Part 3 - Dikepung Masa

1069 Words
Dokter kandungan itu segera memeriksa kondisi Riyanti. Merintih kesakitan karena benturan benda pada perutnya. Riyanti merasa tak tahan. Namun obat yang diberikan dokter dapat membuatnya seketika merasa lebih baik. Pak Fadli yang khawatir dengan kondisi istrinya pun berharap dengan sangat. Menengadahkan doa di setiap embus napasnya.  “Bu Riyanti tidak apa-apa. Bayinya pun selamat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak.” Seketika itu pak Fadli seperti disiram embun di pagi hari. Semua terasa sangat meneduhkan. Rasa syukur pun terpanjatkan dengan keindahan kata yang diungkapkannya. Kedua orang yang dicintanya dalam kondisi baik-baik saja. Namun itu tidak berlaku bagi Riyanti. Saat mendengar tak ada sesuatu dengan bayinya. Seketika sebuah isak itu menumpahkan air matanya. menyisakan sedu yang terus menggebu. Riyanti yang ingin mengakhiri hidupnya ternyata masih harus berada di dunia yang membuatnya merasa ingin cepat mati. kekurangan ekonomi, banyak hutang yang belum dibayar lunas. Apalagi kali ini dia akan punya anak. Betapa riuh hati Riyanti. Pulang ke rumah dengan terus menggerutu sepanjang jalan saat dirinya dibonceng oleh sang suami. Pak Fadli berusaha sekuat tenaga untuk tetap menenangkan istrinya. Namun Riyanti tetap saja tak menginginkan kehadiran sang bayi. Pak Fadli terpaksa mengentikan sepeda motonya. Dilihatnya sekerumunan masa yang tengah mengadili seseorang hingga hingar bingar itu terdengar keras olehnya. Pak Fadli pun merasa tergerak hatinya, merasa kasihan dengan pelaku yang dihakimi sebelah pihak itu. “Bu, tunggu di sini sebentar,ya.” “Untuk apa sih, Pak. Lebih baik kita pulang saja sekarang.” “Kasihan Bu yang dikeroyok itu, ibu tunggu sebentar, ya.” Pak Fadli segera menuju kerumunan masa yang sedang beraksi. Dengan tegas pak Fadli meminta untuk tidak melanjutkan aksi yang tidak sesuai dengan hukum itu. Pak Fadli dengan gigih mencoba menyadarkan masa tentang pentingnya suatu hukukm yang berjalan. Tiba-tiba saja tatapan mata pak Fadli tertancap pada sosok laki-laki yang membuatnya terasa ingin mencopot wajahnya sendiri. “Jelas saja Bapaknya membela, gak usah ceramah tentang hukum, pak. Ajari saja anakmu ini!” Tubuh pak Fadli terasa bergetar hebat. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Ingin rasanya berlari. Namun tak sanggup dilakukannya. Matanya seketika berubah berkaca-kaca. Melihat pemuda yang tergeletak dengan lumuran darah yang menghiasi wajahnya. “Sudah, biarkan saja bapaknya yang mengurusi.” “Jadi guru jangan hanya murid yang dibimbing, tapi anak sendiri juga harus diajari tentang perilaku yang baik.” “Bapaknya guru tapi anaknya maling.” Celoteh masyarakat itu membuat pak Fadli terasa ingin membuang wajahnya seketika. Pemuda yang lemah tak berdaya karena dikeroyok masa itu adalah anaknya sendiri. Pak Fadli berbalik badan. Wafa yang merintih kesakitan itu hanya bisa tergeletak tak berdaya. Pak Fadli melangkah pergi. Dia tidak menolong anaknya, membiarkan Wafa tetap berada di pinggir jalan. Riyanti, sang istri yang menatap dari kejauhan itu pun seolah tak asing dengan pakaian yang dikenakan pemuda itu. “Siapa dia pak?” Pak Fadli masih mengunci mulutnya. Kristal bening tak disangka menghiasi pipinya. Dengan cepat pak Fadli segera mengusapnya. Dia tak mau bila istrinya mengetahui kesedihan hatinya yang cukup menyakitkan. “Ayo kita pulang, Bu.” Pak Fadli membelokkan sepeda motornya. Dia ingin mengambil jalan lain. Tak mau melewati anaknya sendiri yang tengah mempermalukan dirinya. Riyanti yang melihat sikap aneh dari suaminya pun seolah bertanya-tanya. “Sebentar, Pak. Ibu lihat pemuda itu dulu.” “Tidak usah! Ayo pulang!” Pak Fadli melarang istrinya dengan nada tinggi seperti guntur yang menggelegar dengan begitu kerasnya. Riyanti tak berani berkutik. Dirinya pun segera naik dan pak Fadli segera mengendarai kendaraan motornya. Wafa yang melihat sang ibu dari jauh, memanggil-manggil ibunya dengan sisa tenaga yang dipunya. Namun pak Fadli dengan cepat membawa sang ibu tak terlihat lagi dari pandang matanya. Wafa kehausan hingga tak kuat menahan panasnya mentari yang memanggang kulit. Wafa pun tak sadarkan diri. *** Di sepanjang jalan menuju rumahnya. Pikiran pak Fadli terbang memikirkan nasib Wafa. Ada hal yang membuatnya tak tega dengan apa yang baru saja dilakukannya pada darah dagingnya itu. namun Wafa seakan telah mencoreng nama baiknya sebagai guru yang dikenal banyak orang. Pak Fadli segera menyeka air matanya agar tak keluar lagi membasahi wajahnya. Bahkan pak Fadli sesekali mendongakkan kepalanya untuk menahan air matanya. Hatinya sangat hancur. Dirinya terasa berat membawa kepalnya. Sesampainya di rumah. Pak Fadli lebih banyak diam. menuju halaman belakang dan bejibaku dengan ayam-ayamnya. Pak Fadli memberikan makan dan seolah ingin mengalihkan pikiran tentang Wafa dengan hewan-hewan yang sudah lama diternaknya itu. Sedangkan Riyanti membuyarkan angan. Merebahkan tubuhnya segera, dirinya ingin beristirahat dengan tenang. Tak mau mengingat tentang kehamilannya. Namun tak lama dua orang datang menggedor pintu rumahnya. Riyanti merasa terkejut dan seketika kembali membuka matanya. Pak Fadli yang juga mendengar suara dari balik pintu rumahnya, segera beranjak untuk membukakan pintu. pandangannya kembali nanar, menatap dua orang yang sama, yang pernah datang ke rumahnya, mencari istrinya yang dikatakan sedang memiliki hutang. “Ada apa, Pak?” “Tak usah banyak bicara kamu, cepat bayar hutang istrimu sekarang juga, atau rumah ini akan kami robohkan.” “Sabar, pak. Kami pasti akan membayarnya.” “Kesabaran kami sudah habis.” Rentenir itu menatap kediaman rumah Fadli. Namun salah satunya mengarah pada kendaraan roda dua milik Fadli yang terparkir di teras rumah. Fadli yang tak kunjung membayar hutang istrinya saat itu juga. Membuat rentenir segera mengamil sepeda motornya. Fadli mencoba untuk menahan. Namun sudah tak ada lagi kesempatan baginya. Riyanti yang mengintip dari balik pintu kamarnya pun merasa sangat miris. Kendaraan itu adalah satu-satunya yang dimiliki. Setelah ini tak ada lagi kendaraan yang bisa mengantarkannya ke mana-mana. Pak Fadli hanya terdiam, setelah rentenir itu pergi. Pandangan matanya kembali tertuju pada dua pemuda yang tak lain adalah anak-anaknya. Wafi dan Wafa baru saja memasuki pagar rumahnya. Pak Fadli beraloh menuju kursi ruang tamunya. Menunggu kedua anaknya untuk masuk ke dalam rumah , dan tak sabar ingin segera menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi pada Wafa. “Duduk kalian di situ!” Pak Fadli menunjuk kursi yang masih kosong. Sedangkan Riyanti yang masih melihat dari kejauhan itu segera keluar dari persembunyiannya. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada anaknya. “Kenapa harus jadi maling?” Suara pak Fadli meninggi. Sedangkan Riyanti segera mengambil air untuk mengompres luka yang ada di wajah Wafa. Wafa dan Wafi hanya bisa duduk diam sembari mendengarkan pak Fadli dengan kemarahannya. “Siapa yang ngajarkan kamu jadi maling, Wafa?” “Aku bukan maling, tapi aku adalah korban, aku difitnah.” Wafa menatap Wafi dengan sangat serius. Sebelum akhirnya pembicaraan itu dilanjutkan. Wafa merasa kebenaran harus diungkapkannya. Dia tak peduli ancaman yang menakutkan baginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD