Pak Fadli merasa hatinya bak tersayat sembilu. Apa yang terjadi seolah telah menampar pipinya dengan sangat keras. Fadli terus saja menatap kedua anak kembarnya itu dengan sangat serius. Tak ada sedikit canda yang menyelami pembicaraan mereka.
Tiba-tiba saja Fadli harus meghentikan pembicaraan yang serius itu. Saat beberapa anak datang ke rumahnya untuk diberi les tambahan. Fadli merasa tak bisa berpikir dengan baik. Namun, dia harus tetap profesional untuk memberikan sebuah pembelajaran bagi anak didiknya.
“Tunggu bapak, jangan masuk ke kamar dulu. Bapak hanya sebentar.”
Fadli meminta Wafa dan Wafi untuk tetap berada di tempat. Duduk berdua dengan embusan napas yang penuh dengan kegelisahan. Sedangkan Fadli beranjak sejenak, dia menemui muridnya untuk diberikan tugas terlebih dahulu.
“Kamu sih, Fi. Kita bakal habis sama bapak.”
“Kamu diam, Fa. Awas kamu kalau bilang yang sesungguhnya.”
“Aku akan jujur, aku takut bapak akan semakin marah.”
“Kalau kamu berani jujur, itu sama artinya kamu cari mati.”
“Tapi ini sesuatu yang salah, Fi.”
“Sudahlah, kita tinggal minta maaf saja, kamu nanti diam. Biar aku yang bicara.”
“Tidak, aku ...”
“Wafa, kalau kamu tidak mengikuti kemauanku, aku pastikan kamu habis dengan Tristan.”
Wafa yang mendengar ancaman dari saudara kembaranya itu. Seketika dia menekuk wajahnya dalam. Ada sebuah rasa bersalah yang tak bisa diungkapkannya dengan mudah. Seolah kini mulutnya telah terbungkam dengan ancaman.
Fadli, sang bapak. Terlihat menghampiri kedua anaknya lagi. Mengambil posisi duduk berhadapan. Hanya ada meja yang menjadi jarak antara mereka. Fadli menatap kedua anaknya itu tanpa lepas. Dia tak mau membuang waktu lagi. Seribu rasa penasaran yang berkecamuk dalam otaknya, seolah sudah ingin dia keluarkan.
“Bapak hanya ingin tahu, kenapa Wafa mencuri?”
“Bukan hanya Wafa pak, tapi Wafi juga. Hanya saja dia tidak ketahuan warga.”
Seketika Wafa tak mau dipojokkan. Dia tak mau disalahkan sepihak. Apalagi Wafa menganggap bila itu semua adalah ide dari Wafi, sang kakak.
Sedangkan, Wafi yang mendengarkan sebuah pernyataan dari adiknya itu pun merasa geram. Dia tak menyangka bila Wafa berani berkata hal tersebut kepada bapaknya.
“Wafi, apa benar yang dikatakan Wafa?”
Suara Fadli terdengar begitu sangat lembut dan bersahaja. Dia sama sekali tak mengeluarkan nada tinggi apalagi kemarahan. Fadli terlihat begitu tenang dalam menyelesaikan sebuah masalah. Dia tak terbawa emosi, meskipun sebenarnya jika hatinya terlihat kasat mata, maka remuk redam dan tak terbentuk sudah pasti akan menghiasi pandangan.
“Iya, aku dan Wafa memang mencuri, tapi asal bapak tahu, ini semua kami lakukan karena bapak tak bisa membayar uang sekolah kami, selain itu bapak juga tak bisa memberikan fasilitas yang baik untuk kami belajar.”
Suasana nampak hening seketika. Fadli tersenyum dengan berusaha tetap melapangkan dadanya. Dia sama sekali tak memiliki rasa marah sedikit pun pada kedua anaknya. Justru sebaliknya, Fadli tersenyum lebar pada dua laki-laki yang sangat disayanginya itu.
“Iya, memang semuanya ini salah bapak, nak. Bapak belum bisa memberikan apa yang seharunya kalian nikmati.”
“Sebenarnya kami juga ingin pak, bisa belajar rajin, dapat nilai bagus. Tapi sepertinya tak ada fasilitas yang mendukung untuk itu, buku tulis saja kadang habis, uang bulanan selalu telat, apalagi uang saku, kami tak pernah merasakan itu saat SMA ini.”
Wafi semakin mengutarakan isi hatinya dengan nada begitu nyaring. Hal itu tak sama dengan yang dilakukan Wafa, dia hanya menatap wajah bapaknya dengan diam tanpa bersuara. Dia terus membiarkan Wafi untuk berceloteh tanpa batas.
Tak lama, Riyanti yang baru saja membuka pintu kamarnya itu pun mendengar sedikit pembicaraan yang sedang berlangsung di ruang keluarga. Dia pun seolah tak bisa diam dan hanya menangkap sebuah permasalahan yang sedang terjadi.
Riyanti ikut andil segera. Dia yang juga sedang merasa hancur hatinya. Seolah ingin membuat pasukan untuk bisa membuat suaminya agar bisa berpikir dengan logis akan kebutuhan rumah tangga.
“Makanya, pak. Kalau ada anak les itu ditarif. Jangan digratiskan, sekarang kamu tahu anakmu yang menjadi korban semuanya!”
Suara Riyanti melengking tanpa batas. Fadli sama sekali tak memotong ucapan dari sang istri. Dia seolah membiarkan Riyanti untuk mengeluarkan sampah dari dalam benaknya. Fadli hanya fokus mendengarkan, dan seolah dia akan mengumpulkan sebuah kekuatan, dari kepingan rasa bersalah yang membentang luas dalam sanubarinya.
“Wafi ingi pergi ke sekolah seperti teman-teman, punya motor bagus, gak capek naik sepeda terus. Jika haus Wafi hanya menelan ludah, pak, karena Wafi tak bisa membeli minuman dingin, belum lagi setiap tugas yang butuh biaya, Wafi selalu saja nimbrung teman, dan tak pernah bisa bayar.”
Wafi tak kuat menahan emosinya. Dia segera berdiri dari tempat duduknya. Dia sepertinya akan meninggalkan tempat itu. Tapi dengan cepat, Fadli mencegahnya.
“Yanti, Wafa dan Wafi, Bapak tahu jika semua ini adalah salah bapak yang tak bisa memberikan kehidupan yang baik untuk kalian. Tapi ingatlah, nak. Apa pun yang terjadi bukan jalan buruk yang harus kita tempuh. Semua pasti ada jalan jika mau sabar dan terus berbuat baik.”
“Mas, hari gini masih ngomong begitu, semua itu butuh uang, bukan hanya sabar dan berbuat baik saja.”
Suara Riyanti kembali bergemuruh. Fadli yang mendengarnya terasa ingin menyumpal mulut wanita yang kini sedang mengandung anaknya itu. Fadli cukup sadar, bahwa kemarahan tak akan menyelesaikan masalah.
Wafi pun seolah tak betah untuk tetap berada di tempat yang sama. Wafi tak menghiraukan lagi apa yang akan terjadi. Dia berlalu meninggalkan kedua orang tuanya yang sepertinya sedang berselisih pendapat.
Wafa pun merasa tak nyaman, dia mengikuti langkah kakaknya untuk menghindari sesuatu yang tak diinginkannya. Wafi melangkah dengan menundukkan kepalanya. Sedangkan Fadli kini menatap wajah istrinya yang terlihat masam.
“Bersikaplah yang baik di depan anak-anak, kita harus bisa memberikan teladan yang patuh ditiru oleh mereka.”
“Sudahlah, Mas. Aku lelah dengan pola pikirmu yang selalu saja ingin menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, tanpa memikirkan nasib keluargamu sendiri.”
Riyanti pun sama dengan apa yang dilakukan kedua anaknya. Dia terlihat masuk kamar dan membanting pintu. Riyanti tiba-tiba saja merasa kepalanya berputar-putar. Dia segera merebahkan badannya di atas tempat tidur.
Fadli akan tetap mengencangkan bahunya. Dia tak akan menyerah dengan kondisi keuangan yang pas-pasan. Bahkan bisa dianggap kurang untuk saat ini, biaya sekolah anak laki-lakinya yang semakin banyak, karena jenjang pendidikan yang juga semakin tinggi.
***
“Bu-Ibu dengar-dengan anaknya pak Fadli jadi pencuri, ya.“
“Saya sih juga dengarnya begitu, tapi gak tahu juga kebenarannya.“
“Tadi suami saya lihat pas anaknya digebukin masa, katanya mencuri uang.“
“Makanya itu, bu. Saat saya mendengar berita itu, saya langsung melarang anak saya untuk les di rumah pak Fadli, saya takut nanti anak saya diajarkan yang tidak benar.“
Ibu-ibu yang sedang asyik berkumpul di warung pun seketka membicarakan apa yang sedang terjadi. Bu Tika, bu Lastri dan bu Budi seolah sangat serius dengan apa yang mereka bicarakan, sedangkan bu Lastri sebagai pemilik warung hanya diam mendengarkan.
Pembicaraan itu semakin memanas. Saat Riyanti yang tiba-tiba saja datang untuk membeli obat. Para ibu-ibu tukang gosip itu pun menatapa Riyanti dengan wajah sinis berjamaah.
”Bu Rini, beli obat sakit kepala, satu.”
Bu Rini pemilik warung pun melayani dengan senyumnya. Kali ini dia bersikap ramah karena semua hutang Riyanti diam-diam Fadli telah melunasinya. Tanpa sepengetahuan istrinya itu. Riyanti yang sudah mendapatkan obat itu pun seketika berbalik arah. Dia akan kembali pulang untuk meminum obat itu segera dan istirahat.
”Ibunya suka ngutang, eh ternyata anaknya maling.”
Suara bu Lastri tiba-tiba saja mengguncangkan amarah Riyanti. Dia yang berdiri tak jauh dari bu Lastri dengan cepat menatap dengan tatapan garang.
”Mulutnya dijaga ya, bu. Jangan seenaknya begitu!” ujar Riyanrti.
”Mulut saya sudah saya jaga dengan baik kok, lagian kenapa kamu yang sewot, aku kan gak ngatain kamu,” jawab bu Lasti.
”Bu Riyanti memangnya merasa ya degan apa yang dikatakan bu Lastri, kok marah?” sahut bu Tika.
”Kalian memang gak punya hati.”
Riyanti melangkahkan kakinya dengan sangat cepat. Dia merasa harga dirinya telah diinjak-injak. Kemarahannya memuncak di ubun-ubun. Dia melihat Fadli yang telah memberikan les gratis di ruang tamu.
Riyanti membanting pintu, dan hal itu membuat Fadli seketika merasa harus lebih melapangkan dadanya.
“Pak, Bu Yanti kenapa?”
“Sepertinya sedang sakit perut, oh iya kenapa hari ini yang les cuma kalian bertiga, yang lain pada ke mana?”
Fadli bertanya penasaran. Setelah kurang lebih setengah jam memberikan materi pada anak-anak yang sekarang duduk di kelas 6 itu. Biasanya yang datang ke rumahnya, ada sekitar sepuluh sampai lima belas anak, akan tetapi hari ini hanya tiga anak saja yang hadir.
Ketiga anak laki-laki itu pun saling memandang satu sama lain. Sedangkan Fadli masih menunggu jawaban atas apa yang dipertanyakan olehnya itu. Namun, beberapa menit kemudian ketiga anaknya pun serempak menggelengkan kepalanya.
Fadli pun berhias senyum. Kemudian dia kembali memberikan materi yang harus disampaikan kepada anak-anak yang penuh dengan semangat itu.
Sudah satu jam Fadli memberikan les kepada muridnya. Pikirannya seolah tertuju pada Riyanti. Dia merasa perasaannya sedikit tak enak. Fadli pun mengakhiri belajar bersama muridnya itu lebih cepat daripada biasanya.
Setelah anak didinknya pulang. Fadli segera masuk ke dalam kamar. Dia melihat Riyanti seperti telah meminum sesuatu. Sesaat pandangan mata Fadli tertuju pada bungkus obat yang ada di lantai. Fadli yang penasaran, segera mengambil bungkus itu.
“Kenapa kamu minum obat yang dijual bebas? Bahaya untuk janinmu.”
“Aku tidak peduli, karena aku ingin bayi ini mati!”
Fadli seketika naik darah dengan apa yang dikatakan Riyanti padanya. Fadli lepas kontrol, hingga dirinya menggerakkan tangan kanannya untuk menampar wajah istrinya itu. Riyanti pun seketika tersulut emosi yang berkobar.
Riyanti tak menyangka bila suaminya bisa memperlakukan dirinya seperti itu. Selama berumah tangga sepuluh tahu, baru kali itu Fadli menampar Riyanti. Seketika hati Riyanti terasa hancur. Dia tak merasa dihargai oleh suaminya.
Sedangkan Fadli, wajahnya berubah layu. Ada sebait penyesalan yang tak bisa diungkapkan dengan mudah. Mata kanannya tiba-tiba berkaca-kaca. Sembari menatap tangan kanannya yang terlihat begitu kaku.
“Tega ya Mas, kamu tampar aku.”
“Maaf Yanti, aku sama sekali tidak sengaja.”
“Apa? tidak sengaja kamu bilang! Jahat kamu mas, jahat!”
“Aku minta maaf, aku memang salah telah menyakitimu.”
“Ya, kamu memang salah dan akan terus saja, aku benci hidup denganmu, mas.”
“Yan, tenang ya, kita pasti bisa lalui semua ini dengan baik.”
“Kamu tahu gak, apa yang aku rasakan. Aku selalu dipandang rendah oleh orang-orang, karena apa? karena aku tak bisa sejajar dengan mereka. Hidup miskin penuh derita.”
Riyanti menghadirkan kristal beningnya, menganak sungai hingga tak terbendung lagi. Dia merasa sangat kecewa dengan apa yang diterimanya dari Fadli. Riyanti melangkah mundur, kemudian dia melihat di sampingnya. Di atas meja yang berada di pojok kamarnya itu. Sebuah benda tajam tergeletak.
Riyanti dengan diselimuti emosi. Dia meraih benda tajam itu. Fadli yang melihat apa yang diambil istrinya, seketika dia panik tak terduga.
“Yan, jangan aneh-aneh kamu.”
“Stop! Jangan bergerak, aku akan mati, mas. Aku akan mati.”