Hari masih siang, namun suasana tampaknya mampu menjadikan suasana kelam seperti malam. Sebenarnya Maya mulai takut saat menatap mata ketiganya. Disana, tergambar jelas kebencian. Sepertinya, mereka 'tak hanya ingin menyakiti Maya, tapi juga ingin menguliti jiwanya.
Maya terpojok, terdiam melekat di dinding kamar mandi kampus, seakan tidak punya celah untuk melangkah pergi. Tapi Maya tidak ingin menjadi orang yang lemah, butuh terobosan untuk menyadarkan mereka bahwa selama ini orang yang diam dan mengalah bukanlah orang yang penakut.
Sambil terdiam menatap pagar hidup di hadapannya, Maya berpikir bagaimana cara agar bisa melewati celah terkecil di antara mereka hingga ia bisa keluar dari kamar mandi ini. Setidaknya jika Maya sudah sampai di luar, ia bisa meminta pertolongan dari siapa pun.
Ya Allah ... bantulah aku, ku mohon. Pinta Maya di dalam hati.
"Azam," ucap Maya dengan ekspresi kaget. Kali ini, ia berbohong untuk keselamatannya.
Melisa, Andini, dan Joya terkejut sehingga mereka mengira bahwa apa yang Maya katakan adalah benar. Dengan sigap mereka bertiga memalingkan wajahnya ke belakang untuk melihat Azam. Saat itu, Maya merasakan bahwa momen ini adalah waktu yang tepat untuk menerobos tubuh Joya yang berada di tengah-tengah (tepat di hadapanku) Maya.
Dengan langkah cepat Maya berlari lurus ke depan dan mengutamakan bagian sikut tangannya. Saat ia berhasil melewati mereka dengan menabrak lengan kanan Joya, Maya melihat Joya terjatuh cukup kuat hingga kepala bagian belakangnya terhentak lantai kamar mandi yang kotor dan berdebu.
Tidak ingin membuang waktu dan kesempatan, Maya langsung membuka slot pintu dan menekan gagangnya lalu keluar dari kamar mandi sambil berlari ke arah yang tidak ia ketahui karena terlalu panik.
Maya terus ke depan sambil menutup rambutnya dengan kedua tangan. Maya pun terus melihat dan mencari seseorang yang mungkin saja ia kenali agar bisa meminta pertolongan kepadanya. Ini bukan masalah tiga sahabat yang zalim itu, tapi soal auratnya yang terbuka.
Sambil berlari, Maya merasakan angin mulai menerpa wajahnya dan itu membuat perih pada beberapa titik di sekitar bibir. Saat itu, Maya langsung teringat, bagaimana Melisa mencengkram mulutnya dan mungkin saat itu kukunya yang tajam dan panjang masuk ke dalam kulit wajah Maya.
Braaak.
Maya menabrak seseorang dengan kuat, tapi ia tidak terjatuh. "Maya, kamu ngak papa?" Terdengar suara Azam yang tampak bingung dengan keadaan istrinya. Belum sempat Maya menjawab pertanyaan darinya, ketiga sahabat itu sudah berada tepat di belakang Maya.
Azam melihat ke arah belakang tubuh Maya dan saat itu, Melisa, Andini dan Joya sudah berada di sana. Sambil melepas jaket yang ia kenakan, lalu Azam menutup rambut Maya. Azam juga mengangkat wajah Maya dan melihat seluruh bagiannya yang tampak kacau berantakan.
Azam tampak sangat marah, kemudian ia menarik dengan lembut tangan Maya dan membawanya ke ruang dosen. Setibanya di ruang dosen bagian kemahasiswaan, Azam meminta Maya untuk menceritakan seluruh kronologinya dengan lugas dan Maya melakukannya.
Saat itu juga, ketiga sahabat itu dipanggil dan dimintai keterangan serta konfirmasi atas kejadian yang baru saja terjadi. Mereka adalah wanita yang sangat lihai dengan lidah dan kebohongannya.
Hingga akhir pertanyaan pun, mereka terus berkelit dan mengatakan tidak sengaja melakukan hal tersebut kepada Maya dan mereka hanya berniat untuk bermain-main saja.
Azam tidak mampu menerima setiap perkataan dari Melisa, Andini, dan Joya. Azam pun mengatakan jika mereka bertiga tidak dihukum sesuai dengan kesalahan mereka, maka ia akan mengatakan kepada Papanya untuk menarik seluruh bantuan dan kerjasama dengan kampus ini.
"Siapapun yang ada di dalam rumahku pasti tidak akan senang dengan apa yang mereka lihat saat ini," ucap Azam sambil berdiri menentang 2 orang dosen yang merupakan keluarga dari Andini dan Zoya serta ketiga sahabat itu.
"Tidak perlu begitu Azam, kita selesaikan saja secara kekeluargaan," ucap Bu Tiara sambil menatap lembut, namun tajam ke arah Maya dan Azam.
"Apa anda akan melakukan hal yang sama, Bu. Seandainya mereka bukan keponakan Anda?" tanya Azam dengan kalimat dan mata yang terus menantang.
"Bukan begitu ... tapi ini hanya kenakalan remaja," ucapnya dengan sangat ringan sementara Maya sudah terluka dan merasa malu.
"Jika keponakan Ibu yang diperlakukan seperti ini, apakah Ibu akan mengatakan hal yang sama dan membiarkan pelaku tanpa menghukumnya?"
"Begini saja, Azam. Sebentar lagi kita kan akan melaksanakan ujian. Jadi jika kita memperpanjang urusan ini, dikhawatirkan ketiga mahasiswi ini akan kesulitan di dalam pelaksanaan ujian di Kampus," ujar Pak Satrio yang merupakan paman dari Andini.
"Kalau begitu, kenapa aku yang harus memikirkannya? Bukankah seharusnya mereka bertiga yang Berpikir sebelum bertindak? Selama ini mereka selalu semena-mena, tapi sama sekali tidak pernah dihukum karena mereka memiliki Paman dan Tante seorang pejabat di kampus ini. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja," ujar Azam sambil mengepalkan kedua tangannya dengan sangat keras.
"Kita ambil jalan terbaiknya saja, Azam!"
"Kalau begitu menurut Bapak dan Ibu dosen sekalian, biar aku telepon saja Papa dan biarkan beliau yang menilai bagaimana kelanjutannya karena Maya adalah anak menantu satu-satunya di rumah Papa. Jadi aku yakin, tidak mungkin papa hanya duduk diam sambil tersenyum manis. Kita buktikan saja," ucap Azam menantang.
Setelah mengatakan hal yang selama ini tidak pernah ia lakukan, Azam langsung menarik ponsel dari saku celananya dan menelepon Papanya. Tapi pada saat yang bersamaan, Ibu Tiara menghentikannya.
Beliau mengatakan akan mengurus masalah ini hingga tuntas dan ketiga mahasiswi ini akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatannya.
"Dengar, Bu! Selama ini aku tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun dalam keadaan apapun di kampus in. Bahkan aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun tentang siapa diriku yang sebenarnya. Tapi kali ini sangat berbeda karena mereka tidak menyakiti diriku, melainkan istriku. Bagiku, Maya adalah hidup dan kebahagiaanku, jadi siapa pun yang berani menyakiti Maya seujung kukunya saja, maka ia akan berurusan dengan keluarga besar kami.
Melisa, Andini dan Joya tampak bingung saat mendengar perkataan Azam karena mereka sama sekali tidak pernah mengetahui ataupun mendapatkan informasi tentang hubungan Maya dan Azam. Wajar saja karena pernikahan keduanya berlangsung tertutup di Panti asuhan, tanpa mengundang teman-teman seangkatan ataupun dosen.
"Sudahlah, Azam. Sabar! Ayo kita pergi dari sini! Ini sudah cukup," ujar Maya dengan suara yang sendu dan mata yang basah.
"Iya, Sayang ," kata Azam sambil menarik jilbab milik Maya yang masih berada di dalam genggaman tangan Melisa.
Mereka meninggalkan ruang kemahasiswaan tersebut dan langsung menuju ruang kelas. Kali ini bukan untuk belajar melainkan mengemas buku dan mengambil tas milik Maya.
Saat itu, Azam meminta Maya untuk bersedia pulang dan Maya pun mengikutinya. Sepanjang lorong antara kelas hingga gerbang depan utama kampus, Azam terus memeluk tubuh Maya dari samping.
Maya menaiki motor Azam dengan perlahan. Seluruh tubuhnya terasa sakit, tapi ada yang mencuri perhatiannya, yaitu bagian punggung tangannya yang tiba-tiba membiru dan bengkak. Padahal, Maya yakin sekali kalau mereka bertiga tidak melakukan apapun pada bagian tangan tersebut.
Tiba-tiba, Maya teringat kejadian tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Maya merasa ada sesuatu yang memegang dan menahan tangannya dengan sangat kuat, ketika ia hendak mengambil kunci pintu rumah di atas meja makan.
Sebenarnya apa yang terjadi padaku dan rumah itu? Tapi, kami baru saja pindah. Jika aku mengatakannya kepada Azam, tentu hal ini akan merepotkan baginya. Ia sudah berusaha memberikan yang terbaik untukku. Ucap Maya tanpa suara sambil terus memeluk Azam.
"Setibanya di rumah nanti, aku harap kamu segera istirahat, Maya! Urusan rumah, serahkan saja kepadaku. Jangan sakit ya?!"
"Aku tidak apa-apa, Azam."
"Jika nanti suhu badanmu meningkat, kita langsung ke dokter praktik saja. Jangan menolak!" Lalu Maya mengganggukkan kepalanya.
Bersambung.