Part 25 - Terpuruk

1302 Words
Yanti masih saja tak menjawab pertanyaan dari suaminya. Hanya saja dia memberikan sebuah isyarat lewat kedua matanya yang basah, penuh air mata. Pilu terasa di hati Yanti. Hal itu membuat Fadli seakan tak bisa hanya memandang istrinya saja. Fadli terus berusaha mendapatkan sebuah jawaban dari Yanti. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua anaknya, yang kini sangat jauh dari jangkauannya itu. “Yan, tolong bicaralah padaku, apa yang sebenarnya terjadi?” Yanti mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Kemudian dia mencoba menenangkan dirinya dengan menghela napas panjang. “Wafi pergi dari rumah, Mas.” “Pergi? Maksudnya?” “Dia menulis pesan jika dia pergi dan tak mau dicari.” Satu kabar itu membuat pikiran Fadli tak bisa tenang. Justru Fadli mencemaskan keadaan Yanti yang kini mengandung calon anaknya. “Lalu bagaimana dengan Wafa?” “Dia masih tetap menyendiri di kamar, tak mau bicara sama sekali.” Fadli terdiam sejenak dengan apa yang didengarnya. Dua hal yang kini membuatnya semakin tak tega melihat Yanti. Pastinya sang istri akan terus diforsir pikirannya, untuk membagi antara Wafa dan Wafi. “Yan, aku kemarin melihat selembar foto kecil yang disimpat Wafa di bukunya.” “Foto? Foto apa?” “Foto seorang wanita, dia cantik. Dan kalau aku perhatikan sepertinya wanita itu teman sekolah Wafa.” “Ya sudah, memangnya kenapa dengan foto itu?” “Sepertinya Wafa menaruh hati pada wanita itu.” “Sebentar, kayaknya aku tahu foto yang kamu maksud, Mas.” “Yan, mungkin kita bisa minta bantuan wanita itu, untuk mengembalikan semangat Wafa seperti dulu lagi.” “Bagaimana caranya, Mas?” “Datang ke sekolah Wafa. Itu pun jika engkau tidak keberatan Yan, aku memahami kondisimu yang sedang hamil seperti ini.” “Entahlah mas, aku sendiri bingung, kapan kamu bisa bebas dari tempat ini?” “Sabar saja dulu, aku yakin pasti akan segera bebas.” “Sebenarnya apa yang kamu lakukan, Mas. Sampai kamu harus mencicipi penjara seperti ini.” “Hanya sebuah kesalahpahaman saja, Yan. Aku akan menyelesaikannya dengan baik. Kamu bantu doa ya.” “Bagaimana caranya aku bisa makan?” “Yan, juallah barang berharga yang bisa dijual ya, nanti jika aku sudah keluar dari sini, aku akan berusaha keras untuk menggantinya.” Pembicaraan yang masih berlangsung itu harus terpaksa diakhiri. Ketika petugas mengatakan bahwa waktu kunjungan telah selesai. Yanti harus menerima sebuah peraturan. Dia harus merelakan sang suami masuk lagi ke dalam sel. Kini Yanti dalam keterombang-ambingan rasa. Dadanya seakan sesak oleh banyak sekali bebang yang dipikirkannya. Kondisi Wafa yang butuh perhatiannya, lalu Wafi yang kini pergi dari rumah, belum lagi jika nanti ada tuntutan dari keluarga Indah. Ditambah lagi sang suami yang harus menjalani proses penyelidikan terkait dugaan penggunaan uang sekolah. Yanti seperti ingin menjerit dengan keras. Beban yang dipikulnya teramat sangat berat. Dia ingin sekali menyerah. Tapi Yanti pun tak tahu harus bagaimana mengakhiri sebuah penderitaan yang terus saja mengiringi setiap langkahnya. Hari-hari Yanti kini seakan suram. Tak ada cahaya yang menerangi dengan terangnya. Sebenarnya bukan kehidupan yang jatuh sepertri itu yang diinginkannya. Yanti yang sangat mendamba hidup serba berkecukupan, apa pun yang diinginkan bisa terpenuhi dengan mudah. Sayangnya, Yanti sekarang dalam keterpurukan yang dalam. ***  Sepulang dari kantor polisi. Yanti merasa oerutnya sangat lapar. Seharian dia belum makan apa pun. Yanti berpikir untuk bisa mendaoatkan uang. Matanya melirik ke arah perhiasan satu-satunya yang dia miliki. Yanti tak berlama lagi. Dia memutuskan untuk menjual perhiasan itu. Tak ada pilihan lain yang bisa dipilihnya. Yanti yang baru saja mendapatkan beberapa lembar uang berwarna merah. Dia ingin segera beli makanan. Dia memesan dua makanan sekaligus. Dibungkus untuk dibawa pulang. Yanti ingin makan bersama sang putra tercinta. Yanti berjalan menyusuri aspal. Di tengah terik matahari siang yang memanggang kulitnya. Suasana jalanan begitu sepi saat dia melewati sebuah makam. Peluh menghiasi tubuh Yanti. Dia sudah cukup jauh berjalan. Yanti memutuskan untuk beristirahat sejenak di bangku panjang di pinggir makam. Tak lama, dia melihat dua orang berpakaian hitam yang sedang berjalan menghampirinya. Yanti merasakan sesuatu yang janggal. Perasaan Yanti tak tenang. Dia segera memasukkan dompet kecilnya di kresek makanan. Dia melihat kedua orang itu dengan wajah yang garang dan menakutkan. Yanti segera berdiri, dia tak mau jika kedua laki-laki itu akan berlaku jahat kepadanya. Yanti melangkah dengan begitu cepat, suana sepi membuatnya semakin diselimuti kekhawatiran yang dalam. Dan ternyata sebuah jawaban atas pertanyaan dalam hati pun terjawab. dua laki-laki itu mengincar uang yang dimasukkan ke dalam plastik makanan itu. “Mau apa kalian?” “Serahkan uangmu!” “Aku tidak punya uang.” “Jangan bohong, aku melihatmu dari toko emas, kamu jual emasmu kan, cepat berikan uangmu sekarang!” “Aku tidak punya uang.” Yanti berusaha untuk menerobos dua orang yang kini menghalangi langkahnya. Hanya saja Yanti tak cukup kuat untuk menghadapi dua orang yang bertubuh kekar itu. Yanti yang berteriak keras untuk meminta bantuan. Hanya saja, dua orang itu lebih lihai dari dirinya. Mereka berdua telah mendapatkan apa yang diinginkan. Yanti menjerit dengan keras, saat uangnya dirampas. Betapa riuh hatinya. Satu nasi bungkusnya itu telah tumpah di tanah dan tak bisa dimakan lagi. hanya tinggal satu nasi bungkus yang dibawanya. Yanti berhias tangis, uang hasil penjualan perhiasan tak lagi bisa digenggamnya. Tak ada satu pun orang yang bisa menolongnya. Sepi menjadikan kesempatan emas bagi penjahat. Yanti akhirnya harus menahan rasa sakitnya sendiri, dia kembali pulang dengan tangan hampa. Hanya sebungkus nasi yang akan dimakan bersama dengan Wafa. *** Yanti mencoba membujuk Wafa untuk makan, sayangnya sama sekali dirinya tak mendapat respon dari anaknya itu. Yanti merasa kesal karena Wafa sama sekali tak peduli dengannya. Dia tak mau makan dan juga tak mau bicara. Yanti yang tak bisa menahan rasa laparnya. Dia segera melahap semua makanan hingga tak tersisa sama sekali. Setelah itu, dia kembali merasakan sebuah kesedihan yang dalam. Yanti harus memutar otak lagi untuk makan esok hari. Dia keluar dari kamar Wafa. Yanti seolah mencari barang berharga yang bisa untuk dijualnya. Yanti pun melihat televisi yang ada di ruang tengah. Tak berpikir lama lagi, dia berencana untuk menjualnya. Yanti melangkah dengan cepat ke warung bu Rini. Dia hendak menawarkan televisinya. Berharap jika bu Rini mau membeli televisi miliknya yang hanya satu-satunya itu. “Bu Rini, maaf saya butuh bantuan bu Rini.” “Ada pa bu Yanti.” “Bu, saya butuh uang untuk makan, saya mau jual televisi saya, apa ibu berniat untuk beli.” Yanti mencoba mengiba pada bu Rini sang pemilik warung. Belum bu Rini menjawab perkataan Yanti. Tiba-tiba saja, Bu Lastri yang baru datang dan mendengar apa yang dikatakan Yanti, seolah tertawa terbahak-bahak dengan apa yang didengar oleh kedua telinganya itu. “Bu Yanti mau jual televisi untuk makan? Kasihan sekali, pasti karena suaminya dipenjara dan anaknya mengamili wanita di luar nikah ya, sekarang itu karma memang langsung terlihat di dunia bu,” ejek bu Lastri. “Maksud bu Lastri apa ngomong begitu?” tukas Yanti. “Makanya bu, jadi orang itu apa adanya saja, tidak usah bergaya mewah, padahal uang saja tak punya.” Yanti semakin geram dengan apa yang didengarnya itu. pertikaian pun tak dapat dihindarkan. Mereka berdua adu mulut dan saling menyakiti satu sama lain. Hingga bu Lastri lepas kontrol dan memukul Yanti dengan sapu yang ada di dekatnya. Yanti tak terima dengan perlakuan bu Lastri. Pemilik warung segera mencari bantuan untuk memisahkan sebuah pertikaian yang semakin memanas itu.Beberapa bapak-bapak yang sedang lewat pun segera melerai Yanti dan juga bu Lastri. Betapa sakit hati Yanti. Dia terus saja mendapat ejekan dari tetangga yang tak suka dengannya. Kini Yanti yang masih berselimutkan emosi itu, seolah tak ingin diam. Dia yang sudah berada di rumahnya, dia masih saja ingin menghampiri bu Lastri. Kali ini Yanti berteman dengan benda tajam di tangannya. Dia tak peduli lagi dengan kata tetangga. Yanti melangkah menuju ke rumah bu Lastri. Dia menyembunyikan benda tajam itu dibalik tubuhnya.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD