Bab 4. Bertahanlah Kaila

1134 Words
Bima segera berbalik dan berlari meninggalkan halaman rumah Kaila. Buliran bening seketika bergulir dari ujung pelupuk matanya dan segera tersapu angin saat itu juga. Hati seorang Abimanyu pun dihujani beribu-ribu penyesalan. Mengapa dirinya datang terlambat? Mengapa Kaila sampai melakukan hal yang sudah jelas-jelas dilarang di agama manapun? "Saya mohon bertahanlah, Kaila. Bertahanlah sebentar lagi, demi saya, Kai. Maaf, karena saya terlambat. Saya terlalu lama berfikir tanpa memikirkan perasaan kamu," batin Bima segera membuka pintu mobil sesaat setelah dia tiba di tepi jalan. "Sekarang kita ke Rumah Sakit Mutiara Indah, Irfan. Cepat! Saya mau kita sampai di sana dalam waktu 10 menit. Kalau perlu, terobos semua lampu merah yang ada di jalan," pinta Bima dengan napas yang terengah-engah juga mengusap kedua matanya yang berair. "Baik, Tuan Bos," jawab Irfan tanpa bertanya apapun. Mesin mobil pun dinyalakan dan segera melesat meninggalkan tempat itu dengan kecepatan tinggi. Bima berkali-kali mengusap wajahnya dengan kedua mata yang terpejam. Dadanya pun kian terasa sesak, bahkan sangat sesak. Kedua kakinya tidak berhenti gemetar. Wajah seorang Bima yang semula terlihat penuh semangat pun kini nampak pucat pasi membuat Irfan seketika merasa heran. "Sebenarnya ada apa, Tuan Bos? Apa terjadi sesuatu sama Kaila?" tanya Irfan tidak kuasa menahan rasa penasarannya. "Kaila mencoba buat diri, Fan. Ya Tuhan!" jawab Bima singkat. "Astaga!" decak Irfan, lalu segera mempercepat laju mobil yang dia kendarai. "Semoga Kaila bisa selamat, Tuan Bos. Saya akan mempersingkat perjalanan kita. Tuan Bos pegangan yang kuat," pinta Irfan, menambah kecepatan mobil. *** Sesampainya di Rumah Sakit. Bima segera berlari memasuki ruangan Unit Gawat Darurat, dia pun bertanya kepada perawat yang bertugas tentang keberadaan Kaila dan segera meluncur ke ruangan operasi. Dua orang nampak tengah duduk di kursi tunggu di luar ruangan tersebut. Bima berlari menghampiri dengan d**a yang terlihat naik turun. Kedua orang yang memiliki usia lanjut itu segera menoleh dan menatap wajah Bima. Sepertinya mereka adalah orang tua dari Kaila. "Bagaimana keadaan Kaila?" tanya Bima secara reflek bertanya kepada mereka. "Apa kau pacarnya Kaila?" tanya pria paruh baya seketika berdiri tegak seraya menatap wajah Bima dengan tatapan mata tajam. Bima sontak menganggukkan kepalanya pelan. Namun, karena anggukkannya itu, wajahnya tiba-tiba saja mendapatkan bogem mentah dari pria paruh baya itu yang sukses membuat tubuh Bima terlempar ke arah samping lalu mendarat di atas lantai. "Argh!" ringis Bima seketika mengusap ujung bibirnya yang mengeluarkan darah segar. "Jadi kau laki-laki yang udah ngehamili anak saya, hah? Dasar laki-laki b******k!" bentak pria itu hendak kembali melayangkan kepalan tangannya ke udara. Namun, segera di tahan oleh wanita paruh baya yang berdiri tepat di sampingnya. "Sudah cukup, Mas. Gak ada gunanya berbuat kayak gini sama laki-laki ini, yang harus kita pikirkan sekarang adalah keselamatan putri kita dan meminta laki-laki ini buat segera menikahi Kaila," lemah wanita paruh baya itu mencoba untuk menenangkan suaminya. "Mending kalau putri kita selamat? Kalau tidak, apa laki-laki ini bisa mengembalikan nyawa putri kita, hah?" bentak sang suami seraya menatap tajam wajah Bima. "Kamu gak liat seberapa banyak darah yang keluar dari pergelangan tangan Kaila tadi? Astaga! Kenapa putri saya bisa pacaran sama pria kayak dia?" decaknya lagi seraya mengusap wajahnya kasar. Bima diam seribu bahasa, dia masih bergeming di tempatnya. Rahangnya pun masih terasa panas akibat pukulan yang dia terima. Karena anggukan kepala yang dia lakukan, kesalahpahaman pun terjadi seketika. Orang tua Kaila mengira dirinya adalah pria yang telah menghamili putri mereka. Namun, Bima sama sekali tidak menyesali jawaban spontan yang dia berikan. Toh, dirinya memang berniat untuk menikahi Kaila. Bima seketika berdiri tegak dengan tubuh yang sedikit sempoyongan. Pukulan keras yang dilayangkan ayahanda Kaila membuat kepalanya terasa pusing. "Saya akan bertanggung jawab, Om, Tante. Saya akan menikahi Kaila," ujar Bima dengan penuh rasa percaya diri. "Harus, kau harus segera menikahi Kaila. Kalau tidak, saya gak akan segan buat ngehabisi nyawa kamu, b******k!" jawab ayahanda Kaila tegas dan penuh penekanan. Tidak lama kemudian, pintu ruang operasi pun di buka. Seorang perawat keluar dari dalam sana membuat semua yang ada di sana sontak menoleh lalu menghampiri sang perawat. "Siapa walinya pasien?" tanya perawat tersebut menatap ketiga orang itu secara bergantian. "Saya Irawan Ayahnya Kaila, dan ini Lastri Ibunya, Sus. Eu ... bagaimana keadaan putri saya, Suster?" tanya Irawan merasa khawatir. "Pasien kekurangan darah, Pak. Stok darah di Rumah Sakit kami lagi kosong," jawab perawat merasa menyesal. "Kita harus mendapatkan donor darah sekarang juga. Kalau tidak, akan berdampak buruk kepada bayi di dalam kandungan pasien." "Golongan darahnya apa, Sus?" tanya Bima berdiri tepat di samping Irawan. "Golongan darahnya A, Mas." "Golongan darah saya A, Suster. Ambil saja darah saja, ambil sebanyak yang Kaila butuhkan," ujar Bima merasa bersyukur karena dia memiliki golongan darah yang sama dengan gadis itu. "Silahkan Anda ikut dengan saya, Mas," pinta sang perawat lalu berbalik dan berjalan memasuki ruangan operasi. *** 30 menit kemudian, setelah melakukan serangkaian pemeriksaan untuk memastikan kesehatan Abimanyu aman untuk melakukan donor darah, satu labu darah pun di ambil dari tubuhnya. Tidak dapat dipungkiri, tubuh Bima terasa lemas setelah proses pendorongan itu. Suster menyarankan agar dia beristirahat di salah satu ruangan di Rumah Sakit untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Namun, Bima lebih memilih untuk kembali ke tempat dia berada semula di mana orang tua Kaila masih berada di tempat yang sama. "Bagaimana, Om, Tante, apa sudah ada kabar dari Dokter?" tanya Bima berjalan menghampiri seraya memegangi pergelangan tangannya yang sempat ditusuk jarum berukuran sedang. Irawan menggelengkan kepalanya dengan kepala menunduk. Sementara Lastri segera berpindah tempat duduk tepat di samping Bima. Wanita paruh baya itu meraih telapak tangan Bima lalu menggegam jemarinya erat. Kedua matanya pun nampak menatap sayu wajah Abimanyu Wibowo, pria yang dia kira adalah kekasih dari putrinya. "Maaf atas sikap kasar suami Tante, Nak. Tante harap, kamu nggak berubah pikirkan buat nikahi Kaila," lirih Lastri lemah dan bergetar. "Tak apa-apa, Tante. Saya paham kenapa Om bisa bersikap seperti itu. Orang tua mana yang tak emosi ketika tau bahwa putrinya hamil di luar nikah," jawab Bima balas menggegam telapak tangan Lastri seraya melayangkan senyuman kepadanya. "Kaila adalah tulang punggung keluarga, dia punya dua adik yang masih sekolah. Suami Tante ini hanya kuli bangunan, penghasilannya tidak menentu," jelas Lastri menoleh sekejap ke arah suaminya lalu kembali mengalihkan pandangan matanya kepada Bima. "Tante titip Kaila sama kamu, Nak. Tolong jangan minta dia buat berhenti bekerja setelah kalian menikah nanti, kalau Kaila sampai gak kerja siapa yang akan membiayai adiknya nanti?" Bima seketika merasa tercengang. Bagaimana bisa ibunda dari Kaila ini meminta putrinya untuk terus bekerja padahal keadaanya saja masih belum jelas? Dokter saja belum memberi kabar tentang kondisi terkini dari putrinya itu. Bima tersenyum kecil seraya menggeleng kepalanya pelan. "Tidak, Tante. Saya tidak akan membiarkan Kaila bekerja lagi. Tanggung jawab yang selama ini dipikul oleh Kaila akan saya ambil alih, jika saya sudah menikahi Kaila, maka saya yang akan menanggung semua biaya sekolah adiknya. Adik kaila adalah adik saya juga," jawab Bima dengan penuh rasa percaya diri. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD