8~ Mama Menginap

1007 Words
"Ah. Ada tamu. Aku buka pintu dulu!" Mita gegas keluar dari kamar untuk menghindar. Sungguh merasa bersyukur karena di saat yang tepat ada yang datang meski ia tidak tahu siapa yang bertamu di sore menjelang malam seperti sekarang ini. Tetapi tidak lama kemudian Mita kembali ke kamar tepat saat sang suami sedang membungkuk dengan tangan terulur ke bawah kursi. Wanita itu mendekati lalu menarik tangan suaminya dengan segera. "Ayo! Kamu jangan ada di sini. Itu mama yang datang." Meski sempat terkejut karena mengira Mita tidak akan kembali, Wira tetap menurut saat istri menarik tangannya hingga ke depan kamar utama di rumah itu. "Kamu masuk aja ke kamar. Jangan Kelayapan apalagi sampai mama curiga," ujar Mita yang sibuk sendiri, berlalu kemudian. "Kenapa aku harus masuk kamar?" gumam Wira, bertanya pada diri sendiri kemudian menyusul sang istri. "Kamu kenapa ikut aku?" "Kenapa juga aku harus masuk kamar?" balas Wira, "aku aja yang buka pintu. Kamu tunggu aja di sini." Berlalu tanpa menunggu jawaban Istri. "Baguslah. Aku bisa amankan baju merah itu," gumam Mita, cepat berjalan menuju kamar yang akan ditempati suami, membungkuk mengambil sesuatu dari bawah kursi dan keluar setelah berhasil mendapatkannya. Dengan kepala celingak celinguk mengawasi sekitar, Mita melangkah menuju kamarnya. "Ini aku umpetin di mana ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Mita, kamu di dalam?" Wanita itu terkejut saat mendengar suara suami disertai dengan ketukan di pintu. "Sebentar!" Ia menyusupkan pakaian merah tadi ke bawah bantal karena panik, takut ketahuan. "Ini kenapa aku jadi kayak maling gini sih?" gumamnya. "Aku masuk, ya?!" Mita berbalik tepat saat Wira membuka pintu. "Ke-kenapa?" gugupnya, sambil melirik sekilas pada bantal, memastikan bahwa baju pembawa kekacauan itu tidak terlihat. Tidak lantas menjawab, Wira menghampiri dan berdiri di depan lalu meraba kening istri. "Kenapa kamu? Sakit? Muka kamu pucat lho." Mita menggeleng. "Gak apa-apa. Mungkin karena malam aku kurang tidur aja," kilahnya. "Yakin?" "Yakin lah. Aku malam gak bisa tidur soalnya jagain kamu." "Hah?" "Iya. Jagain kamu biar gak macam-macam." Wira tertawa. Menyentil pelan kening istrinya sambil berkata, "Gak usah kegeeran. Aku gak selera lihat kamu. Istri idaman aku bukan cewek bar-bar kayak kamu," cibirnya. "Aku gak kegeeran. Aku cuma antisipasi," kilah Mita. "Iya lah terserah kamu. Ayo, ada mama di depan lagi nunggu." Wira menuntun tangan sang istri. Mita pun menurut, mengikuti langkah suami yang berjalan di depannya. "Mama kenapa ke sini?" tanyanya tanpa basa-basi, duduk di samping suami, berhadapan dengan ibu. "Heh! Didatangi orang tua malah nanya kayak gitu," protes Andini, ibunda Mita. "Abisnya mama juga suka cari masalah kalau ketemu aku," balas Mita sembari mendelik pada ibunya. "Mama mau menginap di sini," ujar Andini. "APA?" Mita memekik terkejut mendengar ucapan ibunya. Jika itu benar, bagaimana dengan ia dan suami? Tidak mungkin mereka tidur di kamar yang berbeda. Ia lalu menoleh pada suami yang sama sekali tidak terlihat terkejut atau pun panik. "Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Andini, menatap putrinya. "Mama kok tumben banget sih mau menginap di sini?" Mita bertanya balik. "Sengaja. Mama cuma mau mastiin kalau kamu gak lagi mengelabui mama," jawab Andini. Baik Mita atau pun Wira, mengernyit mendengar pengakuan wanita paruh baya itu, sama-sama tidak mengerti. "Maksud Mama apa?" tanya Mita, ingin segera mendapatkan penjelasan. "Mama tau gimana kamu, Sayang." Andini menatap putrinya lalu beralih memandang menantu seraya berkata, "Dan mama juga tau gimana Wira yang sejak dulu selalu membantu kamu melakukan setiap kenakalan kamu." Berbeda dengan Wira yang tersenyum meringis karena merasa tidak enak sebab apa yang mertuanya katakan itu benar, Mita justru memutar bola mata malas. "Lalu apa hubungannya, Ma? Lagi pula itu cerita lama waktu kami masih muda." "Ya siapa tahu aja, kali ini juga ulah nakal kamu agar punya alasan menolak perjodohan kamu dan anak teman mama," sahut Andini dengan santai. Mita menelan ludah dengan susah payah karena ternyata ibunya seperti bisa membaca situasi. "Mama masih juga suka membesar-besarkan masalah deh. Suka curigaan sama anak sendiri." "Makanya mama ada di sini. pengen membuktikan apa kecurigaan mama ini benar atau tidak karena kalau mama tanya sama kalian, sudah pasti kalian tidak akan mau berkata dengan jujur," sahut Andini. "Iya, iya ... terserah Mama lah mau menginap di sini satu hari atau pun satu minggu. Atau satu bulan juga gak apa-apa," balas Mita, berusaha terlihat santai meskipun sebenarnya ia ketar-ketir dalam hati. Jika benar ibunya tinggal bersama selama satu bulan itu berarti bahwa ia harus tidur satu kamar dengan suaminya. 'Ya ampun ... gimana ini? Satu bulan? Kalau terjadi sesuatu antara aku dan Wira, gimana? Terus aku hamil, terus kita pisah sesuai kesepakatan awal, aku nanti jadi janda anak satu dong. Itu juga kalau anaknya satu. Kalau anaknya kembar dua, atau tiga atau mungkin empat, bahkan lima, gimana? Astagfirullah ... aku pasti repot sendiri ngurusin anak sebanyak itu tanpa suami.' Pikiran Mita meracau sangat jauh. "Heh! Mikir apa kamu? Bibir sampai komat-kamit gitu." Mita terkejut saat bibirnya disentil pelan. Ia menoleh. Hanya ada suami dan dirinya saja di sana. "Mama mana? Udah Pulang? Akhirnya emak-emak cerewet itu pulang juga." Bertanya tetapi menyimpulkan sendiri jawabannya. "Kata siapa mama pulang? Mama lagi ke kamar mandi. Bahkan katanya papa juga mau ikut menginap di sini," sahut Wira. "Hah?!" "Lagian, kamu ini kenapa? Perasaan dari tadi kamu di sini. Kenapa kok bisa gak tau apa-apa? Pasti kamu lagi mikir jorok," tuding Wira. "Enak aja. Sembarangan kalau ngomong!" sebal Mita seraya memukul pelan lengan suami. "Ya terus, kamu mikirin apa?" "Aku cuma mikir gimana caranya bikin mama gak betah tinggal di sini biar aku gak perlu satu kamar sama kamu. Males aku!" sungut Mita. "Ngapain dipikirin? Apa yang harus terjadi biarkan aja terjadi." "Kamu sih enak ngomong kayak gitu. Kalau sampai terjadi aku yang rugi." "Hah? Rugi apanya? Memangnya kita lagi bahas apa sih? Cuma lagi bahas soal tidur satu kamar aja 'kan?" Wira mengerutkan dahi tanda ia tidak mengerti dengan maksud ucapan istrinya. "Ah, dasar lola! Sudahlah. Terserah kamu," balas Mita sambil bangkit berdiri. "Kamu mau ke mana?" Wira menahan saat istri hendak beranjak. Mita menepis tangan suami yang menahannya. "Aku mau ke kamar. Mau mikir di sana biar tenang." Berlalu kemudian, meninggalkan suami yang hanya menggeleng sembari terkekeh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD