Part 26 - Mencari Jalan

1080 Words
Yanti dalam kontrol emosi lepas. Kemarahannya memuncak tanpa tersadar. Dirinya harus menjalani suatu kondisi yang sangat di luar nalar. Yanti berjalan menyusuri jalan setap, agar dirinya bisa segera bertemu dengan wanita yang telah membuat hatinya berkobar. Baru setengah perjalanan, Yanti tiba-tiba merasakan perutnya kram. Yanti terduduk kaku. Dia memegang perutnya yang dirasa cukup memberikan efek sakit yang luar biasa. Hingga Yanti tak kuasa untuk berdiri dan melanjutkan misinya. “Bu Yanti kenapa?” Seorang tetangga laki-laki yang lewat tanpa sengaja melihat Yanti yang terduduk dengan mengeluh kesakita. Seketika laki-laki itu menghentikan langkahnya dan mencoba untuk menanyakan kondisi Yanti. “Tolong bawa saya pulang.” Yanti meminta agar laki-laki itu membantunya untuk kembali pulang. Laki-laki yang hanya seorang diri it pun segera mencari bala bantuan. Dia tak mungkin mengantarkan Yanti sendiri saja. Kata tolong menjadi sebuah penanda bahwa laki-laki itu sedang butuh bantuan. Sehingga tak lama datanglah dua orang yang turut serta untuk membantu Yanti pulang ke rumah. *** “Tristan, kenapa engkau menjebakku?” “Apa maksudmu?” “Bukankah engkau yang menghamili Indah?” Suara Wafi dengan lantang. Mencoba untuk menanyakan sebuah kenyataan. Tristan yang awalnya pura-pura tak mengerti dengan apa yang dibicarakan Wafi. Tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui nama Indah disebut. “Wafi, Wafi. Lalu kenapa jika itu aku yang melakukannya.” “Dan kamu menjebakku, Tan. Aku harus bertanggung jawab dengan apa yang tidak aku lakukan.” “Sudahlah, semua itu sudah terjadi, apa dia menuntut tanggung jawabmu?” “Ya, dan sekarang aku gak punya tempat tinggal lagi, aku gak bisa sekolah dan semua sudah terasa hitam hanya gara-gara ulahmu, Tan.” Tristan kembali tertawa dengan begitu keras. Dia menatap wajah Wafi yang sangat menggemaskan baginya. Tristan yang sangat berkuasa tentang harta, seolah bisa membeli atau melakukan apa pun dengan uangnya. “Ambil uang ini, dan jangan kamu temui aku lagi!” pinta Tristan. Wafi pun merasa sangat marah dengan perlakuan Tristan padanya. Padahal keduanya adalah sahabat baik sebelumnya. Namun, satu masalah membuat mereka harus mengakhiri sebuah ikatan. “Kecewa aku sama kamu Tan.” Wafi segera melangkah pergi. Namun dia yang kesulitan uang pun sengaja mengambil beberapa lembar uang yang diberikan kepadanya. Setelah itu Wafi merasa bahwa jalannya yang akan ditempuh semakin panjang. Dia harus berdiri sendiri dengan kakinya. Meninggalkan keluarga adalah keputusan akhir yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Wafi melangkah menuju terminal kota, arah dan tujuan memang belum ditentukan. Dia hanya melihat berjejer kendaraan umum di depan matanya. Wafi dalam kebingungan akan langkah kaki yang akan mengajaknya ke mana. Berbekal uang lima juta yang diberikan Tristan, dia pun bertekad untuk meninggalkan tempat kelahirannya itu. Hanya saja, tiba-tiba wajah Yanti berkelibat, membuat pikirannya pun terasa tak bebas untuk melangkah. Entah mengapa, dia sulit untuk menepis wajah ibunya yang terus saja mengiringi setiap napas yang diembuskannya. Kebimbangan bergejolak dalam hati Wafi. Dia berdiri cukup lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk segera pergi dari tempat yang penuh dengan kenangan itu. *** Yanti yang kondisinya sudah lumayan membaik. Dia yang kini baru saja terbangun dari tidurnya. Yanti merasa perutnya sangatlah lapar. Tak ada nasi untuk dimasak. Hanya ada mi instan saja untuk dipergunakannya mengganjal perutnya yang terus saja berdendang. Setelah selesai dengan rasa lapar itu. Yanti segera menuju ke kamar sang anak. Dia melihat Wafa dalam kondisi tak jauh beda dengan sebelum-sebelumnya. Wafa hanya terdiam murung, dan saat melihat Yanti masuk ke kamar, Wafa dengan cepat-cepat segera menutup matanya dan dia akan berusaha untuk tidur. Pemandangan itu membuat hati Yanti begitu sangat miris, dia sama sekali tak menyukai hal itu. Anaknya seperti terkekang dalam pernjara. Hanya saja, Yanti kehabisan akal untuk membuat Wafa bisa tersenyum dan berkomunikasi seperti sedia kala. Yanti teringat dengan pesan Fadli yang baru beberapa jam terngiang di telinganya. Yanti yang melihat Wafa sudah tertidur pulang dengan cepat. Dia kemudian mencari foto yang kemarin sempat dilihatnya. Yanti tak mau hanya pasrah dengan keadaan yang begitu membuat hati terasa ingin menjerit keras. Dia segera mengambil foto itu dan membawanya keluar. Yanti memutuskan untuk segera ke sekolah. Dia harus mencari sosok wanita yang ada di dalam foto. Melangkah dengan sejuta harapan tergenggam erat di dadanya. Sekolah sang anak yang jaraknya cukup menguras tenaganya. Yanti yang kini hamil besar, seakan membuat lelah tubuhnya begitu cepat. Hanya saja, Yanti bertekad kuat untuk mendapatkan informasi terkait gadis yang kini sedang dicarinya itu. Melewati gerbang sekolah, seorang penjaga menghentikan langkah Yanti. Niatnya pun tertahan sementara. Dia harus menjelaskan panjang lebar terkait kedatangannya ke sekolah. Penjaga itu pun meminta Yanti untuk menemui wali kelas Wafa. Setelah dipikir-pikir, Yanti setuju dengan apa yang dikatakan oleh penjaga sekolah itu. Mungkin dengan datang ke wali kelas Wafa, setidaknya akan ada bantuan yang bisa diharapkan. Yanti pun meminta penjaga sekolah untuk melancarkan langkahnya. Ruang guru kini telah berada di depan matanya. Yanti pun segera menemui wali kelas Wafa dengan bantuan dari penjaga sekolah. “Selamat pagi, bu. Ada yang bisa kami bantu?” “Saya ibunya Wafa, apa bisa saya bertemu dengan wali kelasnya?” “Bisa bu, saya kebetulan adalah wali kelas Wafa, mari bu silakan duduk.” Dengan berhias senyum, Yanti segera duduk dan ingin segera menceritakan apa yang sekarang terjadi pada anak yang dicintainya itu. “Wafa sekarang tidak mau keluar kamar, dia tidak mau sekolah dan bicara pun dia tak bisa, bu.” “Sebelumnya mohon maaf, saya hari ini berencana untuk ke rumah ibu, menanyakan terkait kondisi Wafa dan juga ketidak hadirannya di sekolah yang sudah lebih dari tiga kali.” “Tolong saya, bu. Saya mau anak saya bisa menjalani hari-hari seperti biasanya.” “Tentu kami akan berusaha untuk itu, bu.” “Saya menemukan foto ini, siapa tahu foto itu bisa menjadikan penyemangat bagi kesembuhan Wafa.” Yanti memberikan selembar foto kecil itu pada wali kelas Wfa. Berjuta harapan kini digantungkan pada seseorang yang pastinya memiliki andil dalam kehidupan sang anak disekolah. Guru itu pun segera meraih foto itu, dia memangdang dengan lamat. Sepertinya kedua pandangannya memastikan terkait wajah di dalam selembar foto. “Saya tahu siapa wanita ini, bu.” “Apa dia sekolah di sini?” “Iya, bu. Namanya Adisti.” “Tolong bantu saya untuk bertemu Adisti, saya ingin anak saya bisa punya semangat lagi menjalani hari-harinya, saya yakin jika wanita itu bisa membantu kesembuhan Wafa.” “Saya mengerti apa yang ibu maksud, hanya saja kami sulit untuk mewujudkannya sekarang.” “Kenapa sulit?” Yanti dalam pertanyaan besar. Dia merasa butuh jawaban secepatnya. Hanya saja wali kelas Wafa tak cepat merespon pertanyaannya. Mereka berdua hanya saling memandang satu sama lain.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD