak dapat mengangkat tangannya. Seketika perasaan bahagia bergeser menjadi cemas. Maya yakin hanya ada dirinya saja di dalam rumah ini, lalu siapa yang menahan tangan dengan sangat kuat? Tanya Maya di dalam hati. Dengan rasa takut dan jantung yang berdebar kencang, Maya melihat ke arah tangannya, tapi pada saat yang bersaaman, Maya merasa bahwa tangan misterius yang menahan tangannya tersebut, seketika mehilang. Maya langsung menarik tangannya yang sudah memegang kunci rumah, lalu dengan langkah cepat ia langsung keluar dari dalam dan menguncinya. Azam melihat Maya dan menanyakan tentang apa yang sudah terjadi kepadanya? Tapi Maya mengatakan tidak ada apa-apa, ia hanya dari kamar mandi, lalu buru-buru keluar agar mereka tidak terlambat. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD