7~ Kamar Baru

1017 Words
"Akhirnya ... bisa kembali ke rumah tercinta," gumam Mita sambil berbaring di kursi ruang tengah dan memeluk bantal sofa. "Lebay kamu! Perasaan tidur di tempat ibu juga cuma satu malam," tanggap Wira. Mita bangkit dan duduk di sofa masih memeluk bantal. "Tapi aku beberapa hari di tempat mama, Ra. Mama gak bolehin aku keluar. Katanya dipingit. Takut aku diem-diem ketemu sama kamu padahal ogah banget aku! Bosen aku ketemu kamu melulu." Sang pria tidak mengatakan apa pun. mencubit hidung sang istri kemudian berlalu. "Aku pakai kamar bekas Icha." Melangkah menuju kamar yang dimaksud. "Jangan!" Gegas Mita menyusul dan menghadang tepat saat Wira hendak membuka pintu kamar itu. Berdiri dengan kedua tangan di belakang, memegangi gagang pintu. "Kenapa?" tanya Wira. "Em ... gak apa-apa. Kamu pakai aja kamar lain, yang lebih besar juga 'kan ada," jawab Mita. "Aku gak mau kamar yang terlalu besar, Mita. Mulai sekarang ini kamar baru aku," tolak Wira. "Iya. Tapi jangan kamar ini." "Kenapa?" Wira sekali lagi bertanya hal yang sama. Menaikkan sebelah alis, menatap curiga. "Ya ... ya gak apa-apa!" "Kalau gak apa-apa, kenapa aku gak boleh pakai kamar ini?" Mita terdiam. Bingung harus menjawab apa sekarang. "Em ... anu ... itu ... kamarnya kotor karena udah lama banget gak ditempati." "Gak masalah. Aku bisa bersihkan sendiri. Jadi tolong kasih aku jalan. Aku mau tidur di sini. Lagi pula di sini lebih aman. Kalau ada yang menginap mereka gak akan tahu kalau kita tinggal beda kamar.'' "Kamar yang lain juga aman kok. Gak akan ada yang masuk rumah ini kecuali aku dan kamu.'' Mita tetap berkukuh melarang Wira tinggal di kamar itu. "Aku curiga kamu menyembunyikan sesuatu di dalam kamar ini," tuding Wira. "Enggak! Aku gak nyembunyiin apa-apa kok," sangkal Mita dengan cepat. "Kalau gak ada apa-apa, ya udah, biarin aku tinggal di sini. Kenapa juga kamu harus sibuk kayak gini," balas sang pria. "Ya ... ya gak apa-apa." "Gak apa-apa tapi kamu panik gitu." "Enggak. Aku gak panik,'' sanggah Mit, "kata siapa aku panik? Sok tau banget, sih!" Wira maju hingga jarak di antara mereka sangat dekat. Menatap tajam wanita itu. Meski jantung hampir lepas dari tempat seharusnya, Mita berusaha untuk tetap waras. Apalagi saat merasakan tangan suami mendarat di pinggangnya. "Ka–kamu ma–mau ngapain?" Wanita itu gugup hinggap bicara pun tergagap. Wira tersenyum samar ketika melihat raut wajah istri. "Mau masuk," jawabnya sambil menjauhkan tangan Mita dari gagang pintu dan memutarnya. Ia melayangkan tatapan mengejek pada sang istri. "Memangnya kamu pikir aku mau ngapain?" Menarik sebelah sudut bibir kemudian melewati istri begitu saja. Mita masih membeku dengan dadda berdegup kencang. Kelopak matanya berkedip cepet beberapa kali tetapi seketika membulat saat menyadari bahwa suami kini sudah berada di dalam kamar. Gegas menyusul dan mendapati pria itu sedang melihat-lihat kamar. "Tuh 'kan ... gak ada apa-apa. Kamu mah curigaan aja sama aku," ujar Mita tetapi matanya kemudian membulat saat melihat sesuatu yang tergeletak di atas lantai dekat kursi sofa, tepat di samping kaki suami. "Terus kenapa kamu keukeuh gak bolehin aku nempatin kamar ini?" sahut Wira, bertanya sambil melangkah menuju jendela kamar dan membukanya. Kesempatan itu Mita gunakan untuk menyembunyikan barang. Dengan kaki ia memasukkan sebuah kain berwarna merah menyala ke kolong kursi. Terakhir kali ia datang ke rumah itu adalah beberapa hari yang lalu. Pulang dari klinik Mita begitu lelah. Ia terpaksa harus lembur karena ada wanita yang akan melahirkan dan ingin dibantu olehnya. Karena terlalu sudah sangat ingin istirahat, ia sampai salah masuk kamar. Bukannya masuk ke kamar utama tetapi ia justru masuk ke kamar yang dulu ditempati oleh Annisa. Pagi harinya, Mita baru menyadari bahwa ia tidak berada di kamarnya lalu teringat bahwa ada salah satu rekan kerja yang memberi sebuah kado dengan alasan itu adalah hari terakhir ia bekerja sebelum cuti menikah. Ia mengambil kado itu dari dalam tas. "Aku 'kan nikah masih beberapa hari lagi tapi dia udah ngasih kado dari sekarang." Mita duduk seraya membuka-balik benda di tangan. Mengguncangnya beberapa kali tetapi tidak mendengar suara apa pun. "Ini isinya apa, ya? Aku penasaran banget deh. Tapi katanya aku gak boleh buka sekarang. Harus buka nanti habis nikah." Wanita itu bergumam sambil menatap kado yang masih ia pegangi. "Aku buka aja kali, ya?! 'Kan ini kadonya udah dikasih ke aku, buat aku, berarti punya aku dan terserah aku dong mau diapain." Mita mencari pembenaran. Karena sudah sangat penasaran, Mita membuka kado tersebut. "Apaan nih? Merah-merah kayak cabe rawit mateng." Mita mengambil kain berwarna merah mengala itu dan membeberkannya di depan wajah, mulutnya menganga. "Stres emang itu anak. Kasih aku hadiah baju kurang bahan gini." Karena mendengar bunyi bel rumah, Mita bangkit berdiri dari posisi duduknya. Menyambar tas dan menyampirkan baju hadiah itu ke sandaran sofa seraya berkata, "Baju dinas istri katanya, gak akan kepake tuh sama aku!" Mita tahu baju itu jatuh di atas lantai tetapi karena suara bel rumah yang terus berbunyi, ia pun abai. "Pasti mama deh. Gak ada lagi orang lain yang suka bar-bar mencet bel," gerutunya sambil berlari kecil untuk membukakan pintu bagi tamu yang ia yakini adalah sang ibu. Karena itu Mita melarang Wira masuk ke kamar tersebut. Ia belum sempat mengambil baju merah yang masih tergeletak di lantai dekat sofa. Tantu saja ia tidak ingin jika Wira sampai melihatnya. Pria itu pasti menuduhnya sengaja dan belum tentu percaya bila ia mengatakan bahwa itu hanyalah hadiah dari teman. "Kamu lagi ngapain?" tanya Wira yang memergoki istri sedang menggerakkan kaki di dekat bagian bawah kursi. "Eng–enggak! Ini ... aku lagi mastiin kalau sofanya masih bagus soalnya 'kan udah lama gak dipakai. Kamar ini cuma dibersihkan aja tiap dua hari sekali," jawab Mita, berkilah. Kembali berdiri dengan benar agar suami tidak curiga. Wira berjalan mendekati dan berdiri di depan istri, menatap tajam. "Apa yang kamu sembunyikan?" tanyanya lalu menunduk sekilas, memandang ke arah kaki istri. "Gak ada." Mita menggelengkan kepala dengan segera. "Ada. Tadi kamu bilang kamar ini jarang dibersihin. Sekarang kamu bilang kamar ini suka dibersihin dua hari sekali. Kenapa kamu ngomongnya bisa berubah-ubah gitu? Dalam waktu yang berdekatan pula." Mita menelan ludah dengan kasar. Pria itu memang selalu bisa membaca segala gerak-geriknya hingga sulit baginya menyembunyikan sesuatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD