Lastri seketika tersenyum lebar seraya menatap wajah Bima dengan tatapan mata berbinar. "Kalau boleh tau, nama kamu siapa? Dari tadi kita belum kenalan lho, Kaila juga gak pernah bercerita kalau dia punya pacar ganteng kayang kamu," ucapnya dengan penuh semangat. "Eu ... memangnya kamu kerja di mana? Kalau kamu emang bersedia membiayai adik-adiknya Kaila, itu artinya kamu bukan karyawan biasa lho."
Lastri benar-benar tidak menyangka bahwa dia akan memiliki seorang menantu kaya raya. Meskipun Bima belum memperkenalkan diri secara resmi dan belum memberitahukan di mana dia bekerja, tapi wanita paruh baya itu sudah dapat menebak bahwa calon menantunya ini bukanlah orang sembarangan. Semua itu terlihat dari pakaian yang dikenakan oleh Bima, terlihat rapi juga penuh wibawa.
"O iya, saya lupa memperkenalkan diri kepada kalian," seru Bima seketika berdiri tepat di depan kedua orang tua Kaila. "Perkenalkan, Om, Tante. Nama saya Abimanyu Wibowo, saya adalah CEO dari salah satu perusahaan tambang emas terbesar di kota ini. Senang bisa berkenalan dengan kalian berdua," ujar Bima menyalami keduanya secara bergantian.
Baik Irawan maupun Lastri tidak mampu berkata-kata lagi. CEO dari perusahaan tambang emas? Otak mereka seketika membayangkan seberapa banyak kekayaan yang dimiliki oleh calon menantunya ini. Irawan yang semula bersikap kasar juga terlihat dingin kepada Bima pun seketika merubah raut wajahnya seramah mungkin. Bibir pria paruh baya itu seketika mengembang sempurna tersenyum dengan begitu lebarnya.
"Waaah! Ternyata kamu bukan orang sembarangan ya, maaf karena Om sempat berbuat kasar, Nak Bima," ujar Irawan merasa tidak enak.
"Gak apa-apa, Om. Saya ngerti ko kenapa Om bersikap kayak tadi," jawab Bima lalu duduk di kursi semula.
Tidak lama kemudian, pintu ruang operasi pun kembali di buka. Dokter keluar dari dalam sana menghampiri mereka bertiga. Baik Irawan, Lastri maupun Bima sontak berdiri tegak dengan perasaan khawatir.
"Bagaimana keadaan calon istri saya, Dok?" tanya Bima berharap bahwa nyawa Kaila dapat terselamatkan.
"Syukurlah nyawa pasien selamat, bayi di dalam kandungannya juga baik-baik saja. Meskipun kami sempat khawatir janin di dalam kandungan pasien bakalan terganggu karena darah yang keluar lumayan banyak," jawab sang Dokter menatap semua yang ada di sana secara bergantian.
"Syukurlah, saya lega sekali. Terima kasih Tuhan. Terima kasih karena Engkau masih memberi kesempatan kepada Kaila untuk hidup," gumam Bima seketika mengusap wajahnya kasar dengan kedua mata yang terpejam.
"Apa kami boleh menemui putri kami, Dok?" tanya Lastri menatap sayu wajah sang Dokter.
"Kami akan memindahkan pasien ke ruangan rawat inap setelah memastikan kondisi pasien benar-benar stabil, silahkan Anda hubungi bagian administrasi untuk memesan ruangan rawat inap untuk pasien, saya permisi dulu," pinta sang Dokter lalu berbalik dan kembali ke ruang operasi.
Setelah kepergian sang Dokter, Bima menatap wajah calon mertuanya secara bergantian. "Om sama Tante tunggu di sini, saya mau memesan kamar buat Kaila," pinta Bima hendak melangkah.
"Tunggu, Nak Bima," pinta Lastri membuat Bima terpaksa menghentikan langkah kakinya lalu kembali memutar badan.
"Iya, Tante. Eu ... apa Om sama Tante mau saya bawakan makanan sekalian?" tanya Bima menawarkan.
"Tak usah. Kami cuma mau bilang, kalau kami harus kembali ke kampung. Kami udah terlalu lama meninggalkan adik-adiknya Kaila di rumah, Tante titip Kaila sama kamu ya," seru Lastri membuat Bima seketika merasa heran.
Bagaimana bisa orang tua Kaila meninggalkan putrinya dalam keadaan sakit seperti ini? Mereka bahkan belum bertemu dengan Kaila dan melihat bagaimana keadaan wanita itu? Sebagai orang tua yang baik, bukankah sudah seharusnya mereka berada di sisi putrinya dan memberi dukungan kepada sang putri yang saat ini sedang dalam keadaan terpuruk. Dukungan dan kehadiran orang tua adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh Kaila saat ini, tapi kenapa orang tuanya malah melakukan hal yang sebaliknya? Lagi dan lagi, otak seorang Bima dipenuhi tanda tanya. Kehidupan seperti apa yang sebenarnya dijalani oleh gadis yang dia cintai itu?
"Apa Tante sama Om gak ingin bertemu sama Kaila dulu? Dia pasti ingin ketemu sama kalian," tanya Bima menatap mereka berdua secara bergantian.
"Tak usah, Bima. Bus jurusan ke kampung kami akan berangkat sebentar lagi, kalau kami sampai terlambat maka kami harus menunggu sampai besok lagi," ucap Lastri lalu meraih telapak tangan Bima dan menggegam jemarinya erat. "Kami titip Kaila, Nak Bima. Tolong jaga dia dengan baik. Kami percayakan dia sama kamu."
"Jangan lupa segera nikahi dia setelah keadaan Kaila benar-benar sehat. Kami akan menunggu kamu di kampung." Irawan menambahkan.
"Kalau itu pasti, Om. Eu ... saya akan meminta asisten saya buat mengantarkan Om sama Tante ke Terminal Bus," ujar Bima segera merogoh jas hitam yang dia kenakan lalu menghubungi Irfan asisten pribadinya.
***
Satu jam berlalu, Kaila sudah berada di ruangan rawat inap. Ruangan VVIP sengaja Bima pesan agar gadis yang tengah mengandung ini dapat beristirahat dengan tenang dan kondisi kesehatannya dapat pulih dengan cepat.
Kaila mengedipkan pelupuk matanya pelan dan lemah. Hal pertama yang dia lihat saat kedua matanya terbuka sempurna adalah lampu LED di mana sinarnya begitu terang benderang terasa menyilaukan mata. Wanita itu pun mengalihkan pandangan matanya ke arah samping di mana Bima tengah berdiri dan menatap wajahnya dengan tatapan mata berbinar karena merasa senang akhirnya melihat Kaila siuman.
"Kamu udah bangun, Kai? Astaga! Saya senang banget, terima kasih karena kamu udah bertahan, Kaila," lirih Bima penuh rasa haru.
"Om Bima," lirih Kaila lemah lalu menatap sekeliling. "Ayah sama Ibuku mana, Om? Kenapa Om bisa ada di sini?"
"Eu ... Ayah sama Ibu kamu sudah pulang ke kampung. Mereka menitipkan kamu sama saya," jawab Bima seraya menggegam erat telapak tangan Kaila.
Wanita itu terlihat kecewa. Kenapa orang tuanya pergi secepat ini? Padahal, orang pertama yang ingin dia lihat pertama kali adalah mereka. Kaila terlihat sedih, kedua matanya pun seketika berkaca-kaca seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Mereka selalu kayak gini. Ayah sama Ibu hanya membutuhkan uangku, sementara mereka gak peduli sama aku," lemah Kaila, buliran bening seketika bergulir dari sudut matanya. "Aku lagi kayak gini aja mereka gak peduli. Kenapa aku harus selamat? Kenapa aku gak mati aja sih."
Bima seketika mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Kaila. Pria itu mengusap buliran bening yang mengalir dari pelupuk mata seorang Kaila. Kehidupan seperti apa yang sebenarnya dijalani oleh wanita ini? Pertanyaan seperti itu kembali mengusik relung hati seorang Bima.
"Ada saya, Kai. Saya akan selalu menemani kamu, saya berjanji gak akan pernah meninggalkan kamu sendirian. Maaf, karena saya datang terlambat, seharusnya saya datang lebih cepat," lemahnya menatap sayu wajah Kaila. "Saya akan menikahi kamu, Kai. Saya juga akan menganggap bayi di dalam kandungan kamu seperti anak saya sendiri. Orang tua kamu mengira bahwa saya adalah orang yang telah menghamili kamu."
"Apa? Mereka mengira bahwa Om adalah orang yang udah ngehamili aku?" tanya Kaila merasa terkejut. "Kenapa Om berbuat kayak gini sama aku? Aku udah banyak menyakiti Om, aku bahkan menolak cinta Om berkali-kali, memaki dan bersikap kasar sama Om Bima."
"Karena saya cinta sama kamu, Kaila. Kamu adalah wanita kedua yang berhasil meluluhkan hati saya setelah mendiang istri saya yang udah tiada."
Bersambung